Setelah menonton film Joker yang sedang ramai itu, tiba-tiba muncul beberapa pikiran dalam kepala.
Akhirnya saya bisa ikut dalam deretan orang-orang yang sudah menyaksikan akting Joaquin Phoenix sebagai Arthur Fleck a.k.a Joker. Agak terlambat memang karena demam Joker sudah ramai sejak seminggu sebelumnya. Saya nonton belakangan karena ketika film baru tayang, masih ada kesibukan yang mendera plus saya harus ke distrik selama seminggu. Di sana tidak ada bioskop, jadi saya harus menanti waktu yang pas selepas pulang dari distrik.
Saya tidak akan menuliskan cerita tentang film ini, karena kalian tentu sudah banyak membacanya di mana saja. Ada banyak laman yang menceritakan kisah tentang film ini, bahkan lengkap dengan spoiler-nya. Saya lebih tertarik bercerita tentang apa yang saya rasakan setelah menonton film ini.
Lalu, bagaimana kesan saya setelah menyaksikan Joker?
Pertama, saya ternyata terlalu berekspektasi berlebihan. Semua gara-gara saya terlanjur membaca banyak cerita mereka yang sudah lebih dulu menonton Joker. Baik itu tulisan di blog, Facebook maupun hanya cuitan ringan di Twitter. Sebagian besar dari mereka yang tulisannya saya baca itu memberikan kesan betapa bahayanya film ini bagi kesehatan mental. Bahkan ada yang mengaku sesak napas dan bahkan lemas sampai susah untuk berdiri dan keluar dari bioskop.
Kesan-kesan inilah yang membekas di kepala saya ketika memutuskan untuk keluar dan menonton Joker. Sekaligus saya bertanya-tanya; apakah yang akan terjadi pada saya selepas menonton film ini? Apakah akan ikut berdebar-debar atau lemas juga?
Ternyata tidak saudara-saudara! Saya melewati 122 menit menyaksikan Joker dan berhasil keluar dari studio dengan nyaris biasa saja. Tidak ada debaran berlebihan, sesak napas, atau perasaan depresi lainnya. Hanya ada kekaguman tentang sinematografi, akting, musik latar dan banyak lagi aspek dari film ini. Mungkin hanya itu bedanya dengan keluar dari studio selepas menonton film lain.
Saya tentu tidak berani bilang kalau orang-orang yang merasa berdebar, sesak napas atau lemas setelah menonton Joker adalah orang-orang yang berlebihan. Oh tidak mungkin, mana berani saya. Saya yakin mereka punya alasan hingga kemudian Joker berhasil memberi efek berbeda pada mereka setelah seluruh lampu di studio dinyalakan. Bedanya mungkin karena saya adalah orang yang sangat rasional dan kebetulan berada dalam kondisi mental yang stabil.
Saya percaya ada orang yang bisa berubah 180 derajat karena tekanan lingkungan dan tekanan dalam dirinya. Ada orang yang awalnya adalah orang baik-baik menurut standar sosial. Penurut, manis, atau mungkin bahkan disukai karena keceriaannya, tapi kemudian berubah menjadi orang yang jahat. Saya percaya itu ada. Saya juga percaya ada orang yang tidak kuat menerima tekanan besar dari sekitarnya dan kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Apa yang digambarkan film ini lewat akting Joaquin Phoenix adalah realita. Mungkin ada di sekitar kita. Karena itu saya percaya kalau ada yang bilang begitu tertekan setelah menonton Joker, ikut merasakan sensasi yang berbeda yang bahkan membuatnya sesak napas.
Tapi tidak buat saya. Sepanjang film saya lebih banyak berpikir secara logis. Tentang lokasi, sudut pengambilan gambar, pencahayaan, pewarnaan, akting, musik latar, dan jalan cerita. Saya sibuk mengumpulkan banyak informasi yang saya olah dengan logika saya sendiri, lalu membangun asumsi-asumsi sendiri. Asumsi yang kesemuanya berhubungan dengan sinematografi.
Saya jadi ingat pengalaman bertahun-tahun lalu ketika training ESQ -nya Ari Ginandjar sedang booming. Waktu itu hampir semua teman kantor yang mengikuti training ESQ mengaku tersentuh dan bahkan sampai menangis meraung-raung saat training berlangsung. Saat kemudian saya mendapat kesempatan untuk ikut sendiri, saya malah heran. Bagian mana yang membuat mereka ini sampai menangis? Aneh karena selama ikut acara saya malah sibuk memperhatikan alur cerita yang dibangun sang trainer, tata cahaya, tata suara, dan bahkan bertanya-tanya bahan presentasinya dibuat pakai aplikasi apa. Hanya sesekali saya merasa lumayan tersentuh, tapi tidak sampai meneteskan air mata. Padahal di sekitar saya orang-orang sudah mulai ramai dengan isak tangis dan suara ingus yang dilap. Saya? Saya malah mulai terganggu dengan suasana itu.
Hal yang sama terjadi juga pada film Joker. Ketika orang-orang melihatnya sebagai film yang mampu membuat mereka sampai berdebar tidak karuan, saya melihatnya sebatas film yang bagus. Film yang dibuat dengan teknik luar biasa dan cerita yang berkesan. Cukup sampai di situ.
Kedua, saya harus mengakui kalau film ini digarap nyaris sempurna. Nyaris. Dari semua aspek yang membuat sebuah film bisa dianggap istimewa, Joker punya semuanya. Paling berkesan tentu akting Joaquin Phoenix yang membuat juri Academy Award punya beban mental. Kalau sampai Joaquin gagal memenangkan Academy Award, sepertinya juri-juri itu harus siap dengan perundungan karena orang awam sepertinya banyak yang sepakat kalau Joqauin Phoenix pantas untuk mendapatkan piala.
Sebagai sutradara, Todd Philips juga berhasil menyatukan berbagai departemen dalam unit kerjanya. Cerita, musik dan gambar bermain dengan sangat rapi dalam satu jalinan cerita yang luar biasa. Dia benar-benar keluar dari kesan sebagai sutradara komedi yang membesut film-film seperti trilogi Hangover, Borat, dan Road Trip. Bagaimana mungkin seorang sutradara film komedi bisa membesut film berat seperti Joker dengan sangat baik? Ini yang harus dipertanyakan rahasianya.
Ketiga, mau tidak mau saya membandingkan Joker-nya Joaquin Phoenix dengan Joker-nya Alm. Heath Ledger. Sebelum Joaquin datang, Heath Ledger adalah Joker yang terbaik kata orang. Dia mampu memerankan Joker dengan sangat baik, menyingkirkan Jack Nicholson yang berperan sebagai Joker di tahun 1980an. Saking baiknya, Heath sampai membawa mati kesan itu. Sampai orang berpikir-pikir, apa iya ada aktor lain yang bisa memerankan Joker sebagus Heath Ledger?
Jared Letto pernah mencobanya dan – menurut saya – gagal. Entah karena memang porsinya di film Suicide Squad tidak terlalu banyak, atau memang dia masih gagal menerjemahkan karakter Joker. Sampai saat itu bayang-bayang Heath Ledger masih terlalu kuat. Sampai kemudian datanglah Joaquin untuk menggantikannya dan sepertinya berhasil menggesernya. Atau paling tidak duduk bersama, sama tinggi.
Semoga saja Joaquin Phoenix tidak terlalu mendalami perannya sampai terbawa jauh ke dalam kehidupan seperti yang terjadi pada Heath Ledger.
*****
Akhirul kalam, saya bilang kalau Joker ini film yang bagus. Kandidat kuat untuk menerima piala Academy Award. Di luar bahwa saya tidak merasakan pengaruh yang terlalu besar dari ceritanya, tapi saya juga percaya kalau memang ada orang yang sampai merasakan pengaruhnya. Sampai jauh ke dalam hati mereka. Tiap orang kan punya “ketahanan mental” yang beda-beda. Sesuatu yang buat kita biasa saja, buat orang lain bisa sangat berat. Begitu juga sebaliknya. Tapi untunglah karena buat saya film ini berhenti sebagai film yang bagus saja, tidak sampai berpengaruh ke kesehatan mental. Kalau bicara soal film yang mengganggu mental, saya justru lebih terganggu dengan film Irreversible [dG]
Sinematografinya memang juaraaaa. Saya baru pertama kali nonton film joker dan nonton di hari pertama film tayang jadi sama sekali tidak punya ekspketasi dan gambaran apapun (trailer saja tidak nonton). Tapi memang, film ini sedikit “mengganggu” untuk saya. Mungkin karena hormon lagi tidak bagus waktu itu trus lagi sedih juga jadi pas nonton filmnya lumayan bikin stress hahaha.
kondisi hati saat nonton juga sangat berpengaruh ya?
Saya pernah menonton film dokumenternya Heath Ledger saat ia belajar berperan sebagai Joker. Sumpah gokil banget dan total banget, sampai saya bingung gemana mau ngomongnya.
Saya pun termasuk orang yang menilai film Joker Joaquin Phoenix ini cukup di rate Bagus. Cinematography, blocking camera dan acting Bambang Phoenix bisa dibilang keren banget.
Tapi saya cukup kecewa, karena film dram satire comedy movie ini menggambarkan kehidupan Joker yang amat sangat menyedihkan tanpa sedikitpun kebahagiaan. Kalau pun ada hanya ilusi belaka.
Apa iya tidak pernah ada setitik kebahagiaan dalam hidupnya? Masa iya musti jadi orang jahat dulu trus bisa bahagia.
mungkin memang penekanannya di situ ya, fokus ke perubahan karakter Arthur jadi ya memang akhirnya lebih banyak menyoroti kisah kelam yang jadi latar belakang karakternya
Kalau menurut psikolog yg pernah sy nonton di youtube katanya film joker, bisa memberikan memori negatif pada alam bawah sadar si penontonx, dan bisa menjadi referensi,
Sebelum adanya film joker, sejak dulu dunia perfilm-an sudah ada juga yg kontroversi, seperti film2 bertema horor maupun gore.
Hae daeng
😀
Kurleb sama kesannya, saya malah sibuk perhatikan acting, mimik, cara dialog, ambience, dll.
Tapi buat yg lagi gak stabil emosinya, bisa pengaruh sih
iya, mungkin kebetulan saja pas saya juga lagi stabil mentalnya hihihi