Sepakbola

Au Revoir Ribery

Franck Ribery
Franck Ribery

Ribery gagal menjalani kampanye piala dunianya yang ketiga, dia harus menyerah pada cidera punggung yang tak tertahankan lagi. Tapi, benarkan Ribery hanya korban dari sebuah industri besar bernama sepakbola?

Ribery memulai kampanye piala dunianya di Jerman 2006. Kala itu dia hadir dengan embel-embel “The Next Zidane”, geliatnya di lapangan hijau memberi harapan kalau lelaki setinggi 170 cm ini bisa meneruskan kejayaan Perancis seperti yang dilakukan Zinedine Zidane selama ini. Ribery nyaris berhasil. Bersama sang senior yang kembali berbaju biru setelah sempat pensiun, mereka membawa Perancis hingga ke partai puncak sebelum berhenti di kaki pemain Italia lewat adu penalti.

Selepas piala dunia yang menyakitkan itu Ribery melanjutkan hidupnya di Jerman, tepatnya di kota Munich bersama klub Bayern Munich. Agak mengejutkan karena kala itu dia banyak dikaitkan dengan Real Madrid tempat sang mentor Zinedine Zidane mengabdi. Tapi tak masalah Ribery mendarat di mana karena buktinya dia perlahan merangkak ke bagian teratas daftar pemain terbaik Eropa bahkan dunia.

Empat tahun kemudian di Afrika Selatan Ribery kembali ke piala dunia keduanya. Kali ini kampanye piala dunianya lebih buruk lagi, Perancis gagal lolos dari fase grup dan hanya mencetak 1 gol. Buruknya lagi karena kepulangan Perancis dibarengi dengan cerita perpecahan antar pemain dan pelatih. Ribery gagal bersinar, tidak seperti di level klub yang sinarnya makin benderang.

Minggu lalu atau sekira seminggu sebelum piala dunia 2014 dimulai, Ribery dan Didier Deschamps sang pelatih membawa kabar buruk bagi semua fans Perancis. Ribery sang gelandang sayap tumpuan harapan Perancis harus merelakan piala dunia digelar tanpa kehadirannya, dia batal terbang ke Brazil karena cidera punggung yang tak lagi bisa ditahannya. Deschamps, mantan pahlawan Perancis di piala dunia 1998 dengan berat hati mengantar Ribery kembali ke rumahnya. Perancis kehilangan satu bintangnya.

*****

Jauh sebelum Ribery bersinar, sepakbola memang sudah tidak sesederhana dulu lagi. Sepakbola berkembang menjadi sebuah industri besar dengan pemain sebagai salah satu instrumennya. Para pemain itu diberi gaji dan kontrak dalam jumlah yang kadang sulit masuk dalam nalar kita, tapi sebagai gantinya mereka dipaksa bermain dan berlari kadang sampai melewati batas kemampuan mereka sendiri.

Sepanjang musim 2013-2014 Franck Ribery sudah bermain selama 2938 menit, khusus untuk klub saja dan belum termasuk menit yang dihabiskannya dengan seragam Perancis. Pun belum termasuk menit yang dihabiskan dengan berpindah kota, berpindah negara dan kadang berpindah zona waktu. Otot mereka dipaksa untuk terus fit, agar terus bisa turun ke lapangan memberi suguhan bagi para konsumen yang sudah membayar mahal dan tentu saja bagi para sponsor dan penyandang dana yang berharap mesin industri bernama sepakbola itu terus berjalan dan berputar.

Semua tekanan berat itu membuat sebagian pemain harus menyerah, sebagian dari mereka terpaksa mengonsumsi obat penahan rasa sakit. Menurut laporan The British Journal of Sport Medicine, 39% pemain di Piala Dunia 2010 harus mengonsumsi obat penahan rasa sakit seecara kontinyu sebelum turun ke lapangan. Lebih dari 70% pemain membutuhkan pengobatan dan setidaknya 60% dari para pemain harus menelan obat penahan rasa sakit, setidaknya sekali.

Sepakbola sungguh bukan lagi sebuah permainan sederhana yang dimainkan di atas lapangan hijau. Sepakbola adalah sebuah industri besar yang menafikan logika dan mungkin rasa kemanusiaan. Pemain hanyalah mesin, mesin yang diharapkan bisa memutar roda industri dan terus mendatangkan keuntungan finansial bagi para pemodal. Tak peduli seberapa sakit mereka.

Jadwal padat kompetisi bersama klub sepanjang musim membuat banyak pemain menjadi sangat rentan ketika harus turun ke ajang besar di akhir musim. Piala dunia salah satunya. Ribery hanya satu korban, sebelumnya Kolombia harus merelakan Falcao tidak ikut ke Brazil juga karena cidera. Setelahnya deretan korban lainnya juga masih ada, sebut saja Theo Walcott dari Inggris dan yang paling terbaru Marco Reus dari Jerman. Mereka semua harus rela melepaskan mimpi bersinar di Brazil 2014.

Ribery, Falcao, Walcott dan Reus mungkin adalah korban dari kerasnya perputaran mesin industri sepakbola. Mereka adalah manusia yang sudah terlanjur dianggap sebagai mesin dan terus dipaksa untuk bermain tak peduli seberapa rapuh otot mereka sebenarnya. Kitapun sebenarnya adalah korban, tak bisa melihat kelihaian mereka di lapangan hijau. Piala dunia akan kehilangan beberapa bakat besar meski pintu buat pemain berbakat lainnya seperti baru terbuka.

Ketika Cristiano Ronaldo ditransfer Madrid dengan harga fantastis, Michel Platini presiden UEFA sudah mewanti-wanti kalau sesuatu yang buruk sedang terjadi di sepakbola. Tapi Platini juga tidak bisa berbuat banyak, bisnis ini terlalu besar dan terlalu sulit dikendalikan hanya oleh satu orang idealis seperti dia.

Piala dunia belum dimulai, tapi Ribery sudah jadi korban. Selanjutnya siapa? [dG]

Baca Juga: Nak, Itu Bukan Lututmu!

About Author

Daeng Ipul Makassar
a father | passionate blogger | photographer wannabe | graphic designer wannabe | loves to read and write | internet junkie | passionate fans of Pearl Jam | loves to talk, watch and play football | AC Milan lovers | a learner who never stop to learn | facebook: Daeng Ipul| twitter: @dgipul | ipul.ji@gmail.com |

Comments (2)

  1. bayarannya setimpal daeng untuk seorang Ronaldo yang diperlakukan seperti mesin uang bagi klubnya ^^

  2. Ahmad Dahlan

    deh,,sayangnya kalo ribery nda ikut ki nanti. Nda adami sayap andalannya Perancis.

Comment here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.