Negeri Para Penari Samba

Fans Brazil yang selalu tampil mencolok

Menyebut Brasil, yang terbayang adalah sebuah negara yang jadi pabrik pesepakbola terbaik di muka bumi. Brasil dan sepakbola seperti kulit dan daging, bagian yang tak terpisahkan dalam roda sejarah sepakbola dunia.

Ada beberapa negara yang begitu lekat dalam sejarah sepakbola. Salah satunya adalah Brazil, bagaimana negara di Selatan benua Amerika ini begitu mencintai sepakbola. Dan betapa sepakbola juga begitu mencintai Brasil. Brasil adalah satu-satunya negara yang belum pernah absen dalam setiap gelaran piala dunia sejak 1930, Brasil juga yang paling sering menjadi juara dengan 5 gelar. Brasil dan sepakbola, dua nama yang selalu bisa dihubungkan dari sisi manapun.

Stadion Maracana, 16 July 1950. Saat itu Brazil sang tuan rumah menjamu Uruguay di partai puncak piala dunia. Seluruh Brazil yakin kalau mereka akan jadi juara, pesta sudah dipersiapkan di Rio De Jenairo. Hampir dua ratus ribu orang memadati stadion Maracana yang kala itu memang menjadi stadion terbesar di dunia. Rekor yang sampai sekarang belum terpecahkan.

Menit ke 47, Friaca mencetak gol untuk Brazil. Pesta mulai digelar, kembang api dinyalakan, lagu dan tarian samba berdengung di beberapa sudut kota. Mereka siap menggelar carnaval sepanjang malam. Suasana berubah suram ketika menit ke 66, Schiaffino dari Uruguay menyamakan kedudukan. Seisi kota mulai dicekam kekuatiran. Bagaimana kalau mereka gagal ? Bagaimana kalau bukan Brazil yang jadi juara ?

11 menit menjelang akhir pertandingan Ghiggia membuat gol penentu kemenangan. Buyar sudah impian rakyat Brazil. Pesta gagal digelar, kembang api gagal dinyalakan, tifa gagal ditabuh dan para penari kehilangan semangat bahkan untuk sekadar menggerakkan kaki mereka. Puluhan orang bunuh diri karena dicekam rasa putus asa yang luar biasa. Hari itu akan dikenang sepanjang masa sebagai hari berkabung nasional.

Begitu besarnya kecintaan orang Brazil terhada sepakbola. Para orang tua sedari kecil sudah menanamkan dalam diri anak-anaknya, tak usah rajin belajar. Cukuplah dengan menguasai sepakbola. Sepakbola adalah jalan lapang menuju kesejahteraan. Para orang tua akan bermuram durja bila tak ada satupun anak mereka yang bisa menendang si kulit bundar.

Brazil adalah pabriknya pemain berbakat. Nama Nedson Arantes di Nascimento mungkin asing di telinga orang awam, tapi begitu menyebut Pele orang akan menganggukkan kepala. Lelaki keling ini adalah legenda. Dia merebut 3 gelar juara dunia bersama Brazil, memukau dunia dengan gocekannya dan menerbitkan decak kagum dengan tendangannya.

Pele hanya satu dari begitu banyak hasil pabrik bernama Brazil itu. Garrincha, Vava, Zagalo, Zico, Socrates, Bebeto, Dunga, Romario, Ronaldo, Rivaldo, Ronaldinho sampai Kaka dan Pato. Sebutlah dan tak akan ada ruang kosong untuk menyebut para seniman sepakbola dari tanah Brazil. Tuhan memang sepertinya menunjuk tanah Brazil menjadi tanah yang subur untuk lahirnya para pesepakbola itu.

Brazil terkenal dengan goyangan sambanya, dan di lapangan hijau para pemain Brazil terkenal dengan gocekannya yang oleh orang kemudian disamakan dengan tarian samba. Meliuk, menggeliat dan bergerak lincah dengan kaki yang tak bisa diam. Mereka lebih suka bermain dengan umpan pendek mendatar yang dibarengi dengan aksi individu yang kadang memang mengundang decak kagum.

Sebelum Pele menendang bola, Brazil sudah akrab dengan gaya samba dan permainan yang indah. Itu sudah mengalir dalam darah mereka, sehingga ketika Lazaroni pelatih mereka di Piala Dunia 1990 mengubah pola permaian menjadi “asal menang” maka Brazil seketika kebingungan. Lazaroni membuat porak-poranda sebuah sistem yang selama ini mereka pegang, sistem permainan sepakbola yang indah.

Cafu dan gelar kelima Brazil

Lazaroni keras kepala. Baginya tak perlu main indah kalau toh hasilnya tak maksimal, lebih baik main biasa tapi menang. Lupakan permainan indah, lupakan samba, yang penting bisa menang dan juara. Sayang, Lazaroni tak sepenuhnya benar karena di Italia 1990 Brazil malah hancur lebur dan kandas di babak perdelapan final. Empat tahun kemudian Carlos Alberto Perreira mengembalikan Brazil ke khittah-nya, main cantik a la penari samba. Perreira berhasil, Brazil akhirnya juara dunia untuk keempat kalinya.

Tapi main indah juga tak berarti selalu menang. Brazil juga sering terjebak dalam pesta samba yang mereka mainkan. Main indah, menari dengan semangat, mempertontonkan keindahan mengolah si kulit bundar, tapi kemenangan malah menjauh. Dua gelaran piala dunia terakhir menjadi buktinya.

Brazil memang sedang tidak berhasil menorehkan gelar terbaik di dua edisi terakhir piala dunia setelah tahun 2002 menuntaskan gelar kelima mereka. Tapi Brazil tetaplah Brazil. Tak lengkap rasanya membincangkan piala dunia tanpa menyebut negara ini, tak elok rasanya meminggirkan mereka sebagai unggulan setiap pesta piala dunia digelar.

Mereka boleh gagal, mereka boleh jatuh tapi mereka tak pernah capek untuk kembali bangkit dan bahkan mungkin mengejar kesempatan merebut semua tahta tertinggi sepakbola dunia. Brazil tetaplah Brazil, negeri yang orang-orangnya bahkan merasa sepakbola adalah agama mereka? bukan sekadar hobi.

Brazil adalah negeri para penari samba yang selalu berhasil membuat dunia sepakbola cerah oleh warna kuning dan hijaunya.

[dG]