5 Partai World Cup Paling Berkesan

Tahun ini gelaran sepakbola terbesar di muka bumi ini akan digelar kembali. Tahun ini juga akan genap sudah 20 tahun sejak pertama kalinya saya mengikuti secara serius ajang piala paling prestisius bagi para pesepakbola Bumi ini. Yah, Italy 1990 adalah kenangan pertama saya untuk piala dunia. Sebelumnya, Mexico ’86 belum cukup ampuh untuk menarik atensi saya. Saya masih berusia 9 tahun waktu itu dan arus informasi belum sederas sekarang sehingga wajar bila bagi anak-anak seumuran kami waktu itu, piala dunia belumlah jadi menu favorit. Saya dan teman-teman hanya mengenal nama-nama seperti Maradona, Burruchaga, Rummanigge dan Platini. Hanya sekedar tahu tanpa paham kehebatan mereka.

Italy’90 adalah titik mula kecintaan saya pada ajang World Cup. Pertama kalinya saya serius menahan kantuk menyaksikan tim-tim yang berlaga, meski tidak semua pertandingan berhasil saya tuntaskan. Tahun 1990 juga adalah pertama kalinya saya akrab dengan istilah-istilah sepakbola dan deretan pemain-pemain yang tak lagi sekedar saya kenal namanya tapi juga saya akrabi kemampuannya. Saya mulai tahu bagaimana liarnya Salvatore “Toto” Schillachi, bagaimana lincahnya Roberto Baggio dan Paul Gascoigne, bagaimana hebatnya Caniggia memanfaatkan setiap kesempatan untuk mencetak gol , atau bagaimana si bintang baru berbakat bernama Paolo Maldini baru saja memulai langkahnya di piala dunia pertamanya. Tahun 1990 adalah titik awal, selebihnya adalah sejarah.

Tahun ini akan jadi piala dunia keenam yang-Insya Allah-saya pelototi dan selama jangka waktu itu sudah ada ratusan pertandingan yang sudah saya tonton. Di antara ratusan pertandingan itu setidaknya ada 5 partai yang akan selalu saya kenang, sebenarnya banyak partai yang pantas untuk dikenang namun bila pilihannya dikerucutkan maka setidaknya 5 partai inilah yang akan pertama keluar dari benak saya. Mari kita simak, urutannya bukan berdasarkan kadar kenangan tapi benar-benar acak :

Belanda vs Argentina, perempat final France’1998.

Saya dan teman-teman menyaksikan partai ini di rumah seorang teman. Kami berdelapan dan hanya 1 orang yang mendukung Argentina, sisanya pendukung Belanda. Sebelumnya Argentina sudah mengandaskan salah satu unggulan saya Inggris lewat pertandingan dramatis adu penalty plus acting luar biasa dari Diego Siemone yang memaksa David Beckham dikartumerahkan.

Pertandingan berjalan seru. Belanda sempat unggul duluan lewat gol cantik Patrick Kluivert di menit 12, tapi 5 menit kemudian disamakan oleh Julio Lopez. Kami para pendukung Belanda sempat kegirangan tapi kemudian kembali khawatir ketika skor menjadi 1-1. Kami jadi lebih khawatir lagi ketika Arthur Numan dikartumerahkan wasit di menit 76. Bayang-bayang kegagalan Inggris di kaki Argentina tiba-tiba muncul. Sial..!!, dua jagoan saya akan jatuh di tim yang sama, begitu pikiran saya waktu itu.

Asa saya jadi merekah kembali ketika di menit 87 Ariel Ortega ternyata juga dikartumerahkan. Skor sama 1-1, pemain juga sama 10-10. Dan..di menit 89, sebuah kejadian membuat rumah teman saya seperti bergemuruh. Dennis Bergkamp yang mendapat umpan panjang nyaris dari tengah lapangan dari Frank De Boer berhasil menyarangkan gol dengan teknik yang sangat indah di sudut sempit gawang Argentina.

Sumpah, waktu itu saya benar-benar berteriak kegirangan sambil berlompatan ke sana ke mari. Karena teman-teman yang lain yang mendukung Belanda juga melakukan hal yang sama maka rasanya ruang tengah tempat kami menonton subuh itu seperti bergetar, beruntung karena rumah teman saya itu kosong jadi tak ada penghuni lain yang terganggu.

Brazil vs Perancis, Final France’98

Masih di tahun yang sama namun kali ini dengan pemeran yang berbeda. Belanda akhirnya kandas di semifinal, pelakunya adalah Brazil, salah satu tim yang tidak akan pernah saya dukung, jadi lengkap sudah alasan kenapa saya mendukung Perancis di partai puncak. Perancis waktu itu bukan tim unggulan saya, Zidane sudah cukup terkenal tapi belum cukup menggoda saya waktu itu, jadi alasan saya mendukung Perancis murni karena saya tidak suka Brazil.

Perancis lumayan inferior meski mereka adalah tuan rumah. Brazil, siapapun tahu kalau tim samba ini punya segalanya plus mereka juga sudah berhasil melewati hadangan Belanda, tim yang paling ofensif dan menjanjikan. Di sisi seberang, Perancis hanyalah tim yang selalu kesulitan mencetak gol. Mereka punya pemain tengah sekelas Zidane tapi striker mereka melempem. Mereka juga hanyalah tim yang akrab dengan dewi fortuna, salah satunya adalah ketika menyingkirkan Paraguay di 18 besar lewat golden goal perdana di ajang World Cup. Di arena nonton bareng tempat saya menyaksikan partai final itu praktis Brazil jadi favorit, hanya sebagian kecil yang keukeuh berdiri di pihak France, termasuk saya.

Namun, semua prediksi, statistic dan analisa jadi mentah ketika secara luar biasa Zinedine Zidane membobol gawang Brazil dengan 2 gol lewat kepala, sebuah aksi yang sebenarnya bukan ciri khasnya dia. Dua gol dari Zidane membuat saya kembali menggila, berteriak dan melonjak kegirangan sampai-sampai secara tidak sadar melakukan gerakan menghina penonton lain yang mendukung Brazil, untung saja tidak ada yang mengambil hati sehingga perayaan kemenangan a la saya jadi dianggap biasa saja.

Keesokan harinya saya masuk kantor dengan senyum lebar meski kepala dan badan serasa melayang karena kurang tidur. Saya sumringah bukan karena Perancis juara, tapi karena Brazil berhasil dikalahkan. Dan momen ini jadi momen yang membekas, hingga sekarang.

Brazil vs Italia, final USA’94

Mundur 4 tahun sebelumnya dan saya merasa inilah cikal-bakal kenapa saya sangat tidak menyukai Brazil. Di tahun 1994 piala dunia secara kontroversial digelar di Negara yang asing dengan sepakbola. Banyak yang bertanya-tanya tapi FIFA jalan terus.

Final kemudian mempertemukan dua kutub sepakbola dari dua benua yang berbeda. Brazil mewakili benua Amerika dan Italia mewakili benua Eropa. Brazil melangkah dengan mulus ke final sedangkan Italia melangkah tertatih-tatih termasuk ketika harus lolos dari fase grup sebagai urutan ketiga terbaik. Tidak heran kalau Brazil lebih diandalkan di final sedang Italia sangat meragukan.

Walhasil, pertandingan memang seakan berjalan timpang. Brazil sibuk menyerang sementara Italia dengan pertahanan gerendelnya sibuk bertahan. Lama ?kelamaan pertandingan menjadi membosankan, apalagi karena memang tidak ada gol sama sekali yang tercipta. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, final piala dunia berakhir tanpa gol dan harus diakhiri dengan drama adu penalty.

Saya menonton partai ini bersama 2 orang teman yang sama-sama mencintai Italia. Adu penalty membuat jantung kami berdegup kencang. Kami semua sadar, adu penalty sebagian besarnya hanyalah factor mental dan luck, skill hanyalah pelengkap.? Kami jatuh lemas tak bertenaga ketika Roberto Baggio dan Franco Baresi tak mampu menjalankan tugas mereka. Saat Dunga bersama teman-temannya mengangkat tropi World Cup, kami bertiga lesu di depan televisi. Rasanya sakit luar biasa, seharian kami hanya mengutuki kemenangan Brazil itu.

Untunglah, 4 tahun kemudian Perancis membalaskan sakit hati saya.

France vs Brazil, perempat final Germany’2006

Selang 12 tahun kemudian Brazil kembali menjadi aktor dalam kisah partai yang paling saya kenang, lawannyapun sama dengan yang mereka hadapi 8 tahun sebelumnya di final, Perancis. Mereka bertemu di perempat final, Brazil dengan Ronaldinho yang sedang mengkilap dan Perancis dengan Zidane yang mulai uzur dan bahkan bertekad pensiun selepas World Cup 2006.

Pertandingan berjalan seru, kedua tim tampil all out. Tapi, ada satu orang yang mengubah segalanya, dia tampil melebihi semua pemain yang lain baik yang berseragam sama maupun yang berseragam beda. Orang itu adalah Zinedine Zidane. Entah kenapa, setiap kali bertemu Brazil Zidane seakan-akan menjadi seorang yang berbeda, segala kemampuan magisnya keluar. Hampir tak ada pemain Brazil yang tak dibuatnya kerepotan, bahkan Kaka dan Ronaldinho sekalipun.

Dan Brazilpun membuat kesalahan fatal dengan membiarkan seorang Thierry Henry sendirian tak terkawal di kotak penalty saat Zidane melempar umpan ke sana. Henry segera menghukum kesalahan orang-orang Brazil itu. Satu gol saja, tapi itu sudah cukup untuk memulangkan mereka dan membuat mereka menangis. Saya yang menonton sendirian kembali melonjak kegirangan meski dengan suara teriakan kemenangan yang tak seberapa besar. Besoknya, saya berkunjung ke tukang cukur dan tanpa basa-basi langsung mencukur habis rambut saya seperti yang sudah saya niatkan sebelumnya. Saya memang bernazar, kapanpun Brazil berhenti maka itulah waktunya saya mencukur habis rambut saya, jadi bukan karena Perancis yang menang tapi karena Brazil yang kalah.

Italia vs Perancis, Germany’2006

Ini partai yang paling menyakitkan bagi saya. Dua tim unggulan saya bertemu di final, sebenarnya hanya satu karena sesungguhnya saya suka Perancis hanya karena factor Zidane-nya. Walhasil saya menonton pertandingan final ini dengan satu kekurangan, passion untuk melihat siapa yang menang dan siapa yang kalah. Saya menyalakan televisi dan duduk manis sepanjang 120 menit lebih murni hanya ingin menikmati indahnya permainan kedua tim. Syukurlah saya sempat menyaksikannya.

Partai ini menjadi lebih menyakitkan bagi saya karena ternyata berakhir sangat buruk bagi seorang Zidane. Tandukannya pada Materazzi menjadi sebuah kisah baru yang akan selalu diceritakan orang sama seperti gol tangan Tuhannya Maradona. Adegan Zidane yang berjalan perlahan kea rah ruang ganti melewati tropi World Cup menjadi adegan yang sangat menyayat buat saya, selepas itu saya kehilangan passion pada final yang tadinya saya nikmati. Ketika Cannavaro mengangkat tropi disertai hujan convetti, saya hanya duduk tenang sambil mengisap sebatang rokok. Padahal seharusnya saya bisa melonjak kegirangan karena sejak pertama kali Italia menendang bola saya sudah ada di belakang mereka, tapi ternyata saya tidak bisa.

Pertemuan Italia dan Perancis menghilangkan passion itu, ditambah lagi dengan sad ending untuk Zidane. Lengkaplah sudah, partai ini jadi partai final yang menyakitkan dan akan saya kenang untuk waktu yang lama.

Dan, itulah partai-partai yang selalu saya kenang. Partai-partai yang punya kadar kenangan yang luar biasa besarnya dan membuat saya selalu menantikan setiap pagelaran World Cup, menantikan partai demi partai siapa tahu saja akan ada partai lainnya yang bisa saya kenang. Ah, saya sudah tidak sabar untuk menyaksikan World Cup tahun ini.