Trauma
Anda sempat menyaksikan pertandingan Swiss vs Ceko hari Sabtu (7/6) kemarin ?. Kalau iya, berarti anda masih ingat bagaimana Alexander Frei meneteskan air mata saat terpaksa harus meninggalkan lapangan setelah ligamen lututnya bermasalah.
Menyaksikan adegan tersebut, saya langsung teringat kejadian yang sama seperti yang saya alami hampir 2 bulan lalu. Rasa sakitnya masih terbayang jelas. Khusus untuk Frei, saya yakin air matanya pasti lebih karena pupusnya harapan besar untuk membantu negaranya lolos dari grup A di Euro kali ini. Kehilangan kesempatan berkiprah di sebuah ajang sebesar Euro tentu adalah mimpi buruk bagi seorang pemain, apalagi yang berstatus sebagai andalan sebuah timnas.
Tapi saya tidak akan berbicara banyak soal rasa penyesalan itu.
Minggu lalu untuk pertama kalinya saya mencoba menyentuh lapangan sepakbola dalam sebuah pertandingan selepas cedera parah 2 bulan lalu. Sebenarnya kondisi lutut saya belum pulih sepenuhnya, masih ada pembengkakan dan rasa nyeri. Lututpun belum bisa saya bengkokkan hingga betis ketemu paha bagian dalam.
Sejak 2 minggu lalu sebenarnya saya sudah mencoba untuk mulai berlatih berlari. Lari-lari kecil yang kadang disertai dengan sedikit sprint. Rasanya masih nyeri memang, tapi setidak-tidaknya ada kemajuan.
Hari sabtu kemarin sebenarnya saya tidak mempersiapkan diri untuk ikut bermain bola bersama teman-teman. Tapi rasanya saya tidak bisa menahan rasa gatal di kaki saat mencium aroma rumput hijau dan merasakan kulit bundar itu menyentuh kaki. Akhirnya karena tak tahan, saya ikutan bermain meski belum cukup berani untuk bermain sebagai bek seperti biasanya. Saya lebih memilih untuk menjadi kiper, yang notabene memiliki resiko yang lebih sedikit bila dibandingkan pemain aktif lainnya.
Saya bisa mengerti sekarang kenapa banyak pemain sepakbola yang mengalami penurunan kemampuan pasca cedera berat. Penyebab utamanya bisa jadi adalah trauma yang dalam disamping tentunya penanganan cedera yang kurang maksimal.
Trauma akan rasa sakit saat terjadi kecelakaan plus rasa sakit sesudahnya tentu membuat sebagian pemain jadi lebih berhati-hati dan akibatnya, permainan terbaiknyapun jadi tidak keluar.
Trauma yang sama juga saya rasakan sabtu kemarin. Bahkan saat “hanya” menjadi kiperpun rasanya saya belum cukup berani untuk berinteraksi fisik dengan pemain lain. Menendang bolapun belum bisa sekencang dulu, saya masih belum berani untuk menumpukan seluruh berat badan pada kaki kanan yang bermasalah.
Dan begitulah, saya belum tahu kapan trauma itu akan hilang. Bagaimanapun, saya tidak akan pernah meninggalkan olahraga yang sangat saya gilai ini. Saya tak akan pernah bisa menahan diri untuk tidak ikut bermain, apalagi bila yang bermain adalah teman-teman sendiri.
‘cause I love this game….really [DG]
hehehehe…
lamaan saya pak traumanya…
mpe sekarang masih belum berani bawa motor 😀
hhuhuuhuh…padahal kangen pengeen jokka…pengen melalangbuana sendiri…