Anak-anak yang mengejar mimpinya

dnc

Hari sabtu dan minggu (13/14 Juni) kemarin saya punya satu kesibukan special. Dalam dua hari itu kebetulan saya dapat orderan dari perusahaan minuman terbesar di Indonesia untuk membuat reportase pada acara bertajuk festival sepakbola terbesar di dunia. Judulnya Danone Nations Cup (terima kasih untuk Rara yang sudah merekomendasikan saya..hehehe).

Acaranya buat saya sangat spesial karena bagaimanapun ajang DNC adalah ajang sepakbola skala nasional dan internasional yang sudah saya kenal sejak bertahun-tahun yang lalu, makanya ketika Rara dan kemudian wakil dari Danone menelepon, saya langsung mengiyakan.

Acaranya memang sangat meriah. Ratusan anak-anak usia 10-12 tahun berkumpul dan bertarung menjadi yang terbaik. Aslinya ajang ini memang sebuah kompetisi, namun unsur keceriaan dan kebersamaan tetap dijunjung tinggi. Anak-anak itu saling bersaing dalam sebuah aroma positif di mana sportifitas dijunjung tinggi.

Terus terang saya terpukau pada aksi anak-anak luar biasa itu. Semangat mereka membubung tinggi di angkasa. Mereka bertarung tanpa kenal lelah meski sebenarnya sengatan matahari sangat panas di kulit. Anak-anak luar biasa itu tetap berlari di bawah siraman terik matahari, melakukan dribling, passing dan shooting dengan sangat luar biasa. Hampir semua tim peserta punya pasukan dengan pemain yang luar biasa, pemain yang punya skill individu dan organisasi permainan yang rapih.

Pagelaran sepakbola anak-anak selama 2 hari itu sekali lagi membuat saya sadar kalau negeri kita tidak pernah kekurangan bibit-bibit luar biasa di bidang sepakbola. Bahkan katanya, anak-anak Asia di bawah umur 12 tahun sebenarnya punya skill yang lebih bagus daripada rata-rata anak-anak di Eropa berusia sama. Struktur tulang, daging, otot dan postur yang lebih kecil membuat rata-rata anak-anak Asia lebih lincah dan mampu melakukan trik=trik yang menipu dibanding anak-anak Eropa yang bertubuh lebih besar.

Perbedaan akan terjadi kemudian setelah usia 12 tahun tersebut. Anak-anak Eropa yang punya cita-cita menjadi pemain sepakbola profesional kemudian akan masuk kedalam sebuah sistem pembinaan yang rapih. Mereka dibimbing secara serius dan profesional, segala macam aspek dikembangkan dan diatur secara ketat. Bukan hanya dari segi skill saja, tapi dari segi nutrisipun mereka diatur dengan sangat ketat. Ini yang membedakan anak-anak Eropa itu dengan rata-rata anak-anak Asia, atau lebih sempit lagi anak-anak Indonesia.

Kita tahu kalau pembinaan sepakbola di Eropa memang sudah diurus sedemikian rupa dengan sangat serius dan profesional. Anak-anak sudah digiring dalam sebuah kompetisi yang sehat sejak dini. Hasilnya, di usia antara 19-21 tahun mereka sudah jadi seorang pemain sepakbola profesional.

Menurut Arsene Wenger, usia krusial pembentukan skill seorang pemain adalah pada usia antara 8-12 tahun dan usia emas seorang pemain sepakbola adalah antara usia 21-24 tahun tapi dengan syarat mereka harus sudah berkompetisi dengan profesional sejak usia 17-18 tahun.

Nah, kuncinya adalah kompetisi atau lebih jelasnya lagi kompetisi berjenjang. Di negeri kita, ini yang tidak jalan. Jangankan kompetisi di level junior, kompetisi paling bergengsi saja yang sudah diberi titel Liga Super ternyata masih banyak masalah dan  kesimpangsiuran. Kalau seperti ini terus, maka tentunya kita hanya bisa terus bermimpi bisa tampil di level piala dunia.

Sayang sekali sebenarnya karena kita toh tak pernah kekurangan pemain-pemain berbakat. Kita punya banyak sumber daya manusia yang punya mimpi dan semangat besar untuk mengharumkan nama bangsa di ajang sepakbola, tapi sayangnya kita kekurangan orang yang mau dengan tulus mengurusnya, kita hanya punya orang-orang yang selalu mau mencari untung dari olahraga dengan jumlah penikmat terbesar di dunia ini.

Selama dua hari saya menjadi saksi hadirnya anak-anak yang penuh semangat mengejar mimpi-mimpinya. Jauh di lubuk hati saya berharap suatu hari nanti ada salah satu dari mereka yang bisa jadi bagian dari acara pengibaran bendera merah putih di luar sana, di ajang tertinggi sepakbola. Tapi, kalau tak ada yang mau bersukarela dan sepenuh hati mengurus mereka, apakah mungkin..?