Si Midas dari Dataran Rendah

Di dunia ini ada banyak orang yang diberkati kemampuan luar biasa. Mereka adalah orang-orang istimewa yang dengan sentuhannya mampu mengubah banyak hal biasa menjadi hal yang luar biasa. Mengubah batu biasa menjadi sebuah emas. Dalam legenda, tersebut cerita tentang Midas, orang yang mampu mengubah apa saja yang dipegangnya menjadi emas. Dan sebutan inilah yang lekat dengan karakter orang-orang istimewa seperti itu.
Di dunia sepakbola ada sebuah nama? yang sering disamakan kemampuannya dengan Midas. Dialah Guus Hiddink, seorang pelatih senior asal Belanda-negeri dari dataran yang sangat rendah di benua Eropa.
Tahun 1998, Hiddink mulai menghentak dunia dengan membawa tim Oranje kala itu hingga ke semifinal sebelum dihentikan Brasil lewat adu keberuntungan di titik putih. Tim Oranje kala itu tampil luar biasa, mengusung filosofi khas Belanda-Totaal Football-Hiddink mencuri perhatian dunia. Sejenak orang berharap Belanda bisa meraih mahkota untuk pertama kalinya. Sayang, karakter juara mereka masih kalah dari sang juara 4 kali (waktu itu) Brasil.
Namun, sentuhan emas Hiddink yang sesungguhnya baru mulai 4 tahun kemudian. Di tanah Korea-Jepang, Hiddink menorehkan prestasi luar biasa. Tuan rumah Korea Selatan dibawanya menjadi tim Asia pertama yang lolos ke perempat final, bahkan menjadi tim Asia tersukses yang mampu finish di urutan keempat. Meski perjalanan Korea Selatan diwarnai berbagai kontroversi termasuk kecurigaan adanya bantuan dari wasit, namun kerja Hiddink tetaplah luar biasa.
Sebelum Hiddink datang, Korea Selatan memang sudah jadi langganan wakil Asia di piala dunia. Tapi, keikutsertaan mereka hanya sebatas penggembira saja. Bahkan di beberapa kesempatan, mereka kadang jadi lumbung gol, tempat negara-negara besar sepakbola mengumpulkan surplus gol sebanyak-banyaknya.
Tapi Hiddink datang dan mengubahnya. Sadar anak asuhnya punya kekurangan di segi teknik, Hiddink menjadikan segi fisik dan mental sebagai senjata rahasia. Dengan semangat yang luar biasa yang dipadu dengan fisik yang nyaris tak pernah lelah, anak-anak asuhan Hiddink menggulung negara-negara besar sekelas Portugal, Italia dan Spanyol. Hanya Jerman dengan mental yang lebih matanglah yang menghentikan langkah mereka.
Empat tahun setelahnya, Hiddink yang jadi orang yang sangat dihormati di Korea Selatan, memulai tantangan baru dengan target membawa Australia berlaga di Germany’06. Tantangan pertama sukses dilewati dengan mengalahkan Uruguay di babak Play Off.
Dan sentuhan emas Hiddink berlanjut. Australia yang untuk kali kedua menikmati tampil di ajang sebesar World Cup bisa dibawanya melewati fase grup. Hanya Grosso dari Italia yang mampu menghentikan mereka di babak perdelapan final. Kontroversi seputar pelanggaran atas Grosso di kotak penalti Australia mewarnai gugurnya anak asuhan Guus Hiddink.
Dua tahun kemudian, giliran orang-orang Rusia yang membutuhkan sentuhan emasnya. Semenjak Uni Sovyet pecah dan membentuk negara-negara kecil, belum ada satupun dari pecahan-pecahan itu yang mampu meneruskan hegemoni negara besar dari ujung utara Bumi itu. Rusia tak pernah berhasil lolos dari fase grup di ajang Euro maupun di piala dunia. Rusia nyaris tak mewarisi kehebatan Uni Sovyet.
Tertatih-tatih di penyisihan grup, Rusia memanfaatkan dengan baik ketololan Inggris yang gagal lolos akibat dipermalukan Kroasia di Wembley. Namun, langkah di Swiss-Austria juga tak begitu mulus.
Rasa pesimis terhadap kemampuan Rusia di Euroβ08 mendadak muncul ketika di pertandingan pertama mereka digasak Spanyol 4-1. Hampir tak ada orang yang yakin kalau mereka akan bisa lolos ke putaran kedua mengingat di grup D masih ada Swedia dan Yunani sang juara bertahan.
Tapi di sisi inilah Hiddink menunjukkan kemampuannya. Pasukan muda Rusia dihelanya ke babak kedua, melewati Yunani dan Swedia. Di luar dugaan, apalagi mengingat bahwa sebagian besar awak mereka adalah anak-anak muda miskin pengalaman di ajang besar.
Belanda-negeri asal Hiddink-menunggu di perempat final. Anak-anak asuhan Van Basten menorehkan hasil sempurna dengan 3 kemenangan, 9 memasukkan dan hanya sekali kemasukan. Juara dunia digasak 3-0, runner up dipermak 4-1. Apa yang lebih istimewa dari itu ?.
Tapi Hiddink mampu menyuntikkan sesuatu ke dalam darah orang-orang Rusia yang diasuhnya. Catatan mentereng punya Sneijder dkk. dibuat hanya sebatas catatan bagi Hiddink dan anak asuhnya. Hiddink menghela anak-anak muda itu masuk ke lapangan hijau tanpa rasa takut sedikitpun.
Dan Hiddink berhasil. Entah ucapan apa yang dipakainya untuk mencuci otak Pavlyuchenko dkk, tapi yang pasti mereka sama sekali tidak terlihat gentar memandang wajah-wajah Sneijder dkk. Sepanjang pertandingan, anak-anak Rusia mengepung Belanda. Pressing ketat mereka membuat Van Der Vaart, Sneijder, Nistelrooy dan pemain berbaju oranye lainnya tampil gugup dan tertekan. Praktis hanya Van Der Sar yang mampu tampil tenang dan jadi penyelamat sepanjang pertandingan.
Tapi, sekokoh apapun Van Der Sar, dia tetaplah bagian dari sebuah tim. Ketika bagian lain dari tim tidak bekerja sebagaimana mestinya, maka Van Der Sar pun harus rela jadi pesakitan. Pavlyuchenko mampu membuat anak-anak Oranje meradang. Meski van Nistelrooy mampu membangkitan asa, tapi hasil akhir tetaplah memihak Rusia.
Skor 3-1 menutup masa 120 menit yang paling menyesakkan bagi para Hollander dan para pendukungnya. Tak ada cerminan Total Football seperti yang mereka peragakan kala menghempaskan Italia dan Perancis. Van Basten jelas kalah dalam hal adu strategi dan adu motivasi dengan seniornya Guus Hiddink.
Hiddink seorang profesional sejati. Ketika anak buahnya mencetak gol, dia tetap merayakannya dengan selebrasi yang tulus dan tidak dibuat-buat. Tak peduli bahwa tim yang sedang diusirnya pulang adalah tim di mana dia pernah mengabdi, dan negara yang sedang dibenamkannya adalah negara tempat kelahirannya. Hiddink tetap meloncat kegirangan meski dia sadar di darahnya mengalir darah Belanda. Dan sekarang mungkin Hiddink menjadi orang Belanda yang paling dibenci di Belanda.
Guss Hiddink memang istimewa. Sentuhannya selalu membawa sejarah bagi tim nasional yang dipegangnya. Jika di Indonesia kita mengenal Gus Muh yang piawai mengobati, maka di Belanda sana mereka mengenal Guus Hiddink yang juga piawai mengobati. Bukan fisik, tapi prestasi sepakbola sebuah negara.
Mungkin sudah waktunya kita mencoba menggunakan jasanya, biar negeri kita juga bisa membuat sejarah mentereng di pentas dunia. Tapi ah, saya kok pesimis ya. Se-midas apapun Guus Hiddink, bila harus berurusan dengan Nurdin Halid dan konco-konconya rasanya akan sia-sia saja. Setidaknya kita baru sampai pada tahap bermimpi saja, entah sampai kapan..[DG]
Hmm.. Raja Midas spesialis Semifinal π
Pelatih yg Sy ingat digelari Raja Midas adalah Don Fabio. Sentuhannya berderet dari AC Milan, AS Roma, Jupe dan Real Madrid. Tapi untuk ukutan Tim Nasional Don Fabio belum teruji. Kesempatan pertama pembuktian sentuhan emasnya adalah saat ini di Timnas Inggris.
Btw, Sy rasa Guus Hiddink melalui jatim connection (para gus-gus) bakalan mau melatih timnas merah-putih π