Sepakbola dan faktor “U”

Siapapun pasti tau kalau sepakbola adalah olahraga yang banyak menggunakan unsur fisik. Berlari sepanjang 2×45 menit ditambah dengan gerakan-gerakan menendang, menahan bola atau menyundul jelas membutuhkan ketahanan fisik yang luar biasa.

 

Oleh karena itulah maka faktor “U” atau usia, atau umur atau malah uban, adalah salah satu faktor yang sangat mampu menghentikan karir seorang pesepakbola. Faktor “U” adalah faktor paling alami yang membuat para pengejar bola itu menggantung sepatu dan mencari alternatif mata pencaharian yang lain. Meski faktor lain juga banyak, tapi setidaknya faktor “U” itulah yang paling dianggap alami dan suatu saat pasti akan datang menghampiri.

 

Tapi, baru-baru ini saya menyadari kalau ternyata faktor “U” bukan hanya mempengaruhi pada pemain bola, tapi juga para penonton. Setidak-tidaknya itu yang terjadi pada saya. Di usia yang berkepala 3 ini saya mulai menyadari kalau ternyata faktor “U” sudah mampu menggerogoti ketahanan fisik saya dalam mengikuti setiap pertandingan sepakbola kelas dunia.

 

Negeri kita terpaut jarak waktu rata-rata 8 jam dengan Eropa, benua yang dianggap sebagai mekkah-nya sepakbola. Berbagai perhelatan besar, entah yang hanya sekedar liga domestik, liga Champion atau bahkan piala Eropa dan piala dunia selalu berselang rata-rata 8 jam dengan waktu di tanah air. Dengan kata lain, perhelatan tersebut biasanya baru dimulai saat tengah malam di sini meski mereka di sana baru saja memulai malamnya. Nah, untuk mengikuti perkembangan pertandingan yang dimulai saat seharusnya kita terlelap itu, sungguh membutuhkan energi dan daya tahan yang tak biasa. Dan itu jelas berkaitan erat dengan faktor “U”.

 

Piala dunia 1998 yang digelar di Perancis adalah pencapaian tertinggi saya dalam hal begadang. Waktu itu usia saya belum lagi genap 21 tahun, dan jelas masih sangat segar, sehingga begadang berapa lama dan berapa haripun hayo aja. Saya ingat dari sekian banyak pertandingan yang digelar, saya hanya kehilangan pertandingan-pertandingan terakhir penyisihan grup yang memang digelar bersamaan.

 

Padahal pola pertandingan waktu itu lumayan gila. Pertandingan pertama biasanya digelar pukul 9 malam, kemudian berlanjut pukul 00 dinihari dan kemudian ditutup pukul 3 subuh. Nah, selepas pukul 5 atau akhir dari pertandingan terakhir saya cuma menyempatkan tidur maksimal 2 jam sebelum kembali beraktifitas dan masuk kantor.

 

Sebenarnya sebelum pertandingan pertama digelar saya kadang masih sempat mencuri waktu untuk tidur barang 1-2 jam, tapi itu lebih banyak gagalnya. Selain karena tidak terbiasa tidur pada jam tersebut, ajakan teman-teman untuk nonton bareng yang biasanya dimulai dengan ngobrol ngalor ngidul tentu tidak memungkinkan untuk tidur.

 

Selama sebulan penuh saya tetap fit untuk terus-terusan begadang hampir tiap malam.

 

Sebenarnya daya tahan saya selama piala dunia itu bukan datang begitu saja. Sebelumnya saya sudah “berlatih” dengan begadang berkali-kali demi menyaksikan pertandingan-pertandingan sepakbola baik liga regional maupun liga champion. Terkadang saya juga memangkas jadwal tidur bila ada tugas yang mendesak. Pokoknya, waktu itu saya selalu siap aja kalau ada yang nantangin untuk begadang.

 

Euro 2008 kemarin saya mulai menyadari kalau ketahanan fisik saya sudah tidak sekuat dulu lagi. Saya memang masih sanggup begadang untuk menyaksikan beberapa pertandingan secara marathon. Tapi, dampaknya langsung terasa keesokan harinya di kantor. Mata ngantuk luar biasa, tubuh lemes tak bertenanga dan walhasil pekerjaan jadi tidak beres.

 

Selepas Euro, rasanya fisik jadi makin tak bersahabat dengan kemauan. Pertandingan-pertandingan selepas tengah malam makin banyak yang terlewat. Hanya beberapa biji pertandingan liga Champion, La Liga dan Serie A yang bisa saya pelototin. Selebihnya lewat begitu saja. Singkatnya saya makin selektif memilih pertandingan plus makin kuat menebalkan tekad untuk nonton.

 

Bukan cuma buat nonton bola saja hingga saya tak sanggup lagi untuk begadang. Mengerjakan kerjaan sampingan di malam haripun rasanya sangat berat. Di atas jam 10 malam, mata sudah susah untuk kompromi, maunya merem aja. Walhasil, berbagai kerjaan luar, draft tulisan atau ide-ide desain jadi mengendap tak tersentuh.

 

Apalagi sekarang, saat ada Hilmy yang menyita sebagian besar perhatian dan energi kami. Nyaris tak ada waktu luang untuk sekedar bersantai dan menikmati “Art of doing nothing” (kata Trinity).

 

Tapi yah, itulah hidup. Ada metamorfosa yang harus dijalani semua orang. Ada proses menjadi lebih tua secara fisik tapi belum tentu lebih dewasa dari segi psikologis. Ah, fisik ternyata tak bisa bohong…