Anomali Inggris
Selasa (29/04) atau rabu dinihari kemarin, sejarah baru di kancah Liga Champion Eropa akhirnya tercipta. Gol tunggal Paul Scholes mengantarkan Manchester United ke partai puncak di Moscow Mei ini. Ini adalah final ketiga bagi MU, setelah dua final sebelumnya berhasil mereka selesaikan hasil akhir sebagai juara.
Sejarah baru yang tercipta adalah kenyataan bahwa Moscow nanti akan menjadi saksi All English Final. Di partai semifinal lainnya, Chelsea secara dramatis mampu mematahkan kutukan semifinal ECL dengan mengandaskan Liverpool.
Duel dua tim senegara di final ECL adalah yang ketiga kalinya setelah tahun 2000, Real Madrid bertemu Valencia dan sukses merebut juara. Kedua kalinya di tahun 2003 saat AC Milan menekuk Juventus di Old Trafford lewat drama adu penalti.
4 tahun belakangan ini, tim-tim Inggris memang tampil konsisten di arena liga Champion Eropa. Setelah tahun 2005 Liverpool lolos ke final, tahun berikutnya giliran Arsenal yang menantang Barcelona di final meski dengan hasil yang berbeda dengan yang diraih Liverpool. Tahun 2007 kemarin, Liverpool kembali menapaki partai puncak meski kali ini harus takluk pada pembalasan dendam AC Milan. Puncaknya adalah tahun 2008 ini saat Inggris sukses menempatkan 2 timnya di partai final.
Kejayaan sebuah negara mapan di arena liga Champion Eropa memang seakan saling bergantian. Awal tahun 90-an hingga pertengahan 90-an adalah masa-masa keemasan bagi tim-tim Italia yang dimotori oleh the dream team AC Milan dan Juventus. Akhir tahun 90-an dan awal 2000-an, giliran tim-tim Spanyol yang merajai kompetisi kasta tertinggi benua biru tersebut.
Dan sekarang, giliran tim asal Inggris yang berjaya.
Namun, kejayaan tim-tim Inggris ini ternyata berbanding terbalik dengan prestasi tim nasional mereka. Meski 2 klub raksasa Inggris sukses mengangkangi partai final ECL, namun the three lions gagal total untuk menembus putaran final Euro 2008.
Nasib tim nasional Inggris bahkan lebih buruk dari nasib tim nasional Italia dan Spanyol saat klub-klub asal kedua negara itu merajai arena persaingan antar klub Eropa. Saat klub-klub dalam negerinya menggila di berbagai arena antar klub Eropa, tim nasional mereka memang tak ikut-ikutan mengkilap, tapi setidak-tidaknya masih bisa berpartisipasi dalam sebuah ajang persaingan besar.
Inggris mungkin bisa agak bersyukur karena kedua tim yang lolos ke final ECL tahun ini setidak-tidaknya masih punya beberapa pilar yang adalah asli produk Inggris. Masih ada pemain sekelas Wayne Rooney, Ferdinand, ataupun Scholes di MU dan Lampard serta Terry di Chelsea. Mungkin perasaan orang Inggris akan berbeda bila tim yang bertemu di final adalah Arsenal dan Liverpool. Arsenal boleh dikatakan murni menggantungkan prestasinya pada pemain asing dan hanya menyisakan satu tempat buat pemain asli Inggris pada sosok Theo Walcott . Sedangkan Liverpool sedikit lebih baik dengan bergantung banyak pada sosok Gerrard meski selebihnya adalah pilar asing.
Inggris mungkin memang sedang dilanda krisis pemain. Liga Inggris sedang dikuasai sepenuhnya oleh para ekspatriat. Dua lini yang paling kering dari para punggawa asli tanah Inggris adalah lini depan dan lini belakang khususnya di bagian kiper.
Selepas masa keemasan Michael Owen, Inggris nyaris tak punya striker fenomenal lagi. Saat ini harapan hanya bisa disandangkan pada sosok Rooney dan Walcott. Selain kedua pemain itu, nyaris tak ada striker lain yang bisa tampil konsisten. Crouch, Darrent Bent, Andrew Johnson dan striker-striker lokal lainnya lebih banyak tenggelam di bawah bayang-bayang striker impor semacam Torres dan Drogba.
Kenyataan paling parah adalah di bagian kiper. Selepas David Seamann, Inggris tak lagi punya kiper yang tangguh. David James tampil angin-anginan dan terkadang membuat blunder. Robinson, setali tiga uang. Di deretan klub-klub besar EPL, praktis hanya Tottenham dan Portsmouth saja yang mau memberikan kepercayaan kepada punggawa lokal untuk menjaga gawang mereka.
MU, Chelsea, Liverpool dan Arsenal, empat klub paling elit EPL semuanya menggunakan jasa kiper import. Bahkan untuk kiper pelapis sekalipun.
Jelas ada yang salah pada masalah pemberdayaan pemain lokal di Inggris. Sempat muncul wacana untuk membatasi jumlah pemain asing yang boleh berlaga dalam sebuah pertandingan. Bukan apa-apa, namun para fans fanatik timnas Inggris tentunya miris juga melihat tim sebesar Arsenal terkadang turun lapangan dengan 11 pemain yang tak satupun berkewarganegaraan Inggris.
Sekarang, harapan besar para fans Inggris memang diletakkan di pundak Fabio Capello, sang coach asal Italia. Sebenarnya terdengar agak aneh, mengingat persaingan turun temurun antara sepakbola Inggris dan Italia yang sama-sama mengklaim diri sebagai kiblat sepakbola Eropa. Apalagi mengingat bahwa gaya permainan Inggris dan Italia sungguh berbeda.
Kedatangan Capello bisa diibaratkan sebagai tanda kepanikan luar biasa dari para pengurus FA. Merasa tak mampu menemukan tenaga ahli produk dalam negeri, mereka kemudian mengalihkan perhatian ke luar negeri, apalagi setelah terbukti Steve McClaren tak mampu berbuat banyak mendongkrak prestasi mereka.
Sungguh menarik untuk menantikan hasil kerja Fabio Capello di Inggris, sekaligus untuk menantikan korelasi positif antara kejayaan klub-klub Inggris dengan prestasi tim nasional mereka.
Atau, mungkinkah suatu saat nanti saat klub-klub asal Inggris tak lagi berjaya, giliran tim nasional mereka yang berjaya ?. entahlah..
betul anomali…
inilah yg disebut bola itu bulat…dan tidak ada hitungan mekanis apapun yang bisa memprediksi nasib bola Inggris…
salah satu adagium yg bisa menjawab ketimpangan antara prestasi nation mereka dgn klub adalah keberadaan pebola2 jagoan di klub mereka yang bukan asli england..
artinya, prestasi klub itu lebih banyak dimotori oleh pebola asing…bukan lokal…
🙂
Betul daeng..
sepakbola Inggris yang sedang bergairah 10 tahun belakangan ini memang sebagian besar dimotori oleh pemain dan pelatih asing…
di antara 4 klub papan teratas EPL, hanya MU yang lumayan punya banyak pilar lokal, sisanya…pilar import semua..
Yang penting juaranya United.