Kalau mendengar kata PKI yang terbayang di kepala saya adalah kamar suram dengan latar bendera merah dan palu arit ditambah beberapa orang pria yang mulutnya tidak pernah lepas dari kepulan asap rokok. Bukan hanya itu, PKI di kepala saya berarti juga kekejaman yang melibatkan parang, cangkul dan arit serta darah yang berceceran dimana-mana.
Terima kasih kepada film Pengkhianatan G-30/s PKI yang sudah sukses membangun imaji itu selama belasan tahun. selama jaman Orde Baru, film itu jadi film wajib yang harus diputar TVRI setiap tanggal 30 September. Tidak sampai di situ, kami anak sekolahpun dipaksa membayar tiket dan diangkut beramai-ramai ke gedung bioskop untuk menonton film ini, sekaligus menjejali otak kami tentang bahaya laten komunis dan PKI lewat satu sumber saja.
Orde Baru kemudian tumbang, film Pengkhianatan G30/s PKI dihapus dari wajib tayang. Tirai yang menutup bayang-bayang gelap itu perlahan dibuka, satu persatu informasi yang lebih beragam tentang masa kelam republik ini muncul di permukaan dan memberi warna-warni berbeda. Perlahan peristiwa kelam 1965-1966pun muncul ke hadapan kita, bukan hanya peristiwa penculikan jenderal itu tapi juga peristiwa setelahnya yang oleh sebagian orang digambarkan sebagai pembantaian massal yang melebihi kejamnya Nazi di Perang Dunia Kedua.
Lalu kemudian muncullah film The Act Of Killing (Jagal) karya Joshua Oppenheimer. Setahun lalu film ini sudah mengguncangkan dunia karena dianggap sebagai dokumentasi jujur tentang kelamnya pembantaian massal 1966 kala ratusan ribu (bahkan katanya sampai jutaan) nyawa orang-orang yang dituduh terlibat PKI hilang di tangan saudara sebangsa sendiri. Tempo juga menurunkan liputan khusus tentang kesaksian para algojo yang kala itu digunakan sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam memberangus PKI dan semua antek-anteknya.
Beberapa bulan kemudian laporan khusus majalah Tempo ini kemudian diterbitkan kembali dalam bentuk buku, isinya sama dengan majalah Tempo hanya ada beberapa penambahan saja termasuk surat pembaca yang menanggapi laporan khusus tersebut.
Buku setebal 178 halaman ini buat saya adalah buku yang mengerikan. Gambar sampulnya saja sudah cukup untuk menggetarkan jiwa. Adegan seorang perempuan yang menangis depresi di depan beberapa orang tentara dengan bedil di tangan cukup berhasil membawa gambaran bagaimana perih, kelam dan menegangkannya masa itu.
Cerita-cerita dalam buku ini sangat gamblang menceritakan bagaimana para algojo-algojo itu menjalankan tugasnya. Mereka dengan dingin dan tanpa belas kasihan menangkapi dan kemudian mengeksekusi orang-orang yang dianggap sebagai bagian dari PKI. Tebasan kelewang, darah yang muncrat, kepala yang terpisah dari tubuh dan banyak lagi gambaran menyeramkan jadi bagian halaman demi halaman di buku ini. Parahnya lagi karena pelaku dan korban seringkali masih bertalian darah.
Membaca buku ini berarti siap larut dalam ketegangan yang mencekam, bukan jalan ceritanya yang membuat kita tercekam tapi karena kejadian ini benar-benar kejadian nyata yang jadi bagian sejarah negeri kita. Membaca buku ini sekaligus membuka pemahaman baru tentang Partai Komunis Indonesia, mereka mungkin tidak 100% benar tapi pembersihan lewat pembantaian massal yang dilakukan pemerintah kala itu juga sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Alasan apapun itu, merampas kebebasan orang lain bahkan mencabut nyawa orang lain atas nama ideologi bukanlah hal yang bisa diterima di manapun. Apalagi karena sebagian besar korban adalah orang yang tak tahu menahu tentang kesalahan mereka, mereka hanya korban dari sebuah kericuhan massal yang terjadi kala itu.
Beberapa kritikan memang menghampiri liputan khusus Tempo ini karena dianggap menghakimi NU sebagai bagian dari pemusnahan massal 1965-1966 itu, tapi jawaban tentang ini diulas di halaman pertama buku. Buku Pengakuan Algojo 1965 adalah buku yang menyeramkan, tapi sangat pantas untuk dibaca sebagai tambahan pengetahuan tentang sejarah suram negeri kita. [dG]