Wisata Kota Tua Semarang (Bagian 3 dari 3 cerita)
Hari Jumat 9 Nopember 2007 kemarin saya sempat membaca tulisan bapak Arifuddin Patunru di Panyingkul yang berjudul, “hadirkan kembali bangunan tua itu” Serentak saya teringat pengalaman saya beberapa waktu yang lalu saat menghabiskan masa libur lebaran di kota Semarang, Jawa Tengah. Sebagian waktu libur itu saya habiskan dengan mengunjungi kawasan kota lama.
Semarang adalah salah satu kota di Indonesia yang tetap mempertahankan kawasan bangunan tuanya. Kawasan ini pula yang kemudian menjadi salah satu daya tarik ibukota Jawa Tengah tersebut.
Berdasarkan catatan sejarah, pada abad ke-18, Semarang memiliki suatu kawasan yang yang menjadi pusat perdagangan. Kawasan inilah yang kemudian dikenal sebagai kawasan kota tua atau dulunya disebut Oude staadt. Waktu itu jalur pengangkutan lewat air sangat penting. Hal itu dibuktikan dengan adanya sungai yang mengelilingi kawasan ini yang dapat dilayari dari laut sampai dengan daerah Sebandaran di kawasan Pecinan.
Pemerintah Hindia Belanda dulunya membangun benteng di sekitar kota lama. Benteng ini dinamai Benteng Vijhoek. Bila dilihat dari kondisi geografi, kawasan yang luasnya sekitar 31 Ha. ini memang terpisah dari lingkungan sekitarnya. Wajar kalau kawasan ini mendapat julukan Little Netherland.
Di kawasan yang menjadi saksi bisu penjajahan Belanda di Indonesia ini masih tegak berdiri sekitar 50 bangunan kuno meski sebagian telah termakan usia. Beberapa diantaranya difungsikan kembali sebagai gedung perkantoran.
Pada akhir 1990-an, Pemerintah Kota Semarang merevitalisasi kawasan Kota Lama dengan memperbaiki dan membenahi jalan, drainase dan membuat polder untuk mengendalikan rob (rembesan air laut ke daratan). Ruang terbuka di sekitar polder tepat di depan stasiun kereta api Tawang itu juga digunakan untuk rekreasi, pentas apung maupun โdugderanโ menjelang datangnya bulan puasa.
Berjalan kaki di kawasan Kota Lama ini rasanya seperti kembali ke masa seratus tahun yang lalu. Hampir tidak ada perubahan yang berarti. Tidak heran bila kawasan ini telah berkali-kali digunakan sebagai lokasi pembuatan film yang bersetting masa lampau. Salah satunya adalah “GIE”
Bangunan-bangunan tua penuh kisah itu dibiarkan tetap berdiri. Sebagian memang sudah tampak kusam dan tak terurus, tapi sebagian lagi sudah diperbaiki dan dipergunakan sebagai kantor. Seluruh bangunan mengadopsi gaya arsitektur Eropa abad 18 dan 19, namun banyak juga perpaduan arsitektur Eropa dengan arsitektur Jawa dan China. Setiap bangunan yang berada dalam blok-blok terpisah itu tidak memiliki halaman, pintu langsung berada di pinggir jalan. Blok-blok tersebut dihubungkan oleh jalan-jalan kecil yang saat ini dilapisi paving blok. Sungguh sebuah kawasan yang memanjakan para pecinta bangunan tua.
Gereja Blenduk
Salah satu bangunan tua yang masih tegak dan tampak rapih adalah sebuah gereja Protestan yang lazim disebut Gereja Blenduk. Nama ini diberikan merunut pada bentuk kubahnya yang dalam bahasa Jawa disebut Blenduk (menggembung), sampai sekarang nama asli gereja ini tidak diketahui.
Menurut catatan, gereja ini dibangun pada abad ke-17 dan telah mengalami 3 kali renovasi, yaitu pada tahun 1753, 1894 dan terakhir tahun 2003. Setiap renovasi diabadikan lewat tulisan di atas batu marmer yang terpasang di bawah alter gereja. Renovasi-renovasi tersebut sama sekali tidak merubah ciri khas bangunan yang mengadopsi gaya arsitektur Eropa klasik yang anggun dan aristokrat.
Gereja Blenduk memiliki denah octagonal atau segi delapan beraturan dengan ruang induk di tengah, tepat di bawah kubah. Di bagian atas gereja, tepatnya di balkon masih terlihat organ (orgel) peninggalan jaman Belanda yang sudah berusia ratusan tahun. Sayang orgel ini sudah tidak bisa difungsikan lagi sebagai pengiring saat jemaah gereja bernyanyi.
Lawang Sewu.
Setelah puas berkeliling di kawasan Kota Lama, saya kemudian menyempatkan diri mengunjungi salah satu bangunan tua yang juga menjadi ikon kota Semarang. Namanya Lawang Sewu. Tidaklah sulit untuk mencapai lokasi gedung tua ini karena letaknya berdekatan dengan monumen Tugu Muda di salah satu sudut kota Semarang.
Bangunan monumental dan indah ini di desain mengikuti kaidah arsitektur morfologi bangunan sudut yaitu dengan menara kembar model gotik di sisi kanan dan kiri pintu gerbang utama ini dan bangunan gedung memanjang ke belakang yang mengesankan kokoh, besar dan indah. Gedung kuno ini menurut catatan sejarah dibangun pada tahun 1903, dan selesai atau diresmikan penggunaannya pada tanggal 1 Juli 1907.
Lawang Sewu adalah gedung megah bergaya art deco yang bercirikan ekslusif dan berkembang pada era 1850-1940 di benua Eropa. Bangunan ini salah satu karya dua arsitek Belanda ternama saat itu, yaitu: Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B.J Queendag. Awalnya digunakan sebagai kantor perusahaan kereta api Belanda atau dikenal dengan nama Nederlandsch Indishe Spoorweg Naatschappij atau dikenal NIS.
Oleh masyarakat setempat bangunan ini disebut Lawang Sewu yang berarti pintu seribu. Nama ini sebagai kiasan yang menunjukkan bahwa bangunan tersebut memiliki banyak pintu.
Tahun 1945 tepatnya tanggal 8 september, terjadi pertempuran hebat antara Angkatan Muda Kereta Api Indonesia yang berusaha merebut bangunan ini dari tangan Kempetai dan Kido Butai Jepang. Untuk mengenang jasa-jasa mereka yang gugur dalam pertempuran 5 hari tersebut, di depan Lawang Sewu dibangun sebuh tugu peringatan.
Dua tahun lalu saat saya berkunjung ke Lawang Sewu, oleh penjaga saya tidak diperbolehkan masuk sebelum mengantongi ijin khusus dari PT. Kereta Api, pihak yang sekarang menjadi pemilik gedung tersebut. Sebelum diambil alih oleh PT. KA, Lawang Sewu pernah dijadikan kantor KODAM Diponegoro dan Kanwil Perhubungan Jawa Tengah.
Hari itu saat saya berkunjung, Lawang Sewu telah dibuka untuk umum. Ini adalah salah satu bagian dari program pariwisata kota Semarang yang dikenal dengan Semarang Pesona Asia (SPA). Wisatawan yang datang cukup banyak, hanya dengan membayar Rp. 5000,- untuk biaya pemeliharaan dan perawatan gedung kami bisa masuk dan berkeliling dalam kawasan Lawang Sewu.
Lawang Sewu ini terdiri dari sebuah bangunan utama yang membentuk huruf U dengan taman terbuka di bagian dalam. Dari pintu utama kita langsung disambut sebuah tangga besar menuju lantai 2. Di bagian bordes tangga terpasang sebuah kaca grafir yang menutupi jendela dengan ukiran yang indah .
Memasuki gedung ini aroma mistis segera menyergap kita. Lorong-lorong gelap dan kusam tampak cukup menyeramkan. Saya teringat sebuah tayangan reality show bertema mistis beberapa tahun lalu yang ditayangkan oleh Trans TV. Waktu itu dalam segment uji nyali yang berlokasi di Lawang Sewu, kamera sempat menangkap penampakan sebuah bayangan putih yang dipercaya sebagai salah satu penunggu Lawang Sewu.
Banyak orang percaya kalau Lawang Sewu memang banyak dihuni oleh mahluk-mahluk halus dari berbagai jenis. Katanya beberapa waktu yang lalu pernah muncul wacana untuk mengubah Lawang Sewu menjadi sebuah hotel. Namun setelah pihak investor meminta bantuan paranormal untuk mengecek keberadaan para penghuni Lawang Sewu, niat tersebut dibatalkan karena sang paranormal sendiri kewalahan untuk membersihkannya.
Saya sedikit banyaknya mempercayai tentang keberadaan para mahluk halus penghuni Lawang Sewu tersebut karena aroma mistisnya memang sangat terasa.
Dan aroma mistis yang menegangkan makin terasa saat saya mengikuti tur ke penjara bawah tanah Lawang Sewu yang terletak di bagian belakang. Di ruang bawah tanah inilah penampakan yang direkam oleh kamera Trans TV itu berlokasi. Cukup dengan membayar tambahan Rp. 5000,- kita sudah bisa ikut turun ke penjara bawah tanah tersebut.
Penjara yang dimaksud berada di kedalaman kurang lebih 3 meter dari permukaan. Suasananya gelap gulita dan sumpek. Begitu masuk kami dibawa menelusuri lorong-lorong selebar 1,5 meter dengan ketinggian langit-langit yang tak lebih dari 2,5 meter dengan bantuan senter besar dari pemandu.
Pemandu yang menemani kami menunjukkan kamar-kamar di sebelah kanan dan kiri lorong yang dulunya dijadikan sebagai penjara atau tempat penyiksaan para pejuang kita baik oleh pihak Belanda maupun pihak Jepang.
Ruangan pertama yang ditunjukkan kepada kami adalah ruangan yang berisi bak-bak beton setinggi 1 m. Dalam bak-bak beton tersebut katanya para pejuang kita dipaksa untuk berjongkok dan direndam air sementara bagian atasnya ditutup jeruji besi. Ruangan ini bernama penjara jongkok. Saya bergidik membayangkan derita para tahanan yang disekap di situ.
Selanjutnya ada jejeran sekat batubata menyerupai lemari selebar 1 x 1 meter yang disebut penjara berdiri. Di sekat-sekat yang sempit tersebut dijejalkan 4 sampai 5 tahanan dan ditutup dengan jeruji besi. Katanya tahanan akan dibiarkan di dalam sana sampai mati lemas.
Tapi ruang yang paling menyeramkan adalah ruang eksekusi. Di dalam ruangan tersebut terdapat bekas meja baja yang ditanam ke lantai. Katanya di dalam ruangan itulah para tahanan dieksekusi dengan cara dipenggal. Saya hanya mengintip sejenak ke dalam dengan bantuan senter si pemandu, rasanya bulu kuduk saya merinding membayangkan proses eksekusi pada para pejuang kita itu.
Setelah mengitari lorong-lorong bawah tanah selama kurang lebih 15 menit kami kami akhirnya kembali ke atas. Rasanya lega sekali bisa menghirup udara di permukaan. Sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan sekaligus menegangkan.
Bangunan tua yang tetap terjaga
Sebagai pecinta bangunan-bangunan tua dan bersejarah, saya merasa sangat dimanjakan oleh Pemerintah Kota Semarang. Saya diam-diam mengangkat topi dan salut kepada komitmen Pemerintah Kota Semarang yang tetap bertahan menjaga bangunan-bangunan tua tersebut. Selain di kasawan Kota Lama, masih banyak lagi bangunan-bangunan tua yang tersebar di seluruh kota Semarang.
Walaupun tidak semua bangunan tersebut dirawat dan digunakan kembali, tapi setidak-tidaknya jejak sejarah bangsa kita masih sangat mudah ditemui di kota itu. Bangunan-bangunan tersebut mungkin beruntung karena berdiri di atas kota di mana pemerintahnya masih tetap menghargai keberadaan mereka. Saya bahkan sempat berpikir nakal, โ wah kalau di Makassar, pasti kawasan ini sudah lama dijadikan kawasan ruko atau malah Mall.
Secara tidak sadar saya memang membandingkan kepedulian Pemkot Semarang dalam merawat bangunan-bangunan tuanya dengan sikap Pemkot Makassar yang kadang semena-mena terhadap bangunan tua penuh nilai sejarah. Di Makassar, hanya ada segelintir bangunan tua yang tersisa. Itupun berada dalam area yang tersebar dan tidak membentuk suatu kawasan, sehingga kita akan sangat kesulitan untuk menemukan jejak sejarah kota Makassar.
Kebijakan Pemkot Semarang yang cukup peduli pada bangunan-bangunan tuanya dibuktikan dengan SK Walikota no. 650/50/1992 yang melindungi 102 bangunan tua termasuk Lawang Sewu. Selain itu tampak di berbagai jalan besar juga dipasang spanduk yang bertuliskan kata-kata, ” mari kita jaga dan lestarikan bangunan tua di Semarang “. Bangunan-bangunan tua tersebut terbukti berhasil menarik minat wisatawan lokal maupun internasional yang ujung-ujungnya tentu menambah pundi-pundi pendapatan daerah.
Saya membayangkan betapa senangnya para orang-orang Belanda yang sudah tua dan pernah tinggal atau bertugas di Semarang saat mereka bisa kembali dan bernostalgia di daerah yang pastinya menyimpan banyak kenangan buat mereka. Sangat berbeda dengan keadaan di kota Makassar.
Memang semuanya sudah terlambat bagi kota Makassar. Membangun kembali bangunan baru yang berarsitektur seperti bangunan tua tersebut bukan sebuah jalan keluar, karena sebenarnya yang paling penting adalah konsep kawasannya. Bagi saya dan mungkin juga anda, sekarang yang terpenting adalah jangan sampai semua peninggalan bersejarah itu dihilangkan dari kota Makassar. Apalagi untuk sebuah alasan komersil semata. Bukankah begitu ?.
foto-foto lainnya bisa dilihat di sini !
Hello webmaster…Man i love reading your blog, interesting posts ! it was a great Wednesday
nganu… kota Lama , bukan kota Tua ๐
kalo saya seh g percaya dengan kata paranormal, jaman gini percaya yg begituan.. piss ๐