Karena Robben Bukan Ballack
Ada orang yang memang sepertinya akrab dengan gelar runner up, selebihnya ada yang berhasil mengeyahkan julukan itu.
Musim 2001-2002 nama Michael Ballack muncul ke permukaan. Pria kelahiran 26 September 1976 itu membawa klubnya Bayern Leverkusen ke partai puncak Liga Champion Eropa di penghujung musim. Lawannya kali itu adalah Real Madrid, raksasa dari tanah Spanyol. Perlawanan Leverkusen disudahi oleh gol indah yang nyaris tidak mungkin dari seorang maestro, Zinedine Zidane.
Hasil akhir final itu adalah runner up pertama Michael Ballack di ajang antar negara. Sepertinya itu memang baru permulaan. Beberapa bulan kemudian di Korea-Jepang, Ballack kembali harus puas dengan medali perak alias gelar runner up setelah negaranya takluk dari Brasil di partai final. Ballack memang tidak bermain di partai itu karena harus menerima hukuman akibat aksi heroiknya di partai semifinal melawan Korea Selatan.
Entah siapa yang memulai, tapi Ballack memang akhirnya akrab dengan gelar Mr. Runner Up. Dirinya seolah jadi kutukan setiap tim yang berlaga di partai final ajang antar negara, level klub maupun tim nasional. Final Champion 2008 kesialan Ballack kembali terbukti. Kali ini dia berseragam Chelsea dan kembali harus mengakui kemenangan tim lawan yang kebetulan dari negara yang sama dengan timnya, Manchester United.
Kutukan itu (entah siapa yang menurunkannya) bertahan hingga Ballack memutuskan berhenti menyepak bola di bulan Oktober 2012. Dia tetap terkenal sebagai Mr. Runner Up yang tak pernah merasakan medali emas di lehernya.
Dan kemudian muncullah Robben. Lelaki asal Groningen Belanda ini ternyata punya nasib yang hampir sama dengan Ballack. Robben mulai akrab dengan gelar runner up ketika timnya harus kandas di partai final Piala Dunia 2010 dari Spanyol. Partai final ketiga buat Belanda dan sekaligus juga runner up ketiga buat negara berdataran rendah ini.
Belanda mungkin memang punya masalah dengan piala dunia. Mereka selalu dicap sebagai tim yang bagus, punya pemain bersinar dengan kemampuan individu yang di atas rata-rata. Sejak jaman Johann Cruijff, Marco Van Basten, Dennis Bergkamp sampai Arjen Robben, Belanda selalu ditakuti. Tapi, belum ada satupun pemain yang bisa mengangkat kutukan runner up itu dari Belanda.
Akhir Kutukan Robben
Robben juga belum berhasil, bahkan dia harus merasakan kutukan itu. 11 Juli 2011 di Soccer City, Johannesburg Afrika Selatan Robben kembali harus merasakan apa yang dirasakan seniornya. Medali perak di leher dan jadi saksi pesta tim lawan.
Dua tahun berselang, Robben kembali mencicipi rasa yang sama. Medali perak di leher dan menyaksikan Chelsea berpesta juara di atas tribun. Robben gagal membawa Bayern Muenchen menjadi juara Liga Champions Eropa. Sialnya, Robben bahkan gagal mengeksekusi penalti di babak perpanjangan waktu yang bisa mengubah hasil akhir. Lengkap sudah alasan menjadikan lelaki yang rambutya terlalu cepat menipis itu sebagai pembawa kutukan runner up.
Hanya butuh waktu 12 bulan sebelum Robben mencicipi kembali debaran partai final Liga Champions Eropa. Di Wembley, Robben dan 21 lelaki lainnya mempermalukan Inggris dengan membawa dua klub Jerman bersua di final. Angan sebagian orang tentu terbang ke masa 60an tahun lalu ketika Jerman dan Inggris masih jadi musuh bebuyutan di perang dunia kedua.
Babak pertama belum setengah jalan Robben sudah membuang satu peluang emas. Pendukung Bayern tercekat sementara pendukung Dortmund lega. Semua orang yang menonton pertandingan itu mungkin mulai menggumamkan pembenaran atas kutukan runner up Robben. Sepanjang babak pertama, Bayern belum panas dan masih terus diserang oleh tim kuning hitam, Dortmund.
Babak kedua dimulai dan Robben jadi aktor pembantu yang membuat stadion bersorak. Umpannya diselesaikan Mandzukic. 1-0 buat Bayern. Orang mulai lupa pada kutukan Robben sampai saat ketika Dortmund menyamakan kedudukan. Sial! Bayern kembali harus memulai dari nol.
Waktu normal bersisa 2 menit ketika Robben yang seperti seekor kucing dengan senyap mengikuti gerakan Ribery di depan gawang Dortmund. Ribery yang kelimpungan masih tetap bisa menyentuh bola dengan kakinya ke arah belakang. 3 pemain belakang Dortmund tidak mengira lelaki itu bisa melakukannya dan di saat yang tepat Robben dengan kelincahan seekor kucing berlari ke depan dan mencuri bola kiriman Ribery.
Robben meliuk, kali ini seperti seekor kupu-kupu. Dia mungkin berpikir, bola keras tidak akan mudah menaklukkan Westfallen yang sepanjang pertandingan bermain seperti seekor laba-laba dan karenanya Robben memilih mengirim bola pelan ke tiang jauh. Bola bergulir pelan tapi dengan pasti bersarang di dalam gawang Dortmund.
Ekspresi Robben susah untuk digambarkan. Lega, bahagia dan tentunya senang setengah mati. Satu tangannya sudah ada di kuping raksasa, sebutan buat trofi Liga Champions Eropa. Waktu 2 menit dan tambahan 3 menit tidak bisa membuat Dortmund mengejar ketinggalan 1 gol. Dan kemudian resmilah Bayern Muenchen menjadi juara Liga Champions Eropa tahun ini.
Robben adalah orang paling bahagia malam itu. Kutukan atas dirinya resmi terlepas. Kesalahan tahun lalu juga resmi dibayarnya dengan tunai. Mimpi buruk yang menghantuinya selepas final tahun lalu kini menjadi mimpi indah yang mungkin sama-sama membuatnya sulit tidur.
Robben memang bukan Ballack meski mereka sama-sama pernah menyandang gelar Mr. Runner Up. [dG]
…
Saya suka tulisan ini, ada kucing, kupu-kupu dan laba-laba. Perumpamaan yang apik
hahaha terima kasih, memang paling bagus pake perumpaan. tulisan jadi lebih hidup #ihik