Malam Duka di Kanjuruhan

Duka mendalam untuk sepakbola, bukan cuma sepakbola Indonesia

Kematian memang selalu dekat dengan kita manusia. Tidak pernah ada yang benar-benar tahu kapan kematian itu akan datang. Bahkan di saat bersenang-senang pun, kematian bisa datang menghampiri, lalu menjemput kita. Seperti ratusan orang yang terpaksa berkarib dengan kematian di Sabtu malam, 1 Oktober 2022 yang lalu. Mereka datang ke stadion dengan niat bersenang-senang, mendukung tim kesayangan mereka, berteriak sepenuh tenaga, berdebar dan tentu saja berharap bisa bersorak riang. Seperti layaknya mereka yang datang ke stadion sepakbola di hari-hari yang biasa.

Sayangnya, hari itu bukan hari yang biasa. Ratusan orang itu tidak pernah pulang lagi ke rumah. Tidak pernah lagi bertemu keluarga, bersenang-senang, atau bersusah payah dengan orang yang mereka cintai. Mereka pulang, tapi pulang ke tempat yang berbeda. Tempat yang memisahkan mereka dengan keluarga, teman, dan orang-orang kesayangan.

Malam Minggu yang kelam di Kanjuruhan, Malang. Malam ketika ratusan orang nyawanya melayang sia-sia. Ada yang bilang 180 orang lebih, ada juga yang bilang “hanya” 125 orang. Entah mana yang benar, karena nyawa tetaplah nyawa. Meski hanya satu orang yang meninggal, kesedihan tetaplah kesedihan. Mereka manusia, bukan sekadar angka.

Saya sangat sedih dan marah ketika mendengar berita itu di Minggu pagi. Saya tidak mengikuti kejadian tersebut malam sebelumnya, dan kaget ketika seorang kawan memberi tahu tentang kejadian itu. Berita yang kemudian membuat saya mencari tahu berita itu. Lalu muncullah rasa sedih dan marah melihat berita ratusan nyawa melayang di lapangan hijau.

Saya penggemar sepakbola, tapi saya bukan penggemar sepakbola Indonesia. Ada beberapa alasan yang membuat saya merasa tidak tertarik mengikuti perkembangan sepakbola dalam negeri. Alasan paling utama adalah karena saya muak pada federasi sepakbola negeri ini. Federasi sepakbola yang tidak becus mengurusi sepakbola dalam negeri. Hanya berisi orang-orang gila uang dan kekuasaan tapi tidak terlalu peduli pada sepakbola itu sendiri.

Saya sudah kehilangan kepedulian pada semua aktivitas sepakbola dalam negeri sejak beberapa tahun belakangan ini. Dari liga dalam negeri sampai pertandingan tim nasional. Saya sudah malas menggantungkan harapan kosong yang nantinya akan berakhir pada rasa kecewa juga. Selama para pengurus sepakbola Indonesia masih orang-orang itu saja, orang-orang yang tidak becus itu, saya tidak mau lagi berharap apa-apa.

Ketidakbecusan mereka itulah yang pada akhirnya mengorbankan ratusan nyawa pendukung sepakbola di Malang. Tidak becus mengelola pertandingan bertensi tinggi, tidak becus mengamankan pertandingan dan ah pokoknya tidak becus hingga meminta tumbal ratusan nyawa manusia.

Saya kira kita tidak perlu membahas kronologi kejadian malam itu, karena kita pasti tahu bahwa pada akhirnya polisi menembakkan gas air mata ke tribun penonton dan membuat penonton kocar-kacir, panik, dan berusaha keluar dari stadion. Sayangnya, pintu keluar malah terkunci dan justru itu yang membuat para penonton berdesakan hingga akhirnya sesak napas, terhimpit, dan bahkan terinjak.

Ratusan nyawa sudah melayang. Ratusan lainnya mungkin akan terus menerus merasakan kesedihan dan keperihan yang mendalam. Trauma pasti membekas, utamanya pada mereka yang melihat orang-orang yang mereka kenal, atau bahkan tidak mereka kenal, meregang nyawa di sekitar mereka. Sepakbola mungkin bukan lagi hal menarik untuk mereka. Entah sampai kapan.

Ratusan nyawa sudah melayang. Kita akan mengingatnya, entah sampai kapan. Toh, kita adalah orang-orang yang gampang melupakan. Bahkan kisah sedih sekalipun. Mereka yang meregang nyawa itu mungkin akan dipatri namanya, sebagai pengingat. Tapi tidak lebih dari itu. Saya bahkan tidak yakin apakah kejadian ini bisa membuat para pengurus sepakbola kita belajar, atau minimal merasa bertanggung jawab. Saya juga tidak yakin, pihak kepolisian akan belajar dari kasus ini, atau merasa bersalah atas hilangnya ratusan nyawa. Saya tidak yakin, tapi mudah-mudahan ketidakyakinan saya itu salah.

Saya dan ribuan atau jutaan orang di dunia hanya ingin menikmati sepakbola. Bersenang-senang sambil meluapkan emosi. Bukan untuk melepaskan nyawa. Karena tidak ada sepakbola yang seharga nyawa.

Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya untuk para korban Tragedi Kanjuruhan. [dG]