Sebuah ulasan tentang film Kaka Boss, film tentang orang timur yang dibuat berbeda oleh Arie Keriting.
Sudah lama juga saya tidak menonton film di bioskop. Bukan hanya film Indonesia, tapi semua jenis film. Mungkin sudah bertahun-tahun sejak terakhir nonton di bioskop, saya pun lupa. Sampai kemudian film Kaka Boss ini mengundang hasrat saya untuk kembali menonton di bioskop, sekitar seminggu yang lalu.
Premis
Kaka Boss (Godfred Orindeod) adalah pemilik sebuah usaha keamanan di Jakarta. Tubuhnya yang kekar dengan kulit kelam khas orang timur selalu memberi kesan yang menakutkan. Apalagi pekerjaannya yang tidak pernah jauh dari hal-hal yang kerap diidentikkan dengan kekerasan. Dari menagih utang sampai menjaga lahan.
Kaka Boss punya anak perempuan satu-satunya yang ibaratnya pusat tata surya kehidupannya, Angel (Glory Hillary). Seseram apapun wajah dan tampilan Kaka Boss, Angel adalah semacam kriptonite-nya. Dia akan lemah di hadapan Angel, dan dia akan melakukan apapun yang diminta si anak. Termasuk tidak menampakkan wajah di sekolah Angel.
Alasannya, Angel malu punya bapak yang oleh orang lain dianggap preman. Angel tidak bangga pada sang bapak. Dan itu yang membuat Kaka Boss tidak tenang. Dia terus berusaha mencari jalan untuk membuat sang anak bangga, termasuk banting setir, meninggalkan pekerjaannya dan kemudian mengejar cita-citanya semasa kecil: menjadi penyanyi. Harapannya, sang anak bisa bangga punya bapak yang penyanyi, bukan preman seperti yang dibilang orang-orang.
Sayangnya, Kaka Boss tidak sadar kalau suaranya jelek. Orang di sekitarnya sadar, tapi tidak ada yang berani bilang. Kaka Boss terlalu menakutkan untuk dikecewakan. Dan dari sinilah cerita bergulir, tentang bagaimana Kaka Boss berusaha membuat anak satu-satunya bangga, tapi lewat jalan yang justru membuat orang di sekitarnya berada dalam dilema.
Melawan Stigma dan Stereotipe
Dalam beberapa obrolan di YouTube, sang sutradara Kaka Boss, Arie Keriting kerap menjelaskan alasan di balik ide film Kaka Boss ini. Ide besarnya adalah menampilkan orang timur Indonesia dalam perspektif yang berbeda dari yang sering ditampilkan di film Indonesia selama ini.
Orang timur, kata Arie Keriting, sering ditampilkan dalam cerita yang menyedihkan atau mengundang simpati. Hidup yang berat, tanah yang kering, susah air, hingga beragam tantangan kehidupan lainnya. Padahal, menurut Arie Keriting lagi, orang timur juga bisa bersenang-senang dan punya masalah yang sama dengan orang lain di Indonesia. Tidak melulu tentang hidup sehari-hari yang berat.
Di sisi lain, keindahan alam di timur Indonesia juga kerap muncul hanya sebagai latar dengan tokoh utama yang bukan orang timur.
Dua hal itu yang ingin dibongkar oleh seorang Arie Keriting. Dua hal itu yang menjadi alasan utama di balik hadirnya film Kaka Boss.
Kaka Boss menghadirkan tokoh dari timur Indonesia dengan latar masalah yang umum, yang bisa dirasakan oleh banyak orang lain di Indonesia apapun rasnya. Kaka Boss juga tidak menampilkan alam indah atau alam yang berat di timur Indonesia, tapi gemerlapnya kota Jakarta.
Kaka Boss juga menjadikan orang Indonesia timur menjadi tokoh sentralnya. Pemain utama dan pendukung sebagian besar adalah orang timur Indonesia. Di sana bersatu orang dari Sulawesi, Maluku, Papua, dan NTT. Semua dengan logat yang natural, tidak dibuat-buat atau baru belajar.
Terakhir, Kaka Boss juga melawan stereotipe yang kadang menggambarkan kalau semua orang timur itu bersuara indah. Kaka Boss adalah antitesis dari teori itu.
Drama dan Komedi Dalam Satu Cerita
Saya suka. Saya menonton Kaka Boss dalam balutan suka cita. Tidak tiap hari saya bisa melihat sekumpulan orang timur dengan logat Papua, Ambon, Flores, dan sedikit Makassar dalam layar lebar. Dan semua natural.
Tapi tentu bukan hanya itu alasan saya suka film ini. Saya suka ceritanya yang memang tidak umum untuk tokoh cerita yang berasal dari Indonesia timur. Saya juga suka gabungan antara komedi dan drama di film ini. Beberapa idiom yang sangat timur juga benar-benar menghibur buat saya.
Salah satu yang harus saya garisbawahi adalah kemunculan Godfred Orindeod sebagai pemeran utama di film ini. Sesuatu yang sangat berani, karena selama ini Godfred lebih dikenal sebagai aktor laga. Penonton The Raid 1 pasti ingat lelaki pemimpin geng Papua yang menyeramkan dengan kalimat, “Ko stop tipu e!”
Sumpah, Arie Keriting berani sekali menjadikan Godfred sebagai tokoh utama dalam film ini, apalagi karena sebagian besar peran Godfred adalah drama dan bukan laga. Buat saya Godfred cukup berhasil muncul sebagai lelaki keras yang bisa sangat lemah lembut di hadapan anak perempuannya. Saya juga harus memberi jempol untuk Glory Hillary sang pemeran Angel. Gadis Manokwari yang ditemukan di Instagram ini juga berhasil bermain sebagai Angel meski ini adalah penampilan perdananya. Godfred dan Glory cukup sukses buat saya.
Selain mereka berdua, buat saya penampilan Abdur Arsyad dan Ernest Prakasa juga jadi nilai lebih. Mereka berdua bermain dengan sangat luwes dengan perannya masing-masing. Benar-benar menampilkan kualitas mereka yang memang sudah akrab dengan dunia film.
Secara umum saya memberikan nilai 4/5 untuk film ini. Memang masih ada beberapa kekurangan, tapi tidak terlalu mengganggu dan tetap bisa dikesampingkan.
*****
Hampir sebulan setelah tayang, film Kaka Boss memang belum mencapai angka 1 juta penonton, angka yang kerap dijadikan acuan lakunya sebuah film. Entah apa alasannya, mungkin karena karakternya yang terlalu spesifik ke orang timur Indonesia atau alasan lain. Entahlah. Tapi yang saya tahu, ada semacam perlawanan kalau tidak mau dibilan sabotase dari sebagian orang ke film ini. Alasannya karena tokoh-tokoh utama di balik film ini seperti Arie Keriting, Abdur Arsyad, dan Mamat Alkatiri adalah orang-orang yang kemarin turun ke jalan mengawal aksi kawal putusan MK dan mengumandangkan Peringatan Darurat di media sosial mereka. Di beberapa media sosial, banyak sekali yang mencemooh film Kaka Boss dengan membawa alasan itu.
Buat saya itu hal yang biasa. Kita tidak bisa melarang orang untuk tidak suka, pun kita tidak bisa melarang orang untuk tidak memisahkan antara pilihan politik dengan karya seni. Ketika Deni Siregar meluncurkan film Sayap-Sayap Patah, sebagian orang yang berseberangan dengan dia pun ramai mencibir film itu hanya karena alasan ada nama Deni Siregar sebagai produsernya. Dan sekali lagi, itu adalah pilhan orang. Bebas!
Buat saya, Kaka Boss adalah film yang layak ditonton. Mungkin subyektif karena saya adalah orang timur dan pernah lama tinggal di wilayah paling timur Indonesia. Tapi saya suka! [dG]