Kisah Konservasi Hutan di Nusantara

Hutan Kalimantan

Hutan itu penting, tapi luasannya terus menurun. Ini adalah kisah beberapa orang yang ikut meyangga hutan di Nusantara.

KAWAN, APA KABARMU HARI INI? Tentulah aku dan kita semua selalu berharap, semoga saja segala kesenangan, kebahagiaan dan kesehatan menjadi anugerah buat kita.

Ada kisah yang ingin aku ceritakan padamu kawan. Tentang bagaimana hutan kita hari ini. Kamu tentu mahfum kalau hutan itu sangat banyak gunanya bagi kehidupan kita. Hutan adalah paru-paru bumi, tempat oksigen yang kita isap setiap harinya disaring agar lebih segar. Tanpa hutan, kita hanya akan mengirup oksigen yang kotor, penuh dengan karbon monoksida. Bayangkan bagaimana rusaknya paru-parumu kawan kalau tak ada hutan yang menghasilkan oksigen segar itu.

Pun, hutan itu menjaga sumber-sumber air bersih. Menjaga keseimbangan alam dan menjadi tempat bermukimnya beragam mahluk hidup di dalam dekapannya. Hutan dan segala mahluk hidup itulah yang menjaga kesimbangan di muka bumi.

Kawan, pernahkah kamu mendengar ungkapan; ketika serangga terakhir telah mati, maka berakhir pula kehidupan di bumi? Sebaliknya, ketika manusia terakhir telah mati, maka dimulailah kehidupan baru di muka bumi.

Yah, serangga punya peran lebih penting bagi bumi daripada manusia yang dibekali nafsu keserahakan.

Tahukah kamu kawan, dalam setiap tahun 2% hutan Indonesia yang sekarang luasnya 126 juta hektar itu hilang. Ada 10 juta hektar hutan yang hilang di Indonesia, karena apa coba? Karena keserakahan manusia yang melakukan ilegal logging! Mereka menebang pohon tanpa ampun, tanpa ijin dan hanya berbekal keserahakan.

Kitalah manusia-manusia ini yang selalu punya peran merusak alam. Alih-alih menjaga keseimbangannya, kita manusia yang dibekali akal sekaligus nafsu inilah yang seakan tak pernah puas meraup semua yang bisa diraup, membuat hutan hilang sedikit demi sedikit.

Diprediksi tahun 2023, pulau Jawa tak punya lagi tutupan hutan alami. Kemudian disusul oleh Bali dan Nusa Tenggara. Mengerikan! Jangan sampai prediksi itu menjadi kenyataan.

Infografis tentang hutan Indonesia

*****

TAPI TIDAK SEMUA MANUSIA SESERAKAH ITU KAWAN.

Aku pernah bertemu banyak manusia yang justru sadar pentingnya hutan. Mereka bergerak untuk menjaga hutan mereka, dari para penebang liar, dari kerusakan akibat alam. Mereka hidup di kawasan penyangga hutan lindung, mereka menyingsingkan lengan baju, terjun langsung dalam usaha konservasi.

Tahukah kamu apa itu konservasi?

Kukasih tahu ya, konservasi itu adalah usaha untuk menjaga atau melindungi sesuatu dari kerusakan. Kalau kita bilang hutan konservasi, maka itu berarti kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Itu menurut Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Kalau berdasarkan fungsinya, hutan di Indonesia sebenarnya ada tiga macam kawan, ada hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi. Hutan lindung dan hutan konservasi hampir sama. Hanya saja, hutan lindung sama sekali tidak boleh diapa-apakan, sementara hutan konservasi boleh saja dijadikan tempat wisata. Nah kalau hutan produksi, kamu pasti paham kawan. Hutan produksi ini yang tidak bisa dikontrol karena orang bebas menggunakan atau mengeksplorasinya sepuasnya.

Kamu mungkin pernah mendengar istilah taman nasional, cagar alam atau suaka margasatwa bukan? Atau pernah mendengar hutan buru? Nah, itulah jenis-jenis hutan konservasi. Mungkin pula kamu pernah mengunjungi taman nasional atau melihat langsung hewan dan tumbuhan liar di cagar alam.

Mengenal hutan konservasi

Tapi kita tinggalkan saja semua istilah teknis itu. Aku akan ceritakan kepadamu kisah orang-orang yang menjaga hutan.

Di Kalimantan, aku pernah bertemu orang Dayak Punan yang bersikeras tak mau melepaskan hutan adat mereka kepada para investor. Mereka digoda dengan uang, dijanji jalanan mulus dan listrik yang lancar. Tapi mereka yang dipimpin oleh ketua adat mereka – Markus Ilun – bergeming. Tidak tergoda. Bahkan ketika pejabat setempat setengah mengancam pun, Markus Ilun buang muka.

Markus Ilun, kepala adat Punan Adiu

“Hutan itu ibu kami. Kalau dia rusak, rusak pula kehidupan kami,” begitu kata Markus Ilun waktu dia menceritakan kisah itu kepadaku.

Walhasil, sampai sekarang kampung mereka masih tak juga dialiri listrik, jalanan masih berbentuk tanah yang basah dan becek di waktu hujan dan berdebu di musim kemarau. Tak apa, karena toh mereka masih tetap bahagia karena ibu mereka, hutan itu masih tetap segar, tegar dan menghijau dengan lebatnya.

Kisah tentang Markus Ilun selengkapnya bisa dibaca di sini

*****

“WAKTU PERTAMA MASUK KE DESA, KITA DIUSIR WARGA. Mereka sampai bilang ‘Kenapa kau larang kita tebang pohon? Kalau tidak tebang pohon, kita mau makan apa?’ Kata Rahim, seorang lelaki muda yang saya temui di Enrekang- Sulawesi Selatan.

Rahim adalah pecinta alam dan sekaligus pernah menjadi Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat. Waktu itu dia masuk ke sebuah desa di kaki gunung Latimojong, salah satu gunung tertinggi di pulau Sulawesi yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Enrekang.

Rahim mengaku sedih melihat kondisi hutan di sekitar desa yang sudah tidak berbentuk. Pohon-pohon ditebangi warga untuk menutupi kebutuhan sehari-hari mereka. Bukan perkara mudah untuk menyadarkan warga soal ancaman bencana yang mengintai. Warga tak punya pilihan lain. Batang-batang pohon itu punya nilai jual tinggi, cepat laku pula. Mereka tak perlu bersusah payah menanam, merawat setiap hari selama berbulan-bulan sebelum merasakan hasilnya. Mereka hanya perlu masuk hutan, menebang, memotong-motong kayunya dan menjualnya.

Lebih efektif dan efisien mendatangkan uang, bukan?

Tapi mereka tidak sadar, hutan yang semakin gundul itu menyimpan ancaman luar biasa. Longsor, kekurangan air, semua hanya tinggal waktu.

Pohon mati

Untungnya Rahim dan kawan-kawannya punya tekad kuat dan strategi yang pas. Mereka melihat kalau warga sebenarnya punya kebun kopi, hanya saja mereka tak punya pengetahuan menanam dan memelihara tanaman kopi. Akibatnya, kebun kopi mereka nyaris tak bernilai ekonomi.

Kebun kopi itulah yang jadi pintu masuk Rahim untuk mengajak warga menjaga hutan.

Dengan pendampingan, warga jadi tahu bagaimana caranya menanam kopi dan merawat tanaman kopi dengan baik. Perlahan tapi pasti, hasil kebun mereka membaik. Kualitas meningkat dan tentu saja harga juga lebih tinggi.

“Sekarang mereka sudah tidak menebang pohon lagi. Sudah fokus menanam kopi,” kata Rahim.

Bertahun-tahun setelah perjumpaan pertama mereka, warga di kaki gunung Latimojong sudah berubah dari penebang pohon menjadi petani kopi. Mereka pun mulai menanami kembali apa yang dulu mereka gunduli. Dengan sadar, mereka pun menjaga hutan itu. Dari kerusakan, dari manusia.

*****

“DI TAHUN 90AN, DAERAH SINI RUSAK PARAH. Bahkan, kerusakan alam besar-berasan di Indonesia itu dimulai dari sini,” kata Arifin, warga Dusun Tapak, Desa Tugurejo, Kecamatan Tugu, Semarang.

Waktu itu menurut Arifin, sungai mereka tercemar limbah dan hutan mangrove mulai rusak. Rusaknya hutan mangrove datang membawa banyak masalah kawan, salah satunya karena naiknya air laut jauh sampai ke daratan hingga membuat air tawar mereka berubah jadi asin.

Mereka lalu sadar tentang ancaman yang mengintai. Karenanya mereka bergerak melakukan konservasi mangrove, mengembalikan kesuburan mangrove yang ada di desa mereka. Tahun berganti tahun, hingga pelan-pelan mereka mulai menikmati kembali segarnya air tawar dan lingkungan yang kembali hijau oleh mangrove.

Mengunjungi kawasan konservasi mangrove di Semarang

Ikan, kepiting dan udang pun berbondong-bondong datang ke wilayah hutan mangrove itu. Mereka senang karena punya tempat yang pas untuk hidup dan berkembang biak. Warga pun senang, karena mereka bisa menangkap ikan, kepiting dan udang. Untuk makan sehari-hari, atau untuk dijual ke Semarang.

Sekarang, wilayah Dusun Tapak bahkan jadi lokasi wisata alam yang menyenangkan. Wisatawan diajak menyusuri sungai di antara pepohonan mangrove, dikasih tahu pentingnya mangrove dan diajak menanam mangrove.

Kisah kunjungan ke Dusun Tapak bisa dibaca di sini

Itulah kawan, usaha konservasi yang melibatkan warga dan akhirnya membawa keuntungan buat warga.

*****

MELIBATKAN MANUSIA ADALAH SATU UNSUR dalam konservasi, kawan. Mustahil sebuah usaha konservasi bisa berhasil kalau manusianya tidak disadarkan dulu. Mereka yang hidup di sekitar kawasan hutan konservasi adalah aktor utama yang harus dilibatkan.

Warga itulah yang harus digugah kesadarannya. Tentang pentingnya hutan, tentang bahayanya kehilangan hutan.

Tapi kita juga tidak bisa menutup mata kalau mereka juga butuh hidup. Butuh makan, butuh menyekolahkan anak. Tapi tentu saja tidak dengan cara menebang pohon atau merusak hutan. Mereka diberi alternatif lain, jalan lain agar kehidupan mereka sejahtera tapi alam pun tetap terjaga.

Bagaimana caranya?

Dua kisah di atas sudah jadi bukti, kawan. Rahim bisa mendorong warga untuk memperbaiki kualitas tanaman kopi mereka, agar mereka bisa menikmati kesejahteraan dari tanaman mereka tanpa harus menebang pohon. Mereka tak lagi sibuk menebang kayu di hutan.

Di Dusun Tapak, warga pun sudah bisa menikmati manisnya mangrove. Dari hasil menangkap ikan, udang dan kepiting hingga usaha wisata yang mereka cecap keuntungannya.

Itulah yang dinamakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Hasil yang bisa menjamin kesejahteraan warga, tanpa harus merusak hutan.

Beragam kopi, hasil perkebunan warga kaki Gunung Latimojong

Warga senang, mereka pun dengan sukarela menjaga hutan. Mengontrol setiap pohon yang ada dan mengusir jauh-jauh para penebang liar. Tanpa diminta, mereka turun tangan menjadi aktor-aktor yang memastikan konservasi tetap berjalan. Karena mereka sadar, kalau hutan rusak maka merekalah orang-orang pertama yang akan merasakan susahnya.

*****

SEBAGAI PENUTUP, INGIN KUKISAHKAN padamu satu hal kawan. 13 Agustus nanti, di Aceh –tepatnya di Gayo Lues- akan dihelat pagelaran tari Saman yang mengundang 100001 (sepuluh ribu satu) penari! Bayangkan, sepuluh ribu satu penari!

Perhelatan ini diberi nama Saman Pengawal Leuser. Kamu mungkin sudah pernah mendengar Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh sana kan? Taman nasional ini termasuk satu dari 50 taman nasional di Indonesia. Taman Nasional Gunung Leuser adalah penyangga penting kehidupan, bukan cuma di Aceh tapi juga di Nusantara ini.

Sudah kukisahkan padamu pentingnya hutan itu, bukan? Nah mereka di Aceh sana sedang berusaha menjaga hutan mereka yang ada di kaki Gunung Leuser. Demi keberlanjutan kehidupan, demi masa depan, demi anak cucu dan demi bumi tempat kita berpijak ini.

Seandainya saja bisa, sangat ingin aku hadir di sana. Menyaksikan langsung bagaimana tradisi dijadikan alat untuk menjaga lingkungan. Bagaimana kearifan lokal merawat alam. Tentu akan sangat menyenangkan.

Setiap kali melihat hijaunya hutan, selalu terbayang ucapan Markus Ilun, pria sederhana yang keras kepala itu.

“Hutan adalah ibu kami,”

Seharusnya bukan hanya ibu buat mereka, tapi ibu buat kita semua. Hutanlah yang menjamin kehidupan kita, hingga kita bisa bernapas dengan lega, bisa meminum air yang bersih. Hanya anak durhaka yang tak mau merawat ibu mereka. Kamu tentu tak mau jadi anak durhaka, kan?

Panjang umurlah mereka yang menjaga ibu bernama hutan. Panjang umurlah Markus Ilun, Rahim dan warga di kaki Gunung Latimojong, panjang umurlah warga Desa Tapak, panjang umurlah semua penjaga hutan di Nusantara. Termasuk para penari Saman, penjaga Taman Nasional Gunung Leuser.

Panjang umur konservasi hutan di Nusantara! [dG]