Mou Kena Batunya

Gaya khas Mourinho

The Special One sudah berkoar di tiga negara berbeda. Kemampuannya dan mulut besarnya membungkam banyak pelatih senior. Tapi di Spanyol, dia kena batunya

Semifinal leg kedua Liga Champion Eropa di Camp Nou kota Barcelona. Mou tidak bisa mendampingi anak asuhnya menuntaskan misi yang hampir mustahil. Menang dengan lebih dari 3 gol atas Barcelona di kandang sang lawan agar bisa menjejakkan kaki di final.

Sayangnya, itu betul-betul jadi misi yang tidak mungkin. An impossible mission. Jangankan unggul dengan tiga gol, unggul satu golpun tidak. Beruntung mereka tidak sampai kalah dan hanya bermain imbang. Seminggu sebelumnya Mou dan anak asuhnya menelan malu di kandang sendiri, kalah 0-2 dari tamu mereka.

Mou mendarat di Santiago Bernabeu sebagai bagian dari kampanye ambisius sang presiden Real Madrid, Florentino Perez. Kedatangan Mou dianggap pelengkap untuk taburan bintang yang dihuni Christiano Ronaldo dan Kaka. Mou kemudian juga menggandeng Sami Khedira, Mezut Ozil dan Xabi Alonzo sebagai bagian dari ambisi besarnya menguasai Spanyol dan Eropa.

Mou sudah pernah membuktikannya di tiga negara berbeda sebelumnya.

Di Portugal, bersama FC. Porto dia menguasai Portugal dan bahkan 2004 menguasai Eropa lewat pasukan sederhana yang kurang bintang miliknya. Selang setahun kemudian Roman Abramovich, melagomaniak lainnya dari tanah Rusia membuatnya tidak bisa menolak sodoran kontrak untuk bergabung dengan Chelsea.

Hanya butuh setahun, Mou langsung menggebrak. Dia menyempil di antara rivalitas Ferguson dan Wenger yang sudah mulai berkarat. Ada Benitez juga di sana yang kemudian ditelikungnya seakan Benitez dan klubnya hanyalah medioker yang tak perlu ditakuti. Chelsea yang lama duduk di papan tengah diubah Mou menjadi klub yang menakutkan. Tentu saja dia dibantu oleh uang sang bos yang nyaris tak berseri.

Mulut tajamnya efektif memancing emosi lawan

Mou bukan orang sembarangan. Dia punya percaya diri yang tinggi, keangkuhan yang kadang menebar rasa benci dan tentu saja, mulut tajam yang efektif memancing emosi. Ferguson, Wenger dan Benitez adalah mereka yang berhasil dia pancing emosinya. Tukar menukar celaan dan sindiran di media massa jadi menu wajib ketika Chelsea bertemu dengan klub dari tiga pelatih itu.

Mou seperti menggebrak tradisi monarki Inggris yang penuh dengan tata krama dan sopan santun. Tapi itulah Mou, banyak yang menyukainya karena kehadirannya membuat liga Inggris makin panas.

Ambisi sang boss melihat trophi liga Champion di lemarinya tidak membuahkan hasil di tangan Mou. Lelaki asli Portugal itu harus minggat. Dan benar saja, di tengah jalan kerjaannya diambil alih Avram Grant yang justru bisa membawa Chelsea setidaknya selangkah dari podium juara.

Mou tidak lama menganggur. Jutawan minyak Italia memboyongnya ke kota mode, Milan. Milan biru hitam jadi ladang pembuktian barunya. Inter Milan sudah lama lupa rasanya jadi juara sebelum mereka mendapatkannya secara gratis dari Juventus yang didegradasi. Mereka juga hampir tidak pernah bicara banyak di liga Champion Eropa selain jadi penggembira.

Tapi Mou mengubahnya. Sekali lagi tangan dinginnya membuahkan hasil. Inter Milan dibawanya menjadi juara Serie-A dan bahkan dibawanya menjadi juara Liga Champion Eropa tahun kemarin. Okelah, dia berhasil membuktikan kalau dia memang Special One, si Orang Spesial.

Tapi bukan Mou namanya kalau tidak mencari lawan di negeri baru. Pers Italia, wasit dan kemudian beberapa orang pelatih jadi korban mulut tajamnya. Ah ya, itu memang ciri khas Mou kan ? bukan hal baru tentunya.

2010/2011 Mou mendapat tantangan baru. Pindah ke Spanyol dan jadi tokoh sentral sebuah klub kesayangan raja Juan Carlos, Real Madrid. Di sana sudah ada pelatih muda lainnya yang juga sudah terlanjur terkenal sebagai pelatih brilian, Josep Guardiola.

Mou percaya diri bisa menumbangkan dominasi Barcelona di bawah Guardiola. Seperti biasa, dia tak pernah lupa pada sesumbarnya. Khas the Special One.

Tapi apa yang terjadi ? Pada laga el Clasico tahap pertama tanggal 29 November 2010 Real Madrid kalah telak 0-5 di Nou Camp. Skor yang sudah lama tidak tertoreh dalam laga penuh emosi antara dua rival bebuyutan itu. Mou masih percaya diri meski berikutnya dia Santiago Bernabeu dia hanya bisa menahan imbang Barcelona.

Tahun ini memang luar biasa, total 5 kali El Clasico digelar. Dua di liga, dua di semifinal liga Champion Eropa dan satu di final Copa Del Rey. Sayangnya, Mou hanya bisa menang sekali, di final Copa Del Rey dengan skor tipis 1-0. Sisanya ? dua kali kalah ( 0-5 dan 0-2 ) serta dua kali seri masing-masing 1-1.

Dari tiga negara yang pernah ditempatinya berkarya, sepertinya baru di Spanyol ini Mou kena batunya. Jalan memang masih panjang, kalau musim depan Mou masih di Madrid dan Guardiola masih di Barcelona maka masih ada kesempatan mereka untuk kembali bertemu dan Mou pasti gatal ingin membuktikan kapasitasnya.

Berhasilkah Mou mengalahkan Guardiola musim depan ? Atau dia akan kembali kena batunya ?