Tidak banyak orang yang berani memamerkan adegan percintaannya, mungkin hanya mereka yang memang hidup dari industri itu. Tapi bagaimana kalau seorang lelaki dengan penuh semangat menceritakan adegan percintaannya dalam sebuah buku?
Eko Prabowo, meski nama belakangnya sama dengan nama salah seorang calon presiden kita tapi yakinlah dia sama sekali tidak punya hubungan darah dengan sang calon presiden. Eko yang ini adalah seorang pecinta musik, tepatnya musik rock dan lebih tepatnya lagi skena musik grunge. Saya terangkan sedikit, skena musik grunge adalah skena musik yang lahir di awal 90an dari sebuah kota kecil di Amerika Serikat yang terus menerus basah sepanjang tahun bernama Seattle.
Skena grunge merebak setelah popularitas band seperti Nirvana, Pearl Jam, Soundgarden atau Alice in Chain tiba-tiba menanjak menyaingi popularitas raja pop dunia Michael Jackson. Dalam dasawarsa 1990an skena grunge adalah virus yang memengaruhi banyak orang, membuat banyak orang tergila-gila dan bahkan mati-matian menirunya. Dua dasawarsa kemudian, skena grunge tenggelam, tak kuat melawan seleksi alam. Dari seluruh pahlawannya hanya Pearl Jam yang masih terus konsisten dan mencetak album serta menggelar konser yang tiketnya selalu habis terjual.
Sudah, kuliah tentang grunge sampai di situ saja. Kita kembali ke Eko Prabowo. Lelaki dengan rambut keriwil dan dipaksakan gondrong ini mencintai grunge mungkin seperti dia mencintai anak perempuannya yang masih mungil, atau mungkin sama seperti dia mencintai istrinya. Cintanya pada grunge seperti memaksanya menyalin kenangan-kenangan indah ketika mencumbui aliran musik yang satu itu. Eko mencumbui grunge dari lagu ke lagu, dari CD ke CD dan tentu saja dari konser ke konser.
Keintimannya dengan grunge kemudian dia tuangkan di blog pribadinya, wustuk.com. Lalu entah siapa yang membisikinya, tulisan-tulisan itu kemudian dia satukan dalam sebuah buku yang berjudul Saya Ada Di Sana; Catatan Pinggir Grunge Lokal.
Dalam buku setebal 174 halaman itu tercakup banyak adegan percintaan antara Eko dan musik grunge. Sebagian besar adalah percintaan yang terjalin dari konser-konser kecil yang dia datangi. Dari konser musisi profesional sampai konser orang-orang gila di komunitas Pearl Jam Indonesia. Oh iya saya lupa bilang, komunitas Pearl Jam Indonesia isinya memang orang-orang gila, orang-orang yang entah kenapa begitu cinta mati pada band berisi opa-opa yang namanya Pearl Jam.
Buku Saya Ada Di Sana yang kerap disebut Eko sebagai Buku Grunge Lokal adalah catatan percintaan yang membara, penuh gairah, penuh semangat dan penuh orgasme. Dari halaman pertama selepas basa-basi dan testimoni, Eko sudah menggebrak dengan cerita percintaannya di acara Tribute To Pearl Jam I tahun 2008. Dari sana emosi terus menggelinding, cerita-cerita percintaan panas Eko dan musik grunge terus mengalir sampai halaman terakhir buku ini.
*****
Buku ini tak hendak dimaksudkan sebagai buku ensiklopedi perjalanan skena musik grunge di Indonesia, bahkan mendekatipun tidak. Buku ini sekadar catatan percintaan yang intim antara seorang fans dengan musik yang dicintainya. Jadi kalau Anda bermaksud mencari literatur panjang tentang sejarah atau jejak musik grunge di Indonesia, bukan ini buku yang Anda cari. Mungkin Anda lebih baik menunggu Denny Sakrie yang menerbitkannya.
Buku ini memang terasa sangat intim dengan segmentasi khusus. Kalau tak paham grunge atau tak akrab dengan band semacam Pearl Jam, Alice in Chains, Nirvana, Navicula atau Cupumanik maka mungkin buku ini tidak tepat buat Anda. Kecuali, kecuali kalau Anda berniat mengenal band-band itu atau aliran grunge, atau mungkin Anda memang penggemar musik kelas berat.
Buku ini walaupun sampai sekarang masih terbit di bawah tanah dan atas usaha sendiri bukanlah buku kacangan. Desain, tata letak dan grafisnya menendang pantat (terjemahan bebas dari kick ass). Maklum saja, Eko dengan kepribadian yang ajaib itu punya teman-teman yang juga sama ajaibnya. Tim di samping Eko itulah yang membuat buku ini sangat layak dipandang, mengalahkan buku motivator yang kadang seperti didesain secara asal-asalan.
Tapi, manusia tentu tak sempurna. Begitu juga dengan Eko dan proyek buku grunge lokalnya. Hal pertama yang mengganggu buat saya adalah penempatan kata depan yang kadang masih disambung, pun dengan penggunaan kata sekedar alih-alih sekadar. Sebagai orang yang akrab dengan dunia literasi berbahasa Indonesia, saya harus mengakui kalau saya terganggu. Nampaknya Eko harus menambah anggota timnya, khusus untuk mengamati detail-detail kecil seperti itu.
Tunggu, ada 1 hal lagi yang buat saya mengganggu. Alur dalam buku ini terlalu cepat, satu catatan konser atau gigs langsung disambung dengan catatan tentang konser atau gigs lainnya. Semua catatan itu membawa energi yang besar, semangat yang menggebu dan saling sambung-menyambung. Tidak salah memang, tapi saya capek. Membayangkan adegan percintaan yang terus menerus, sambung menyambung dengan semangat dan energi yang sama membuat saya lelah. Berkali-kali saya harus beristirahat sejenak, mengalihkan pikiran, mengumpulkan tenaga sebelum melanjutkan membaca buku ini.
Mungkin akan lebih menyenangkan kalau Eko bisa menyelipkan cerita lain yang tak melulu tentang konser atau gigs di antara catatan-catatan itu. Mungkin pengantar singkat tentang sejarah grunge yang dia tahu, atau catatan-catatan tentang band grunge lokal yang ada di belakang bisa diselipkan di antara catatan-catatan tentang konser atau gigs yang membara itu.
Hey, bahkan lelaki paling perkasa sekalipun butuh jeda bercinta bukan?
Akhirul kalam, buku ini memang tak sempurna tapi semangat dan cinta yang dibawa Eko ke dalam buku ini membuatnya terasa luar biasa. Tidak banyak orang yang berani menceritakan adegan-adegan percintaannya atau memamerkan rasa cintanya dengan cara yang elegan. Eko hanya sedikit dari orang-orang itu. Dan untuk itu saya salut kepadanya. [dG]
penasaran mau baca bukunya
Ijin nyimak, saya belum paham.