Satu lagi film kreasi sineas kota Makassar. Anak Muda Palsu, hadir di bioskop tanah air dengan sajian yang menjanjikan.
Selepas kesuksesan film Uang Panai (2016) perfilman kota Daeng memang semakin menggeliat. Sineas lokal bangkit satu per satu, memproduksi film dengan tema dan sumber daya lokal. Sebagian lumayan mengikuti kesuksesan Uang Panai, tapi sebagian lagi tidak. Sebagian hadir dengan kualitas sinematografi yang menjanjikan, tapi sebagian lagi tampil seadanya. Tapi itu tidak terlalu penting karena geliat itu memberi harapan baru kalau Makassar bisa jadi pusat perfilman Indonesia di masa depan. Tentu dengan beragam syarat.
Di tahun 2019 ini sineas Makassar kembali melemparkan satu judul film ke layar bioskop nasional. Judulnya “Anak Muda Palsu”. Disutradarai oleh Ihdar Nur, film yang diusung sebagian oleh pembuat film Uang Panai seperti ingin mengulang kesuksesan film tersebut. Apalagi dua bintang utamanya; Tumming dan Abu, juga ikut memeriahkan Uang Panai.
Kamis 5 Juli 2019 kemarin, saya dan beberapa teman kantor berkenan menghadiri penayangan film ini di layar bioskop XXI Jayapura. Anak Muda Palsu tayang perdana sehari sebelumnya, tapi karena terlambat memesan tiket kami membatalkan rencana. Tersisa dua deret paling depan, dan jelas itu bukan pilihan yang nyaman. Kami kemudian memutuskan untuk menonton sehari kemudian.
Kehidupan Anak Mahasiswa
Dibuka dengan suasana kampus Universitas Hasanuddin (UNHAS), Anak Muda Palsu secara tersirat langsung memberitahukan kalau sepanjang film, kisah tentang kehidupan anak mahasiswa akan jadi pusat orbitnya.
Empat orang Mapala (mahasiswa paling lama) secara kebetulan berada dalam kos yang sama, dan memiliki masalah yang serupa. Tumming (Tumming) mahasiswa teknik arsitektur, Abu (Abu) mahasiswa kedokteran, Darwis (Hisyam Hamsir) mahasiswa hukum, dan Illank (Reo Ramadhan) mahasiswa sastra sama-sama menghadapi kegalauan akibat kuliah yang sudah terlalu lama tanpa ada bayangan kapan akan berakhir.
Di sisi lain, mereka juga menghadapi teror dari ibu kos (Luna Vidya) yang cerewetnya minta ampun. Dari melarang ribut, mengatur harus menjemur di mana, menyalaki mereka yang tidak bersih, sampai tentu saja menagih uang kos, seakan menambah ruwetnya masalah mereka. Belum lagi, Abu juga harus menghadapi desakan ibunya yang juga seorang dokter. Sedangkan Darwis, harus berhadapan dengan desakan sang pacar yang meminta kepastian sebelum orang lain datang melamar.
Kisah-kisah inilah yang terus berkelindan selama durasi 103 menit. Anak-anak muda yang akhirnya memutuskan bekerjasama untuk menyelesaikan kuliah mereka. Ibu kos yang terus meneror bahkan mengusir. Masalah rumah dan keluarga, serta tentu saja tidak ketinggalan masalah cinta.
Selama durasi itu, beragam kekonyolan, banyolan dan anekdot khas kota Makassar terlontar. Sebagian mungkin agak sulit dimengerti orang luar karena konteksnya yang terlalu lokal, tapi sebagian besar masih bersifat universal dan bisa dimengerti siapa saja.
Lalu seperti umumnya semua film, kisah akan berakhir bahagia. Tapi tentu tidak semudah itu, karena tikungan dalam cerita tetap dibutuhkan. Pun dengan beberapa kejutan-kejutan yang membuat film ini jadi lebih berwarna.
Lebih Dari Uang Panai.
Mau tidak mau, saya membandingkan film ini dengan Uang Panai. Film Makassar pertama yang mampu mendobrak pintu kesuksesan film nasional. Selain itu beberapa pemain di film Anak Muda Palsu juga bermain di Uang Panai, begitupun dengan beberapa kru di belakangnya. Jadi sepertinya wajar kalau di alam bawah sadar saya membandingkan kedua film ini.
Hasil dari perbandingan itu adalah, Anak Muda Palsu lebih bagus dari Uang Panai. Ada beberapa faktor yang menurut saya membaut film ini lebih bagus dari pendahulunya.
Pertama soal cerita. Anak Muda Palsu menawarkan cerita yang lebih menarik. Meski genre utamanya adalah komedi, namun ternyata kesenduan dan cerita yang menyentuh hati juga terselip. Bahkan, bisa secara tidak sengaja menguras air mata penonton. Tidak seperti film Uang Panai yang lebih datar dari segi cerita. Anak Muda Palsu pun rasanya menyodorkan cerita yang lebih masuk akal dan dekat dengan keseharian anak Makassar, bahkan mungkin anak mahasiswa di manapun di Indonesia. Anak Muda Palsu cukup memainkan emosi, dan jelas itu bukan emosi palsu.
Memang ada beberapa cerita yang menurut saya tidak terlalu penting dimasukkan. Setidaknya tanpa ada cerita itu pun, kisah tetap terbangun dengan rapi. Salah satunya adalah kehadiran seorang lelaki kemayu yang membuat saya bertanya-tanya; dia fungsinya apa?
Kedua soal sinematografi. Ada beberapa kemajuan di film Anak Muda Palsu yang tidak ditemukan di film Uang Panai. Divisi sinematografi film ini bekerja lebih kreatif untuk menghadirkan sudut pengambilan gambar, editing atau efek yang lebih bisa memainkan perasaan.
Ketiga soal akting. Tumming adalah juaranya. Dia berakting dengan sangat natural, apa adanya. Tidak seperti orang yang sedang berakting. Abu di lain sisi terlihat masih agak kaku meski juga tidak jelek. Pemain lain memang seperti berada di bawah bayang-bayang Tumming, kecuali Luna Vidya yang menjadi ibu kos. Kualitas akting Tumming dan Luna Vidya tentu tidak usah dipertanyakan lagi. Tumming sudah lama menjadi seleb Instagram dan YouTube lokal sehingga tidak lagi punya alasan demam kamera. Sementara Luna Vidya, dia sudah lama menjadi pegiat teater dan monolog di Makassar.
Akting keduanya (dan akting pemain lain) buat saya lebih baik dari akting pemeran utama Uang Panai yang ekspresinya datar dan canggung.
Ketiga faktor itu yang membuat saya percaya kalau Anak Muda Palsu memang lebih baik dari Uang Panai. Seharusnya saya tidak membandingkan keduanya, tapi karena ada beberapa faktor tadi maka mau tidak mau saya harus membandingkannya. Plus, perbandingan yang seperti itu justru membuat saya percaya kalau sineas Makassar memang mengalami evolusi. Membaik dari waktu ke waktu. Awalnya mungkin karya mereka biasa saja, tapi seiring waktu mereka terus belajar dan memperbaiki diri. Lebih kreatif dan tentu lebih berkualitas.
Anak Muda Palsu adalah film yang sangat layak ditonton. Buat orang Makassar di perantauan, ini jelas memberi romantisme akan kampung halaman. Tapi, buat yang bukan orang Makassar film ini juga layak tonton, koq. Unsur komedinya dapat, dan cerita dari sebuah kisah persahabatan dan rasa sayang yang tersembunyi pun bisa membuat kita tersentuh. Intinya, jangan nonton Anak Muda Palsu kalau tidak mau emosimu dibawa naik-turun.
Di luar semua itu, saya senang melihat geliat sineas kota Makassar. Film yang lahir tidak semata hanya dari sisi kuantitas saja, tapi juga ada perbaikan dari sisi kualitas. Kalau terus konsisten, plus ada dukungan dari pemangku kebijakan lain, bukan tidak mungkin kalau kota Makassar akan jadi kota perfilman Indonesia. [dG]
Maju terus film lokal. Suka sekali. Saya menunggu film film selanjutnya. Oh iya, makasih daeng Ipul atas tulisan ini.