Kalah Karena Dicurangi? Belajarlah Pada Pesepakbola

Maradona yang merasa dicurangi di final 1990
Maradona yang merasa dicurangi di final 1990

Brasil dan Belanda mungkin jadi korban kecurangan di piala dunia 1978, Diego Maradonapun menangis dan kesal karena menganggap timnya jadi korban kecurangan di piala dunia 1990. Tapi mereka semua tidak pernah meninggalkan perang yang belum selesai.

Piala dunia 1978 diakui sebagai piala dunia paling manipulatif. Saat itu Argentina sedang dikuasai oleh junta militer yang memerintah dengan sangat otoriter dan bertangan besi. Manipulasi atas piala dunia itu diawali jauh sebelum piala dunia itu sendiri digelar. Mulai dari proses pengajuan diri sebagai tuan rumah, proses persiapan yang konon menggunakan banyak dana yang tidak seharusnya sampai pada pelaksanaan piala dunia itu sendiri.

Junta militer Argentina punya alasan untuk jadi penyelenggara piala dunia sekaligus memastikan negaranya jadi juara. Dengan cara itu mereka bisa meredam keresahan rakyatnya yang sesungguhnya hidup tidak nyaman di bawah pemerintahan yang sangat otoriter dan bertangan besi.

Menjelang piala dunia digelar, pemerintah junta militer Argentina sudah mengambil langkah ekstrem dengan menghentikan semua proyek pembangunan yang tidak ada hubungannya dengan piala dunia. Seluruh dana yang mereka punya disedot ke proyek pembangunan stadion dan proyek-proyek lain yang tujuannya adalah menutupi kebobrokan negeri mereka. Maklum saja, ratusan ribu supporter sepak bola akan datang ke Argentina dan tentu pentng bagi pemerintah untuk menunjukkan yang baik-baik saja kepada para tamu mereka.

Di lapangan, pemerintah juga sudah siap dengan berbagai cara untuk menjamin kemenangan Argentina. Menjelang keberangkatan ke Argentina, bintang Belanda waktu itu Johann Cruyff sudah mengumumkan batal untuk berangkat. Alasannya, Cruyff merasa tidak nyaman setelah keluarganya menerima serangkaian ancaman pembunuhan. Tidak ada bukti kuat kalau ini adalah salah satu perbuatan junta militer Argentina memang, tapi banyak orang yang mengaitkannya.

Di fase grup kedua, tuduhan manipulasi dan kecurangan kembali menggema. Kali ini pelakunya adalah Peru. Argentina harus menghadapi Peru di pertandingan terakhir grup putaran kedua dan untuk lolos ke partai final Argentina harus menang minimal 4-0 atau Brasil yang akan lolos. Ini bukan soal mudah, Peru bukan tim kacangan waktu itu, mereka punya Teofilio Cubilas yang namanya cukup menggetarkan. Di atas kertas Argentina sulit mengalahkan Peru dengan 4 gol tanpa balas dan Brasil sudah di atas angin.

Tapi lain di atas kertas, lain juga di lapangan. Peru turun dengan format yang tak biasa, mereka memainkan 4 pemain yang sama sekali belum pernah turun plus menempatkan satu orang bek sebagai striker. Itu tidak cukup karena kiper mereka Quiroga yang aslinya adalah orang Argentina yang dinaturalisasi bermain sangat eksentrik dan tidak setenang biasanya. Akhir pertandingan, Peru kalah 0-6 dan Argentina lolos ke final. Brasil meradang dan hanya bisa bertarung di perebutan tempat ketiga. Tahun itu Brasil jadi satu-satunya tim yang tidak pernah kalah sampai partai terakhir tapi tidak jadi juara.

Konon untuk kebaikan hati tim nasional Peru ini negara mereka mendapatkan bantuan 35.000 ton gandum gratis dari Argentina plus mendapatkan pinjaman 50 juta dollar dari bank sentral Argentina.

Sebelum partai final melawan Belandapun indikasi kecurangan masih ada. Belanda diterpa isu tentang penggunaan doping yang deras, akibatnya konsentrasi mereka terganggu. Isu ini tidak pernah terbukti sampai sekarang. Hasil akhir finalpun kita tahu bersama, Argentina jadi juara dunia untuk pertama kalinya setelah menang 3-1 lawan Belanda.

Maradona Menangis.

Lompat 12 tahun kemudian di stadion Olympico Roma. Diego Armando Maradona, kapten dan legenda tim sepak bola Argentina menangis sesegukan selepas peluit panjang pertandingan final. Secara menyakitkan timnya kalah 0-1 dari Jerman (Barat) empat menit menjelang akhir babak kedua. Maradona sedih dan marah, penalti Andreas Brehme dianggapnya tidak fair karena Rudi Voller hanya berakting terjatuh di kotak penalti. Maradona sedih dan marah, dia menganggap FIFA tidak adil, FIFA curang karena dari awal mereka sudah berniat menyingkirkan Argentina.

Saat pengalungan medali Maradona masih larut dalam kesedihan dan kemarahan. Dia tidak sudi menjabat tangan Joao Havelange, presiden FIFA kala itu. Bagi Maradona, Havelange adalah otak dari segala kecurangan yang membuat mereka jadi korbannya. Setelahnya Maradona memang tidak pernah akur lagi dengan FIFA. Maradona terus membawa bayang-bayang kecurangan FIFA di final 1990 itu, mungkin sampai sekarang.

Maradona di final 1990 dan Belanda serta Brasil di piala dunia 1978 adalah korban kecurangan. Mereka gagal menjadi juara karena harus kalah menghadapi kecurangan yang menurut mereka dibuat secara sistematis dan sangat massif. Di Argentina 1978 Brasil dan Belanda hanya bisa bersungut-sungut, tak mampu berbuat banyak melawan kecurangan tuan rumah. Di Italia 1990 Diego Maradona menangis sesegukan dan menolak menjabat tangan pejabat FIFA. Mereka sama-sama jadi korban kecurangan tapi sama sekali menolak untuk mundur sebelum perang berakhir.

Atlet selalu dicekoki doktrin untuk sportif, menerima hasil apapun yang terjadi di lapangan. Mereka hanya tahu berjuang dan kalau perlu meneteskan darah di lapangan, mereka sejatinya tidak punya opsi untuk mundur atau ngambek sebelum perang berakhir meski mereka tahu ada perang yang mungkin tidak seimbang karena dibumbui kecurangan.

Tim Brasil dan Belanda di 1978 mungkin jadi korban kecurangan, Maradona di 1990 juga mungkin jadi korban kecurangan. Tapi mereka berlapang dada menerimanya karena mereka tahu masih ada jalan lain untuk menunjukkan kehebatan mereka. Terbukti, bertahun-tahun setelahnya Brasil jadi juara dunia 2 kali, Belanda masih jadi tim hebat dan disegani meski belum pernah jadi juara dunia. Maradona? Dia tetap jadi pemain besar yang tidak pernah bisa dilepaskan dari sepak bola dan piala dunia.

Seandainya saja politikus kita punya kemampuan dan kemauan menerima hasil seperti para pesepakbola dunia itu. Menerima kekalahan yang berbau curang saja mereka bisa, apalagi sebuah kekalahan yang fair. Ah, seandainya. [dG]