Nak, Itu Bukan Lututmu!
Pada piala dunia 2010 kemarin setidaknya ada 39 persen dari seluruh pemain yang menggunakan obat penahan rasa sakit sebelum tampil di lapangan.
Inggris berduka, hanya beberapa hari sebelum gelaran Euro 2012 mereka mendengar kabar menyakitkan. Gelandang pekerja keras mereka Frank Lampard dipastikan tidak bisa ikut ke Polandia-Ukraina karena cedera pinggang. Lampard tidak sendirian, di Spanyol ada David Villa yang sudah absen sejak Desember tahun lalu karena cedera engkel.
Kehilangan pemain pilar sebelum gelaran besar adalah sebuah bencana bagi tim nasional. Langkah mereka kadang ditentukan oleh ketidakhadiran satu-dua pemain kunci mereka. Dalam waktu yang singkat pelatih harus bisa membuat formasi baru untuk menuntaskan tugas di ajang besar itu.
Cedera adalah hantu yang menakutkan bagi para pemain sepakbola. Datangnya tidak diduga dan kadang harus mengakhiri karir seorang pemain. Marco van Basten, striker flamboyan di akhir 80an dan awal 90an terpaksa gantung sepatu karena cedera engkel yang tak kunjung sembuh. Begitu juga dengan Fernando Redondo, gelandang bertahan dari Argentina yang terpaksa menutup karirnya karena cedera lutut.
Van Basten dan Redondo hanya dua contoh dari ratusan pemain lainnya yang terpaksa berhenti menendang bola karena cedera.
Sepakbola sudah menjadi industri dan para pemain sadar atau tidak sudah dianggap mesin. Mereka harus terus fit untuk menjaga perputaran uang dari permainan ini. Ketika mereka tidak bisa bermain, mereka akan dipinggirkan. Roda harus terus terputar, ketika satu mesin tidak berjalan cari penggantinya!
Tekanan pertandingan yang semakin ketat dengan benturan-benturan yang semakin keras membuat pemain jadi lebih rentan cedera. Apalagi klub-klub terbaik di Eropa bermain dengan jadwal ketat selama 10 bulan dalam setahun. Deretan alasan untuk cidera makin bertambah.
Dalam sebuah data yang dilaporkan oleh The British Journal Of Sport Medicine dikatakan kalau pada piala dunia 2010 kemarin setidaknya ada 39 persen dari seluruh pemain yang menggunakan obat penahan rasa sakit sebelum tampil di lapangan. Lebih dari 70 persen pemain membutuhkan pengobatan dan sekitar 60 persen pemain membutuhkan pembunuh rasa sakit setidaknya sekali.
Anda pikir data itu mencengangkan? Baca data berikutnya
Menurut Jiri Dvorak, kepala petugas kesehatan FIFA, ” sejak 1998, kami sudah mengumpulkan data dari setiap turnamen yang diadakan oleh FIFA. Bahkan pada level U-17 para pemain sudah diberikan obat anti inflammatory dan pembunuh rasa sakit. Kisarannya sekitar 20 dan 25 persen. Jumlah ini terus bertambah hingga ke level senior”
Mencengangkan bukan?
Ketika para pemain diberi pembunuh rasa sakit, mereka akan turun ke lapangan tanpa merasakan sedikitpun tanda alami dari tubuh mereka yaitu rasa sakit. Mereka benar-benar seperti mesin yang dipaksakan untuk bekerja demi sebuah roda perputaran uang yang tidak boleh berhenti.
Ketika seseorang mulai merasakan sakit, itu biasanya pertanda kalau tubuh mereka sudah menderita dan butuh istirahat atau perawatan medis intensif untuk mengembalikan tubuh ke kondisi sempurna. Dvorak mengatakan kalau penggunaan obat-obatan secara terus menerus akan membuat ginjal para pemain bekerja keras dan membuatnya rapuh terhadap obat-obatan. Apalagi dalam olahraga keras seperti sepakbola.
Olahraga terus bergerak maju sebagai sebuah industri. Tapi bagaimana dengan kontrol kesehatan atas pemain? Apakah juga bergerak maju atau malah mundur? Menurut Drovak hal pertama yang menjadi tugasnya adalah meyakinkan tim medis sebuah klub atau tim nasional tentang bahayanya memaksakan sebuah pengobatan yang di luar prosedur. Dalam skala yang sama, FIFA, UEFA dan klub akan diyakinkan kalau pemain bukan mesin dan tubuh punya sistem alarm sendiri ketika mereka sudah mencapai batas maksimumnya.
Ada sebuah kisah dari seorang pemain bertahan Liverpool masa 80an, Tommy Smith. Dia menolak bermain karena merasa ada yang salah dengan lututnya, dengan dingin sang manager Bill Shankly berkata : “Nak, itu bukan lututmu. Itu lutut milik Liverpool “, Smith adalah salah satu pemain yang di belakang hari kemudian harus menjalani operasi berat pada lututnya karena akumulasi cidera berat selama karirnya.
Akhirnya slogan “No Pain, No Gain”?seperti menemukan pembuktian. Tak ada rasa sakit, tak ada keberuntungan.
Nb: data tulisan ini diambil dari sini
[dG]
miris banget membacanya, apakah hal itu berlaku juga di Indonesia? bukankah mereka juga profesional?