Malam Ketika Si Kaya Ditekuk Si Miskin

Si kaya tak selamanya menang

Tidak selamanya orang kaya selalu menang. Uang kadang bukan segalanya.

Ronaldo datang ke Santiago Benabeu setelah memaksa klub ibukota Spanyol itu menguras pundi-pundi mereka sebesar 80 juta pounsterling atau sekitar 131.6 juta dollar atau sekitar Rp. 1,3 triliun. Triliun! Berarti angka nolnya ada 12. Berderet seperti macet di jalanan kota Jakarta di jam pulang kantor. Luar biasa!

Robert Lewandowski dan Marcel Schmelzer mendarat di BVB Stadium kota Dortmund. Harganya tidak sampai sepersebelas dari harga yang dipasang pada tubuh Cristiano Ronaldo. Maklum, Dortmund memang hanya klub kecil, masih kalah mentereng dari Bayern Muenchen. Hartanyapun tak sebanyak Bayern Muenchen. Apalagi Real Madrid.

Real Madrid adalah megalomaniak dalam dunia sepakbola modern (bahkan mungkin sebelum sepakbola semodern sekarang). Mereka bisa dapat siapa yang mereka mau, tidak peduli harganya berapa. Mereka punya uang, dan punya prestasi yang bisa membuat pemain mana saja tertarik untuk menginjakkan kakinya di Santiago Bernabeu.

Dortmund? Sinarnya tidak seterang Madrid tentu saja. Bahkan menyamai Muenchen saja belum. Setidaknya dari deretan gelar walau dalam edisi terakhir Bundesliga mereka jelas lebih baik dari Muenchen.

Rabu 24 Oktober 2012, Dortmund kedatangan tamu. Si kaya Real Madrid. Ingat, harga dua andalan Dortmund tidak sampai seperduabelasnya harga seorang Ronaldo. Mereka jelas kalah kaya.Tapi mereka ternyata tidak bermental miskin. Apalagi mental jongos yang menghamba pada yang lebih kaya.

Peluit panjang dibunyikan, Real Madrid malah dipermalukan 2-1. Dortmund bukan tuan rumah yang baik rupanya. Mereka tidak membiarkan tamunya yang kaya itu mengacak-acak rumah mereka. Dortmund masih punya harga diri, dan itu mereka tegakkan rabu malam kemarin. 2-1, tipis tapi cukup membuat si kaya pulang dengan kepala menunduk.

Di sebelah Jerman ada negara bernama Belanda. Di dalam negara itu ada kota bernama Amsterdam. Dulu saya mengira Amsterdam adalah ibukota Belanda saking terkenalnya, ternyata Den Haag-lah ibukota Belanda. Tapi itu tidak penting, karena di Amsterdam ada klub sepakbola bernama Ajax Amsterdam. Klub yang namanya selalu lekat dengan sejarah sepakbola para meneer itu.

Ajax juga bukan klub kaya. Mereka malah terkenal sebagai klub yang selalu berhasil melahirkan pemain hebat. Dari sejak jaman Johann Cruijff, Frank Rijkaard, Patrick Kluivert dan ah, terlalu panjang kalau mau disebut semuanya. Mereka semua punya kesamaan. Mengenal sepakbola di akademi Ajax dan kemudian mencicipi kejayaan di berbagai kota lain di Eropa. Akademi Ajax Amsterdam salah satu yang terbaik di dunia.

Di malam yang sama, Ajax juga kedatangan tamu kaya. Manchester City namanya. Dulu klub ini bukan siapa-siapa, mereka selalu kalah terang dari tetangganya Manchester United. Tapi kemudian datang orang kaya dari Abu Dhabi yang menyuntikkan uang tanpa nomor seri. Jadilah Manchester City merangkak ke atas, mengganggu dominasi United, Chelsea, Liverpool dan Arsenal.

Di akhir musim lalu, City jadi juara. Mereka merajai Inggris, tapi belum bisa merajai Eropa. Dengan deretan pemain mahalnya mereka datang ke kota Amsterdam. Datang ke markas klub yang dulu pernah merajai Eropa. Itu dulu, karena sekarang Ajax hanya klub medioker di Eropa. Mereka tak punya dana cukup untuk ikut dalam perlombaan yang semakin berbau bisnis.

Tapi Ajax menang. Dengan pemain nyaris tak terkenal mereka menundukkan tamu kayanya. 3-1! Cukup untuk membuat City malu dan cukup untuk membuat sang pelatih Roberto Mancini mengakui kesalahannya. Ajax tak sekaya Manchester City, tapi mereka mampu memberi pelajaran untuk si kaya.

Ajax dan Dortmund belum pasti lolos dari grup maut. Masih ada 3 pertandingan lagi. Semua bisa terjadi, uang masih bisa berbicara. Termasuk pemain yang dibeli dengan uang berlimpah. Tapi setidaknya rabu malam itu Dortmund dan Ajax sudah memberi pelajaran kalau uang bukan segalanya, kekayaan bukan yang utama. Semangat, strategi dan mungkin sedikit keberuntungan. Itu kuncinya!

Rabu malam kemarin, Dortmund dan Ajax berbicara kalau mereka ada. Mereka kalah kaya, kalah menteren dari Madrid dan City. Tapi mereka bisa membuat dua klub kaya itu malu. Pulang dengan tangan hampa.

Tidak selamanya si kaya menang melawan si miskin. Rabu kemarin adalah malam ketika si kaya ditekuk si miskin.

[dG]