Mengenang Maradona, Sang Dewa Dari Buenos Aires

Sebuah catatan tentang Diego Armando Maradona, salah seorang legenda yang turut andil memperkenalkan saya pada sepak bola.

“Saya Maradona, kau Burruchaga na.”
“Nda mau ja! Saya Maradona, kau Burruchaga.”

Kedua anak itu masih kecil, belum lagi genap 10 tahun. Setiap sore mereka selalu bermain sepak bola di lapangan yang luas di depan komplek perumahan mereka. Seperti layaknya anak lelaki. Sebuah bola plastik kecil akan menemani mereka menghabiskan sore sampai magrib tiba. Sore itu mereka berdebat, siapa yang akan jadi Maradona dan siapa yang akan jadi Burruchaga, sang side wing dari Maradona.

Mereka tidak benar-benar tahu siapa Maradona dan Burruchaga. Mereka hanya mendengar nama itu dari orang-orang yang lebih dewasa yang sedang menikmati riuh gempita gelaran Piala Dunia Mexico 1986. Nama Maradona selalu disebut, bukan hanya oleh orang-orang dewasa yang ada di sekitar rumah mereka tapi juga oleh para pembaca berita di kotak televisi, dan para penulis di lembaran-lembaran koran.


Ketika Maradona menngangkat Argentina menjadi juara dunia

Kedua anak itu tidak tahu betul siapa Maradona, tapi mereka tahu betul kalau nama yang disebut itu pasti bukan orang biasa.

Kedua anak itu adalah saya dan teman saya.

Dewa Penyelamat Argentina

Empat tahun kemudian di gelaran Piala Dunia 1990 di Italia, kedua anak itu sudah cukup besar untuk tahu banyak tentang sepak bola. Mereka sudah mengikuti setiap detik gelaran olahraga terbesar di muka bumi itu, bahkan sejak persiapan. Mereka pun sudah memantapkan diri untuk menyaksikan partai pembuka Italia 1990 yang mempertemukan Argentina dan Kamerun. Salah seorang dari mereka – yang adalah saya – bahkan berdecak kagum melihat sang bintang Argentina, Diego Armando Maradona melakukan pemanasan, memainkan bola dengan bahunya.

“Luar biasa!” Itu kalimat yang saya ingat berdengung di kepala saya waktu itu.

Hasil pertandingan pembukaan itu memang mengejutkan dunia. Kamerun, negara yang seolah liliput untuk sang juara bertahan Argentina ternyata malah memenangkan pertandingan meski bermain dengan 9 pemain. Dua pemainnya terkena kartu merah karena bermain kasar, beberapa lainnya harus puas dengan kartu kuning. Kamerun memang memainkan taktik bermain kasar untuk meredam aksi menakjubkan Argentina.

Dan tentu saja Maradona jadi sasaran utama.

Hasil pertandingan pembuka itu secara perlahan membuat orang mulai meragukan langkah Argentina di Italia 1990. Meski menang 2-0 di pertandingan selanjutnya, tapi Argentina harus puas maju ke babak kedua dengan predikat peringkat tiga terbaik setelah hanya mampu menahan imbang Rumania dengan skor 1-1.

Di perdelapan final, Argentina bertemu Brasil yang saat itu sedang bagus-bagusnya. Salah satu pemain terbaik Brasil waktu itu adalah Carrera, kompatriot Maradona di Napoli.

“Argentina akan kesulitan untuk memenangkan pertandingan. Saya pikir, Brasil lah yang akan maju ke babak perempat final,” kata Edi Sofyan, komentator pertandingan di TVRI malam itu.

Lepas 90 menit kemudian, Bung Edi harus menelan pernyataannya sendiri. Argentina justru keluar sebagai pemenang dengan satu-satunya gol yang dicetak Caniggia setelah memanfaatkan umpan matang dari, siapa lagi kalau bukan Maradona.

“Maradona membuktikan dirinya sebagai bintang yang sesungguhnya. Dia muncul di saat yang tepat,” kata Edi Sofyan, sang komentator sekaligus sebagai ralat atas pernyataannya di awal pertandingan.

Antara Dewa atau Negeri

Sebuah spanduk besar terbentang di stadion San Paolo, Napoli menjelang pertandingan antara Argentina dan Italia di semi final. Isinya kira-kira seperti ini: Maradona, kau adalah dewa kami tapi Italia adalah negeri kami. Spanduk itu mewakili curahan hati sebagian besar warga Napoli yang datang malam itu.

Maradona adalah dewa bagi mereka. Maradona datang di musim 1984-1985 dari Barcelona dengan menyandang predikat pemain termahal dunia. Sebuah predikat yang berbanding terbalik dengan kondisi Napoli yang selalu diberi label sebagai kota miskin dengan tingkat kejahatan tertinggi di Italia.

Kedatangan Maradona bagi rakyat Napoli ibarat kedatangan seorang dewa yang akan menyelamatkan mereka. Mereka tidak peduli pada kebobrokan pemerintahan lokal, sistem sanitasi yang buruk, kelangkaan lapangan kerja, sistem pendidikan yang kacau, dan sistem transportasi yang kuno karena mereka punya Maradona. Lelaki setinggi 1.65 m dengan tubuh gempal yang mereka percaya diutus Tuhan untuk mengangkat derajat kota mereka.

Dan Tuhan sepertinya memang mewujudkan harapan orang Napoli. Maradona seperti nyaris sendirian mengangkat klub miskin di selatan Italia itu melawan dominasi klub-klub kaya dan metereng dari utara Italia. Dominasi klub Juventus, AC Milan, Inter Milan, dan AS Roma perlahan mulai goyah. Dua tahun sejak tiba di Napoli, Maradona berhasil membawa klub biru langit itu menjadi jawara Serie A untuk pertama kalinya.

Seluruh kota dibanjiri suka ria. Pesta digelar di mana-mana, kegembiraan menyapu bersih semua kesulitan hidup di kota yang miskin dengan tingkat kejahatan jalanan tertinggi di Italia itu. Semua karena ulah satu orang, Maradona.


Ketika Maradona membawa Napoli ke puncak

Jadi tidak heran bila sebagian besar pendukung Napoli berada dalam kebimbangan besar ketika Argentina tempat Maradona berbakti, harus berhadapan dengan tim nasional negara mereka, Italia. Di satu sisi, Maradona adalah dewa mereka. Tapi, di sisi lain Italia adalah negara mereka. Tanah tumpah darah mereka, tanah tempat ibu mereka lahir dan hidup. Pilihannya antara dewa atau negeri.

Pada akhirnya, Maradona memang menunjukkan kalau dia benar-benar dewa. Dia menyelamatkan Argentina dari jurang kekalahan, dia jadi penentu kemenangan Argentina atas Italia di kandang sendiri.

Sejak saat itu, Maradona menjadi musuh publik di Italia. Bahkan mungkin bagi sebagian warga Napoli.

Maradona, Membunuh Karirnya Sendiri

Empat tahun kemudian, nama Maradona sudah tidak sebesar sebelumnya. Tapi, dia kembali menunjukkan diri sebagai yang terbaik di tim nasional Argentina. Dia memimpin pemain muda Argentina seperti Gabriel Batistuta dan Abel Balbo di piala dunia USA 1994. Maradona yang mulai menua masih datang membawa semangat yang besar. Dia masih menjadi panutan para pemain Argentina, bahkan masih mencetak satu gol ketika Argentina mengalahkan Yunani di babak penyisihan grup.

Tapi cerita piala dunianya sebagai pemain berakhir sampai di situ. Dia terbukti menggunakan obat-obatan terlarang yang mengharuskannya keluar dari tim, pulang ke Argentina. Dan terbukti, setelah dia pergi, Argentina dengan mudah menjadi pesakitan dan akhirnya gugur di babak 18 besar. Kalah 2-3 dari Rumania.

Maradona memulai karir piala dunianya dengan kartu merah ketika melawan Brasil di tahun 1982 dan mengakhirinya dengan pengusiran karena obat-obatan terlarang di Amerika Serikat 1994.

Maradona dan obat terlarang punya hubungan akrab yang disembunyikan. Sejak pertengahan 1980an konon dia sudah jadi kawan akrab kokain. Dimulai dari Barcelona dan semakin menjadi-jadi sejak pindah ke Napoli. Kedekatannya dengan Camorra- kelompok mafia dari Napoli – juga dipercaya semakin memudahkan ketergantungannya pada kokain.

Belakangan terbukti kalau kokain juga yang akhirnya membunuh karirnya. Beragam kontroversi di penghujung karirnya seperti membunuh nama besarnya yang sudah dibangun selama bertahun-tahun. Beruntung tidak sampai benar-benar meluruhkan statusnya sebagai seorang dewa.

Akhir karir Maradona mungkin tidak semanis yang seharusnya. Tapi, puncak karirnya sudah terlalu kuat untuk dirubuhkan. Puncak itu akan tetap berdiri kokoh, dalam kenangan jutaan orang tentang seorang pria gempal berambut keriting yang meliuk-liuk di lapangan hijau, dan menolak menjabat tangan predisen FIFA Joao Havelange di Italia 1990 karena dianggapnya sebagai perampok.

*****

Di lapangan, Maradona adalah dewa. Dia membawa Argentina dan Napoli ke puncak, nyaris sendirian. Dia terlalu kuat untuk membawa semua beban itu, dan berhasil. Di luar lapangan, dia adalah sosok yang berbeda. Pemberang, susah diatur, penikmat barang haram, dan bahkan menembaki wartawan. Tapi dia tetaplah Maradona, sang dewa yang pernah meminjam tangan Tuhan untuk mencetak gol.

Jutaan orang mungkin membencinya atas luka-luka yang dia bawa ke tim kesayangan mereka. Tapi, jutaan lainnya memujanya seperti dewa, atau bahkan Tuhan hingga perlu dibuatkan gereja khusus. Karena dia adalah Maradona.

Tanggal 25 November 2020, Maradona akhirnya mengembuskan napas terakhirnya. Benar-benar mengakhiri sebuah perjalanan karir yang penuh warna. Ada masa dia meniti puncak, berada di puncak, dan bahkan terjun bebas. Tapi orang akan tetap mengenangnya sebagai Maradona, dewa dari Buenos Aires. [dG]