Sebuah novel tebal tapi tak membosankan. Bercerita tentang pertarungan si jahat melawan si baik.
KOMBES DHARSANA adalah seorang pejabat kepolisian yang sekaligus menjadi wakil rakyat di masa ketika Dwifungsi ABRI masih berlaku. Pria ini digambarkan sebagai seorang pria tak elok yang memanfaatkan jabatannya untuk memuaskan syahwatnya. Licik, jahat, culas, dan doyan vagina. Singkatnya, gambaran seorang pejabat yang berhati hitam.
Ibu Intan, seorang janda diplomat Perancis yang terbunuh di Angola. Wanita ayu ini digambarkan sebagai wanita lembut, nrimo, tidak macam-macam meski punya harta dan kekayaan. Hatinya bersih, penuh dengan sifat welas asih. Dia adalah gambaran seorang wanita berhati putih.
Nasib mempertemukan mereka berdua, jalan hidup mereka bersinggungan dalam sebuah jalinan rumah tangga. Nasib pula yang membawa wanita bernama Jeng Retno masuk dalam kehidupan mereka. Jeng Retno digambarkan sebagai seorang Tamasya; tante maniak seks yang ambisius. Seorang perempuan yang suaminya mendekam di Nusakambangan karena peradilan yang curang. Ketiadaan sang suami membuatnya seperti seekor ikan yang mendamba air, belingsatan ketika nafsunya tak tersalurkan.
Kisah kemudian bergulir dengan ketiga orang itu sebagai pusatnya. Kombes Dharsana yang asyik masyuk merangkai syahwat dengan Jeng Retno, Ibu Intan yang nrimo dan ditambah dengan Marcell, anak semata wayang Ibu Intan yang memberontak dan tak menerima Dharsana sebagai suami ibunya. Sikap yang membuat Dharsana naik pitam dan mengatur rencana menyingkirkannya menggunakan tangan orang lain.
Dalam perjalan cerita muncul tokoh-tokoh lain. Winata, seorang keturunan yang berhati lurus tapi pasrah menjadi sapi perah. Tuminah dan Juminah, saudari kembar penegak keadilan dan tokoh-tokoh lain yang jahat dan baik. Mereka semua ikut dalam satu jalinan cerita panjang tentang bagaimana kejahatan yang dilambangkan dengan warna hitam melawan kebaikan yang dilambangkan dengan warna putih.
Hingga akhirnya hotel pro deo yang jadi ujung kisah perseruan ini. Akankah si hitam yang jadi penghuni hotel pro deo? Atau jangan-jangan si putih? Karena hukum tak selamanya memihak yang benar.
*****
HOTEL PRO DEO, diterbitkan pertama kali tahun 2010 dan ditulis oleh Remy Sylado yang bernama asli Yopi Tambayong. Pria ini lebih dulu saya kenal sebagai pemain sinetron yang berperan sebagai ayah Midun di sebuah mini seri; Sengsara Membawa Nikmat belasan tahun yang lalu di TVRI. Belakangan saya baru tahu kalau ternyata dia seorang penulis.
Di dalam buku setebal 1.016 halaman ini, Remy Sylado mengangkat cerita yang klasik. Tentang kejahatan melawan kebajikan. Cerita yang mungkin sudah ada sejak pertama kali manusia menjejakkan kaki di bumi, bahkan ketika Adam masih menghuni surga.
Kisah dalam Hotel Pro Deo mengambil latar pertengahan 1990an sampai awal tahun 2000an ketika euforia reformasi melanda negeri ini. Dua tokoh sentralnya yaitu Dharsana dan Ibu Intan sama-sama berjuang melewati masa-masa berat ketika situasi pollitik dan ekonomi sedang berada di atas bara. Dharsana tak rela kedudukannya dan kekuasaannya digoyang oleh reformasi. Ibu Intan tidak rela kedamaiannya diusik sang pria yang disesali keberadannya sebagai suami. Mereka berjuang dengan cara mereka sendiri. Dharsana dengan pikiran yang berkarib dengan setan dan ibu Intan dengan pikiran yang lurus, jernih bak malaikat.
Sepertiga awal cerita adalah sajian kejahatan-kejahatan dan keculasan seorang Dharsana. Keculasan yang perlahan-lahan menelan korban jiwa. Satu persatu lawan-lawannya disingkirkan dengan menggunakan tangan para begundal-begundal suruhannya, termasuk menggunakan momentum kerusuhan rasial tahun 1998 untuk menyingkirkan Winata mantan koleganya yang berdarah Tionghoa.
Sepertiga berikutnya adalah kisah tentang perlawanan Ibu Intan yang perlahan mulai memupuk keberanian dalam membongkar semua kejahatan Dharsana. Dibantu Juminah dan saudari kembarnya Tuminah, Ibu Intan mulai berubah dari wanita yang nrimo dan lembut menjadi wanita yang tegar dan tak lagi rela diinjak-injak.
Sepertiga terakhir adalah penutup, akhir dari kisah pertarungan si jahat melawan si baik.
Kisah dalam Hotel Pro Deo seperti kisah dalam sebuah film action. Remy Sylado merangkai cerita dengan tingkat ketegangan yang perlahan menanjak. Pembaca dibawa untuk terbuai dalam setiap aksi kejahatan si hitam dan pelan-pelan merasa iba dan jatuh hati pada ketegaran hati si putih.
Hotel Pro Deo adalah buku yang menarik, meski tebal tapi sama sekali tidak membosankan. Banyak pengetahuan baru yang bisa didapatkan dalam buku ini, termasuk banyak sekali kata-kata bahasa Indonesia yang asing dan jarang kita dengar.
Pertarungan antara kejahatan melawan kebaikan tak akan pernah usai, akan terus ada sepanjang hayat bumi ini. Pemenangnyapun tak selalu sama karena kejahatan selalu punya cara untuk mengalahkan kebaikan. Pun sebaliknya. [dG]
Benar yg dikatakan daeng Ipul, tebal tidak membosankan. Baca karangan Remy Sylado yang laen daeng : Parisj van Java, Menunggu Matahari Melbourne, Kembang Jepun. Niscaya, dahaga membaca tulisan berkualitas terobati.
Trust me, It works
*bukan iklan susu*
1016 halaman? tebalna…
ada juga bukunya Pram yg tentang kehidupan penjara “Mereka yang Dilumpuhkan”