Puncak Kurva Sebelum Final
Italia pernah kalah dengan gol yang sama di final piala dunia 1970. Italia pernah kalah menyakitkan di final piala Eropa 2000. Tapi Italia tetaplah Italia
Kiev, 1 Juli 2012. Akhirnya hanya ada dua tim yang berlaga di partai puncak setelah perjalanan nyaris selama sebulan penuh. Spanyol memperlihatkan levelnya, bermain stabil dalam 4 tahun belakangan. Di seberang, Italia bermain mengejutkan. Datang ke Ukraina-Polandia dengan tim yang compang-camping dan tas berisi masalah toh mereka bisa juga sampai ke final dengan menggulung Jerman dan sebelumnya Inggris.
Seluruh dunia sudah tahu hasil akhirnya. Italia seperti segerombolan banteng yang dilukai dan kemudian dimatikan oleh para matador. Bukan seperti segerombolan gladiator yang melukai dan membunuhi binatang buas di depan Cesar. 0-4, dan Spanyol menorehkan sejarah baru sebagai tim yang menjuarai piala eropa dua kali berturut-turut sambil diselingi juara dunia.
Dua hari sebelum final, di sebuah cafe di Makassar saya menghabiskan malam bersama Lelakibugis. Obrolan berpindah-pindah dari tema ke tema dan kemudian mampir di tema tentang partai final.
Ada satu kekhawatiran yang saya lontarkan malam itu. Saya kuatir penampilan Italia di partai semifinal melawan Jerman adalah puncak kurva penampilan mereka, dan final melawan Spanyol adalah anti klimaksnya.
Tahun 2010, Jerman mengalami hal yang sama. Menghantam Inggris 4 gol dan kemudian mengandaskan Argentina dengan gol yang sama dan permainan yang luar biasa. Selepas itu Jerman malah kalah dari Spanyol di semifinal.
” Saya takut Jerman sudah mencapai puncak penampilannya waktu lawan Argentina.” Kata seorang teman kala itu. Dia penggemar berat Jerman yang realistis.
Kata-katanya terbukti, meski Jerman main bagus di semifinal dia tetap harus mengakui kehebatan Spanyol dengan gol semata wayang dari Puyol. Pupus sudah harapan mereka ke final, pupus sudah harapan mereka menggenapkan bintangnya menjadi empat.
Secara psikologis, menghadapi dua lawan tradisional secara berurutan dan kemudian memenangkannya akan membuat para pemain tiba pada puncak performance-nya. Ketika puncak itu telah dicapai, semua energi terkuras dan akhirnya akan habis ketika mereka tiba di partai selanjutnya.
2010 Jerman menghadapi Inggris di perdelapan final. Inggris adalah lawan tradisional mereka, dan tentu semua energi dikerahkan untuk mengalahkan negeri yang pernah mereka bombardir di perang dunia kedua itu. Jerman mampu melewatinya, berikutnya adalah Argentina. Meski bukan lawan tradisional, tapi nama besar Argentina yang waktu itu juga bermain baik memaksa mereka mengerahkan energi yang tersisa, sampai habis. Jerman berhasil melewatinya, tapi sisa energi mereka sudah terpakai.
2012 Italia mengalami hal yang hampir sama. Di perempat final mereka dihadang Inggris, salah satu lawan tradisional mereka. Pertandingan ketat dengan Inggris yang memilih untuk bertahan dan kemudian harus disingkirkan lewat adu penalti mereka lewati. Di semifinal sudah ada Jerman yang jelas lebih kuat dari Inggris. Jerman juga lawan tradisional mereka. Tradisi panjang perseteruan Jerman-Italia sudah mengakar kuat dan memaksa mereka menggunakan semua energi yang ada. Jerman digulung, dan ada Spanyol di final. Italia sudah kehabisan amunisi, semua energi sudah habis dicurahkan untuk dua partai keras melawan dua tim yang secara turun temurun sudah jadi lawan berat mereka.
Spanyol? Mereka punya kualitas dan mereka punya garis keberuntungan yang bagus. Di perempat final mereka dihadang Yunani yang berada satu strip di bawah mereka. Yunani bukan masalah besar. Masalah baru datang ketika Portugal tiba duluan di Semifinal. Spanyol bermain buruk kala itu, tapi kurva mereka belum tiba di puncak.
Di tulisan sebelumnya saya sudah bilang, kalau Italia berani bermain terbuka maka Spanyol kemungkinan menemukan permainan terbaik mereka kembali. Sebelum bertemu Italia, Spanyol adalah tim yang bosan dan membosankan. Mereka lebih banyak berputar ke sana ke mari, mengumpan ke sana ke mari dan berlari ke sana ke mari karena lawan mereka selalu menolak bermain terbuka dan lebih memilih memarkir bus di depan kotak penalti.
Italia masuk ke dalam stadion dengan semangat seorang gladiator. Mereka berani menantang Spanyol meski dengan kekuatan yang mungkin setengah di bawah kekuatan Spanyol. 15 menit pertama dikuasai Spanyol, 15 menit terakhir dikuasai Spanyol. Menit-menit di antaranya dikuasai Italia. Italia memilih resiko terberat, pertahanan mereka terekspos karena bermain terbuka, dan resiko itu mereka tanggung dengan dua gol di babak pertama.
Tak usah bercerita tentang babak kedua. Kesialan adalah kawan akrab Italia malam itu. Thiago Motta cedera setelah kuota pergantian pemain Italia habis. Dengan 11 orang Italia hanya bisa mengancam Spanyol, dengan 10 orang maka gol hanya tinggal menunggu waktu. 0-4 adalah hasil yang fair. Menghadapi juara bertahan dan juara dunia dengan 10 pemain, kematian hanya menunggu waktu.
Italia pernah kalah dengan gol yang sama di final piala dunia 1970. Italia pernah kalah menyakitkan di final piala Eropa 2000. Tapi Italia tetaplah Italia. Mereka punya darah sepakbola, mereka bisa bangkit dan bahkan menjadi juara di tahun 2006. Itu hanya soal waktu.
Italia sudah menemukan permainan terbaiknya di semifinal melawan Jerman. Kurva mereka mencapai puncaknya malam itu, jadi saya tidak terlalu heran ketika mereka akhirnya harus mengakui kehebatan Spanyol malam tadi. Kekhawatiran saya terbukti.
Selamat buat Spanyol. Hanya tim terbaik yang pantas mengalahkan Italia di final.
[dG]