Menulis Dengan Sederhana

Ilustrasinya tidak nyambung sih.
Ilustrasinya tidak nyambung sih.

Beberapa orang berhasil membuat tulisan yang berat tapi memikat. Ada juga yang berhasil membuat tulisan sederhana tapi tetap memikat.

MINGGU-MINGGU INI SAYA CUKUP BERBAHAGIA melihat semangat anak-anak muda untuk belajar menulis. Usia mereka ada yang terpaut 10 tahun di bawah saya-bahkan ada yang lebih, mengingatkan masa ketika saya seusia mereka tapi tidak seberuntung mereka. Suka menulis tapi tidak tahu belajar pada siapa. Karenanya ketika melihat mereka begitu semangat menulis, saya senang. Saya berusaha membantu sebisa saya. Siapa tahu kelak mereka bisa jadi orang hebat yang tahu persis bagaimana cara menyampaikan ide dan gagasan dari sebuah tulisan.

Dari beberapa anak muda yang menulis dan tergabung dalam Kelas Menulis Kepo itu setidaknya ada yang begitu menancap di kepala saya minggu ini. Seorang perempuan muda bernama Nunu dan seorang lagi pria muda bernama Iyan.

Tulisan terakhir mereka memikat saya bukan karena kerumitannya, bukan karena bahasa yang berbelit, berbunga, bersayap atau tinggi. Bukan, mereka justru memikat saya karena kesederhanaan bahasanya.

Iyan atau Ardian menulis sebuah kisah romantisme tentang puasa bersama ibu di kampung halaman. Dia menyematkan judul; Puasa Hari Pertama Bersama Ibu. Tulisan ini dimulai dengan kisah telepon di pagi hari dari ibu di kampung. Seperti semua anak-anak yang sedang merantau, suara ibu di gagang telepon bak oasis di gurun pasir. Menyejukkan.

Lalu cerita ini bergulir tentang kenangan Iyan pada ritual puasa di kampung halaman bersama ibu, bapak dan adik-adiknya. Dari ritual makan melingkar sambil bersila di lantai, sampai kebiasaan nongkrong di dekker seperti kebanyakan anak-anak remaja di daerah rural atau sub urban. Iyan cukup pandai memilih kata untuk mendeskripsikan ritual-ritual sederhana itu. Sebagai orang yang juga pernah hidup di kampung, gambarannya cukup kuat untuk memanggil ingatan saya dan menggambarkan kegiatan-kegiatan itu di kepala.

Kekuatan tulisan Iyan menurut saya adalah pilihannya menggunakan bahasa sehari-hari dalam obrolannya bersama ibu di telepon. Tak perlu memilih kalimat baku atau kalimat yang berbelit, cukup tuliskan apa yang sebenarnya terjadi tanpa berusaha membuatnya sempurna. Asyiknya lagi karena Iyan menuliskan dialog itu dalam bahasa Bugis, bahasa sehari-hari mereka sambil tentu saja tak lupa menuliskan makna atau terjemahannya.

Pemilihan bahasa ini buat saya membuat tulisan Iyan jadi lebih kuat karena adegan-adegan yang terjadi benar-benar seperti adegan yang nyata, bukan adegan sinetron yang dipaksa sempurna. Saya menikmati tulisannya dan tidak percaya kalau dia baru belajar menulis.

*****

LALU ADA TULISAN DARI NUNU. Gadis mungil yang LDR-an dengan orang tuanya yang mencari nafkah di Arab Saudi ini menulis tentang kisahnya bersama sang adik bungsu Uud yang ikut orang tua mereka di Riyadh. Ceritanya sederhana saja, tentang bagaimana seorang adik bungsu yang periang dan punya rasa ingin tahu besar itu bertemu kakak tertuanya lalu merepotkannya dengan segala tingkah laku khas anak kecil.

Cerita yang diberi judul: #CeritaUUD [8] : Mendadak Jakarta ini dibuka dengan latar belakang kenapa Nunu harus berpisah jauh dengan orang tuanya. Plus sedikit deskripsi kegiatannya selama bulan Ramadan yang harus dilewatinya bersama adik dan kakak, tanpa kedua orang tua.

Lalu cerita ini mundur ke masa beberapa bulan lalu ketika Uud adik bungsunya datang ke Indonesia bersama orang tua mereka. Inti cerita ini adalah tentang si Uud dengan segala kerepotannya. Dari pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung habis, kenaifan seorang anak kecil, gegar budaya antara Arab Saudi dan Indonesia sampai ditutup dengan cerita yang sungguh menggelikan akibat kebiasaan yang berbeda itu.

Saya kadang iri pada banyak perempuan penulis yang bisa begitu santai bercerita tanpa merasa perlu memikirkan citra. Salah satunya ya Nunu ini. Mereka para perempuan penulis itu bebas mencurahkan isi hati atau cerita di kepala mereka tanpa takut dituduh cengeng atau lebay. Sebagian besar laki-laki penulis dalam sepengetahuan saya sering merasa berbenturan dengan tembok yang mereka ciptakan sendiri. Tembok yang membuat mereka kadang segan untuk terlalu terbuka dalam menulis, takut jadi dianggap cengeng atau lebay. Salah satunya saya. Mungkin ini juga berkaitan dengan citra feminin dan macho yang mau tidak mau sudah jadi patron bagi banyak orang.

Tulisan Nunu ini renyah, ringan dan enak dicerna. Bagian favorit saya bagian terakhirnya yang buat saya benar-benar seperti klimaks dari sebuah cerita yang bisa membuat pembacanya minimal tersenyum simpul.

Agak berbeda dengan Iyan, Nunu sudah punya pengalaman panjang menulis. Bisa dilihat dari postingan di blog mereka. Soal teknis, Nunu sudah lebih rapi dari Iyan yang baru memulai lagi ngeblog. Tapi mereka berdua punya kesamaan, sama-sama berhasil membuat tulisan sederhana yang tetap enak dibaca. Mereka tidak berusaha atau tidak terjebak untuk menyulitkan sebuah cerita atau mencoba menjadi sempurna. Ini yang saya suka.

Mudah-mudahan saja mereka berdua baru permulaan. Saya masih menunggu teman-teman yang lain karena saya yakin mereka semua bisa. Entah tulisan sederhana atau tulisan yang berat, apa saja sepanjang mereka memang mau menulis maka saya yakin mereka sudah jadi orang yang spesial.

Mari kita tunggu [dG]