Semesta Galesong, Senarai Catatan Seorang Warga

Perahu Yang Terparkir Di Satu Sudut Galesong (sumber: kabargalesong.org)
Perahu Yang Terparkir Di Satu Sudut Galesong (sumber: kabargalesong.org)

Tidak banyak orang yang mencatat dinamika kampungnya. Sebagian hanya sadar kalau ada yang berubah, tapi tidak punya niat mengabarkannya.

Galesong adalah sebuah daerah di Selatan kota Makassar. Dahulu pada masa kerajaan Gowa, daerah ini dikenal sebagai salah satu daerah penting kerajaan Gowa. Sebagian besar daerahnya berada di pesisir pantai, selebihnya adalah sawah dengan kontur tanah yang nyaris rata. Saya mengenal daerah ini sebagai tempat tinggal banyak keluarga dari pihak Ibu, pun sebagai tempat yang akrab dengan pantai, laut dan ikannya.

Di salah satu kampung dalam wilayah Galesong- namanya kampung Jempang- lahirlah seorang anak yang kelak ternyata sangat peka sekaligus resah melihat perubahan kampungnya. Dialah Kamaruddin Azis, atau kami biasa menyebutnya Daeng Nuntung. Lelaki berperawakan sedang ini lahir di kampung Jempang, menghabiskan masa kecil dan masa remaja di sana sebelum akhirnya menimba ilmu di kota Makassar.

Meski akhirnya lebih banyak berada di kota metropolitan Makassar tapi kenangannya akan kampung Jempang dan Galesong tidak pernah berhenti memanggil. Sebagai seorang pekerja lembaga swadaya masyarakat yang rajin menulis dia dengan tekun memperhatikan apa saja yang berubah dari kampungnya. Mencatat dengan detail apa yang bergeser, apa yang hilang dan apa yang datang.

Sampul buku Semesta Galesong
Sampul buku Semesta Galesong

Semua catatan itu kemudian disatukan dalam sebuah buku berjudul Semesta Galesong, Senarai Catatan Seorang Warga. Buku kecil setebal 120 halaman ini memuat 11 kisah yang menempatkan Galesong dan kampung Jempang sebagai pusat orbitnya. Ceritanya beragam, dari geliat perekonomian rakyat di desa, kisah romantika bioskop kampung, kehidupan nelayan tak berasuransi hingga ruang pribadi para waria (atau dalam bahasa Makassar disebut kawe-kawe).

Daeng Nuntung dengan jeli menangkap semua realitas dan perubahan yang terjadi di kampungnya. Dia juga punya kemampuan untuk merekamnya dalam deretan kata dan alur yang memikat. Semua kisah yang ditulis dalam buku ini terasa sangat dekat dengan keseharian warga biasa, kisah sederhana yang tidak dilebih-lebihkan. Hanya disajikan dengan cara yang menarik.

Saya suka cara bertuturnya. Dalam kisah Menelisik Ruang Privat Kawe-Kawe kita seakan diajak masuk jauh ke dalam keseharian para pria berpenampilan seperti wanita itu. Mereka yang seakan selalu jadi korban candaan dan pelecahan itu ternyata punya banyak kisah yang bila direnungkan sesungguhnya membuat kita banyak terhenyak.

Dalam kisah yang lain yang berjudul Kisah Daeng Serang Menegakkan Siri’ saya seakan dibawa dalam sebuah kisah dramatis tentang seorang pria yang tega menebas leher istrinya demi tegaknya siri’ atau harga diri. Adegan penebasan ini diceritakan dengan sangat detail hingga saya bisa merasakan aura menegangkan dari kejadian berpuluh-puluh tahun lalu itu.

Buku Semesta Galesong buat saya sangat menarik karena mampu mencatat hal-hal kecil dari lingkungan sekitar yang diceritakan dengan cara sederhana. Membaca buku ini kita bisa menemukan fakta kalau orang-orang kampung kadang punya cara yang sangat bijaksana untuk bertahan hidup. Gempuran jaman, modernitas atau apapun namanya kadang sulit mereka lawan tapi di balik itu mereka selalu bisa bertahan dengan cara yang mereka temukan dari perjalanan panjang kehidupan mereka sendiri.

Saya membayangkan seandainya saja lebih banyak warga yang mencatat dinamika yang terjadi di sekitar mereka maka akan sangat banyak hal yang bisa kita renungkan, pelajari dan bagikan kepada orang lain. Kadang kita tidak sadar tentang dampak dari sebuah perubahan hanya karena kita malas mencatat dan merenungkannya. Ketika dampaknya mengarah ke arah yang negatif barulah kita sadar betapa banyak hal yang hilang dari sekitar kita.

Mungkin karena itu juga saya selalu kagum pada mereka yang rajin mencatat dinamika di sekitarnya, dengan cara mereka sendiri. Catatan yang kita buat saat ini mungkin baru terasa gunanya bertahun-tahun setelah kita mencatatnya. Jadi, kenapa kita tidak mencatatnya dari sekarang? [dG]