Kenangan Sepakbola Masa Kecil
Mencoba mengingat-ingat kembali kenangan bermain bola saat masih kecil. Pengalaman yang sangat menyenangkan kala itu.
Liga-liga utama di dunia sedang diliburkan menyusul semakin merebaknya perkembangan virus Covid-19. Dari liga lokal sampai liga regional Eropa, semua dihentikan dulu untuk sementara. Para penikmat sepakbola sedikit banyaknya pasti merasa sedih, kehilangan kesenangan akhir dan tengah pekan yang biasanya mewarnai hari-hari mereka. Termasuk saya juga.
Tapi mau bagaimana lagi? Berkorban sejenak untuk keuntungan yang lebih besar di belakang hari adalah hal yang lebih bijak kan?
Sambil menanti kembalinya liga utama Eropa, bagaimana kalau kita bernostalgia sejenak mengenang masa-masa kecil dan bermain sepakbola? Saya yakin kebanyakan dari mereka yang menjadi penggemar sepakbola, besar dengan kenangan bermain sepakbola. Paling tidak di masa kecil mereka.
Lapangan Masih Mudah dan Murah.
Saya melewati masa kecil di sepanjang dekade 80an. Masa ketika lahan kosong masih sangat mudah ditemukan. Apalagi keluarga saya tinggal di pinggiran kota Makassar yang dekat dengan hutan kecil dan persawahan. Saking di pinggirnya, orang sering menyebutnya sebagai tempat jin buang anak.
Tapi, kondisi itu memberi banyak kesenangan bagi kami anak-anak kecil. Kami punya lapangan bermain yang luas, dan punya banyak pilihan bermain. Kadang masuk hutan mencari buah hutan, kadang main di tepi sawah, dan tentu saja bermain bola ketika sore menjelang.
Ini adalah kemewahan yang sekarang sulit ditemui anak-anak kecil zaman now yang tinggal di perkotaan. Lahan luas buat bermain. Anak-anak zaman now di kota-kota besar semakin terjepit oleh dinding beton. Bermain bola pun kadang harus dilakukan di jalanan ketika jalanan sepi. Berbeda dengan kami dulu. Atau kalau punya uang ya menyewa lapangan bola atau lapangan futsal yang harga sewanya juga lumayan.
Masalah kami dulu bukan di lapangan, tapi di bola. Lapangan luas ada, tapi kadang bolanya yang tidak ada. Paling sering kami menggunakan bola plastik, karena hanya itulah yang bisa kami beli. Bola kulit adalah barang mewah, tidak semua orang punya dan kebetulan tidak semua orang tua kami adalah orang berpunya.
Jadilah pilihan utama adalah bola plastik yang dibeli dengan uang hasil patungan, uang hasil menyisihkan jajan kami. Saya lupa harganya berapa, tapi sepertinya di bawah Rp.1.000,- per bola sementara uang jajan kami hanya Rp.50,- per hari. Memang butuh menabung dulu sebelum bisa beli bola plastik.
Main bola pakai bola plastik ini sangat melatih skill loh. Bola plastik sangat ringan sehingga kami harus menentukan tekanan yang tepat dan sudut kaki yang tepat di atas bola supaya arah bola bisa tepat seperti yang kami inginkan. Selain itu, bola plastik yang ringkih juga membuat kami sebisa mungkin menghindari perebutan bola yang ekstrem. Kalau tidak, bolanya bisa peyang-peyang tidak menentu dan itu artinya kami membuang waktu beberapa menit untuk merapikan kembali bulatan bola plastik itu.
Aturan Tidak Tertulis.
Setelah lapangan siap, pemain siap, dan bola juga sudah ada maka sekarang waktunya bermain bola! Tapi jangan lupa siapkan dulu aturannya. Beberapa aturan tidak tertulis yang selalu disepakati bersama adalah:
1. Satu tim tidak harus 11 orang.
Namanya juga main bola amatir, di lapangan yang tidak standar, jadi jumlah pemain dalam satu tim ya tidak harus standar juga. Kadang hanya 5 lawan 5 kalau kebetulan tidak banyak anak-anak yang berkumpul. Kadang tim juga tidak berimbang, misalnya 5 lawan 6. Ini biasanya karena anak-anak tidak tega membiarkan satu anak tertinggal, jadi dibiarkanlah dia main meski akhirnya tim jadi tidak seimbang. Untuk mengakalinya, biasanya anak yang dianggap paling lemah dimasukkan ke tim yang anggotanya lebih.
Tambahan, kalau di tengah pertandingan ada pemain yang baru datang dan ingin bergabung dia tinggal bertanya, “Mana yang kurang?” Kalau jumlah tim berimbang, dia tinggal memilih mau masuk ke tim yang mana. Sesederhana itu.
2. Tidak ada seragam.
Yup, main bola kampung berarti siap dengan kostum yang beragam. Tidak ada baju seragam yang menandakan satu tim. Bagaimana mengakalinya? Soalnya kalau tidak dibedakan biasanya pemain akan sulit melihat mana rekan setim, mana lawan. Caranya mudah saja, diundi dulu atau dengan cara suit. Tim yang kalah akan melepas setengah bajunya untuk memberi penanda berbeda dengan tim lawan. Jadi satu lengan baju disampirkan ke bahu dan memperlihatkan setengah tubuh bagian atas.
Tapi penanda ini akan berbeda lagi ketika satu tim kemasukan gol. Itu artinya tim yang kemasukan gol harus melepas semua bajunya, bertelanjang dada. Ini membuat pemain sudah bisa dengan baik membedakan mana rekan setimnya, mana tim lawan.
Terus jangan bayangkan pemain akan mengenakan sepatu. Oh tentu tidak! Semua kaki kosong alias nyeker. Kalaupun ada satu anak yang orang tuanya cukup kaya untuk membelikannya sepatu bola, maka anak-anak yang lain akan protes dan meminta dia membuka sepatu. Takut kakinya diinjak.
3. Tidak ada tiang gawang? Sendal pun jadi.
Namanya saja main bola anak-anak, tiang gawang tentu tidak selalu ada. Masih untung kalau ada kayu di sekitar lapangan, bisa ditancapkan ke tanah dan jadi penanda tiang gawang. Kalau tidak, maka sendal para pemain akan ditumpuk untuk jadi penanda tiang gawang.
Salah satu anak akan bertugas untuk menentukan jarak antar tiang gawang. Caranya dengan melangkahkan kaki sesuai kesepakatan. Sepuluh langkah, atau bisa lebih. Maka dengan demikian, jadilah tiang gawang kanan dan kiri.
Masalah akan muncul ketika bola mengenai tiang gawang dari sandal itu sebelum melaju ke belakang gawang. Biasanya akan ada perselisihan kecil, ada yang bilang itu bola out dan kena tiang, ada yang bilang masuk.
4. Anak paling gendut atau paling kecil menjadi kiper.
Ini jadi kesepakatan bersama dan tidak bisa diganggu gugat. Anak yang tubuhnya paling subur akan dianggap sebagai anak paling lemah, jadi dia akan diberi posisi kiper. Posisi yang bagi anak kecil dianggap posisi paling tidak penting dalam sepakbola.
Kalau tidak ada anak bertubuh subur, maka pilihan menjadi kiper adalah anak yang usianya paling muda atau tubuhnya paling kecil. Tidak boleh membantah kalau masih mau main bersama. Gara-gara ini juga saya ingat ada seorang kawan yang akhirnya jadi kiper yang lumayan bagus karena sedari kecil dia selalu kebagian posisi sebagai kiper sebagai anak paling muda di kelompoknya.
5. Waktu ditentukan oleh azan magrib.
Kalau umumnya waktu permainan sepakbola dibatasi 2×45 menit, maka sepakbola anak kecil tidak seperti itu. Tidak ada batasan waktu. Selama semua pemain masih merasa segar bugar dan siap bermain maka bola akan terus bergulir. Tidak ada babak pertama, babak kedua. Semua diselesaikan dalam satu babak.
Satu-satunya penanda waktu selesainya permainan adalah azan magrib. Bila azan berkumandang, maka permainan dianggap selesai. Apalagi kalau di tepi lapangan sudah ada ibu atau bapak yang berteriak, “Woy! Sudah Magrib! Pulang sana!” maka dengan demikian pertandingan resmi diakhiri.
Tapi untuk personal pemain, mereka bisa berhenti kapan saja bila ada gangguan. Bisa saja sementara asyik-asyik bermain, ibu sang pemain sudah berdiri di tepi lapangan dan berteriak, “Ke warung dulu sana beli minyak tanah!” maka si pemain dengan berat hati harus berhenti, keluar dari pertandingan dan menuruti perintah ibu. Kalau tidak, siap-siap saja kena sabetan sapu atau kayu.
Bagi pemain sepakbola anak-anak, kuasa ibu melebihi kuasa wasit atau bahkan kuasa Komisi Disiplin PSSI sekalipun.
*****
Ah mengingat-ingat kembali permainan bola zaman kecil membuat saya merindukan masa-masa itu. Masa-masa ketika kehidupan masih sangat sederhana. Tidak ada masalah keuangan, tidak ada masalah perbedaan pilihan politik, tidak pusing memikirkan KPR, cicilan, atau apapun itu. Masalahnya selalu sederhana, nanti main di mana? Atau nanti bisa menang tidak kalau main bola? Hahahaha.
Masa kecil bagi sebagian orang memang sangat menyenangkan. Termasuk bagi saya. Bagaimana dengan kamu? Punya pengalaman main bola waktu masih kecil? [dG]
Dari kelas 2-6 SD saya kayaknya main bola tiap hari, Daeng, sepulang sekolah, 1-2 jam. (Ntar sambung lagi sorenya di lapangan lain.) Kalau yang sesi pulang sekolah, yang jadi gawang kami salah empat dari sekian banyak pohon mahoni di sekeliling lapangan. Lucunya, “batas” mistar gawang disesuaikan dengan tinggi kiper. Kalau kiper bilang terlalu tinggi, nggak gol. Hahaha!
Hahaha! Waktu ditentukan oleh adzan maghrib. Waktu kecil kita memang memiliki energi tidak terbatas, beda sekarang, makin dewasa makin malas gerak… 😀