Membuka Aib Lelaki Bugis

Blog Lelakibugis.net
Blog Lelakibugis.net

Sebuah review tentang blog seorang lelaki Bugis yang tidak manis meski romantis dan bikin hati teriris.

Suku Bugis adalah salah satu suku yang mendiami wilayah bagian Selatan pulau Sulawesi. Suku ini sejak dulu terkenal sebagai suku yang ulet dalam berdagang, bertani dan berlayar. Saking uletnya, diaspora suku Bugis bisa ditemukan hampir di semua wilayah Nusantara, dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampai Rote.

Lelaki suku Bugis juga dikenal dengan perawakan mereka yang cukup kekar dengan kulit coklat menjurus sawo matang. Merekapun terkenal dengan sifat keras dan teguh dalam pendirian serta gampang tersulut emosi ketika harga dirinya terusik. Meski begitu, lelaki suku Bugis bisa dianggap romantis dan cenderung ekspresif dalam mengungkapkan perasaan.

Semua gambaran umum lelaki suku Bugis itu bisa ditemukan pada diri seorang Mansyur Rahim, atau kami sering menyebutnya dengan nama kesayangan Anchu. Lelaki pendekar (pendek dan kekar) ini sepintas memang terlihat menyeramkan. Tubuh gempalnya lebih sering dibalut pakaian sederhana dan lumayan jauh dari kata necis. Plus, rambut gondrong keriting yang selama bertahun-tahun setia menghiasi batok kepalanya.

Sebagai pelengkap, pria blasteran Sidrap dan Wajo ini juga mengenakan gelang di tangan kirinya bersama sebuah cincin batu akik di jari manisnya. Seandainya dia rajin memakai songkok haji dan mengganti satu giginya dengan gigi emas maka lengkap sudah gambaran fisik seorang lelaki Bugis pedagang beras atau pemilik kapal.

Anchu memang menggunakan nama Lelaki Bugis sebagai nickname-nya di beberapa media sosial, termasuk blognya yang beralamat di Lelakibugis.net. Blognya inilah yang akan saya bahas, bukan soal fisik atau kisah cintanya yang biru lebam bercampur merah merona selama bertahun-tahun.

*****

Blog Lelakibugis.net ini adalah blog baru, pengganti blog lamanya Lelakibugis.com yang sudah almarhum karena tak terurus. Dulu saya mengenalnya sebagai seorang penulis yang baik, kami pernah sama-sama terhimpun dalam sebuah kumpulan citizen reporter bernama Panyingkul. bedanya, saya waktu itu seorang penulis pemula yang sama sekali belum punya kemampuan apa-apa sementara dia sudah menjadi seorang penulis yang baik karena sebelumnya tergabung dalam sebuah komunitas literasi.

Salah satu tulisan terbaiknya adalah tentang kehidupan para waria di Lapangan Karebosi lama (sebelum berubah menjadi mall seperti seperti sekarang). Di tulisan itu dia mengerahkan semua kemampuannya, dari mulai teknik wawancara, pencarian data sampai menjahit semua itu dalam sebuah tulisan yang mengalir dan tidak lepas dari nafas sastra.

Senyum manis Lelaki Bugis
Senyum manis Lelaki Bugis

Belakangan dia memang sempat vakum ngeblog, alasan klasiknya adalah karena kesibukan kerjaan di samping kesibukannya mengurus hati yang tertambat di seberang pulau.

Meski sudah mengenalnya sejak lama tapi kami baru benar-benar akrab sejak sama-sama melintasi selat Selayar dan bertualang ke Taka Bonerate. Sejak itulah kami mulai sering bertukar kabar sebelum akhirnya dia kembali aktif ngeblog.

Blog barunya mulai rajin diisi meski terus terang saya melihat ada kualitas yang agak menurun dibanding tulisan lamanya. Menurut saya ini salah satu kerugian kalau kita sudah pernah membuat sebuah karya yang luar biasa karena setelahnya orang akan selalu menjadikan karya itu sebagai pembanding untuk karya-karya kita selanjutnya. Dan itulah yang terjadi pada seorang Anchu.

Saya sempat melontarkan kritikan itu padanya dan mungkin kritikan saya diterimanya dengan lapang perut mengingat perutnya memang lebih lapang daripada dadanya.

Belakangan perlahan-lahan dia mulai kembali ke kualitas aslinya, membuat postingan yang lebih enak dibaca dan lebih berkualitas, sama seperti dulu. Masalahnya hanya ada pada waktu dan kerelaannya meluangkan waktu. Dia terlalu sibuk dengan beragam urusan kerjaan yang tidak jauh-jauh dari media sosial. Kesibukan lainnya masih seputar hati. Meski bertampang sangar, dia adalah lelaki romantis yang mampu membuat banyak perempuan muda dan tua menggelepar tak berdaya. Untungnya karena dia sebenarnya adalah lelaki yang tak punya hati lagi, hatinya sudah dikapling oleh seseorang.

Sudah, kita kembali ke blognya. Saya harus mengakui kalau saya suka tulisannya, gaya tulisannya persis seperti gaya tulisan yang saya suka. Berada di antara tulisan ringan dan berat. Desain blognyapun sederhana, ringan dan gampang dibuka. Tapi ada satu hal yang mengganggu, widget di sebelah kanan tidak seimbang dengan postingan sehingga ada bagian yang hilang. Buat saya yang menggilai keseimbangan dan simetrikal, tampilan ini agak mengganggu.

Setidaknya hanya satu itu yang masih jadi gangguan buat saya. Selebihnya saya bisa menikmati blognya, menikmati tulisan-tulisannya tanpa harus terganggu ingatan tentang posisi tidurnya ketika kami sama-sama menginap di kamar yang sama di Manokwari.

Terakhir, pesan saya semoga si Lelaki Bugis itu bisa kembali menemukan gaya tulisan yang seperti dulu. Bernas, tajam dan bergizi. Saya pikir tidak salah Anging Mammiri menempatkan blognya sebagai blog terpuji tahun kemarin. Semoga dia bisa mempertanggungjawabkan prestasi itu. [dG]

NB: postingan ini adalah untuk memenuhi kewajiban mereview antar anggota Anging Mammiri atau disebut #Sipakatau. Saya sengaja memilih mereview blognya Anchu, biar saya punya alasan legal untuk mencelanya dengan alasan review blog. Dan saya puas!