Tukang Sapu dan Jaksa Agung Untuk Indonesia Hebat

Penyapu Jalan (sumber: tribunnews)
Penyapu Jalan (sumber: tribunnews)

“Biarpun keluarga saya yang melanggar hukum, saya tetap akan adili. Kalau saya tidak bisa berbuat adil untuk apa saya jadi jassa (jaksa).”

Kalimat itu dilontarkan Alm. Baharuddin Lopa dalam sebuah acara dengar pendapat dengan DPR RI sesaat setelah dia menerima amanah sebagai jaksa agung Republik Indonesia. Pria kelahiran 27 Agustus 1935 itu mengucapkan semua kalimat di atas dengan lantang dalam logat Sulawesi yang kental. Suara lantangnya kemudian dia teruskan dengan tindakan nyata yang tak kalah lantangnya. Beragam kasus lama yang sudah hampir dipeti-eskan mulai dia susun kembali, siap untuk diungkit dan dipecahkan satu persatu, utamanya kasus korupsi yang merugikan negara. Sayang, belum sempat dia melakukannya Baharuddin Lopa sudah terlebih dahulu ?dipanggil Yang Maha Kuasa. Tuhan rupanya lebih menyayanginya sehingga memanggil lelaki berdarah Mandar itu lebih cepat.

Sepanjang hidupnya, Baharuddin Lopa terkenal sebagai penegak hukum jujur, lurus, teguh memegang prinsip dan selalu sederhana. Sejak menjadi kepala kejaksaan tinggi di Sulawesi Selatan, kisah-kisah tentang kelurusan dan keteguhannya memegang prinsip menjadi semacam kisah legenda yang banyak dibicarakan orang. Almarhum selalu memegang teguh prinsip sebagai pejabat yang selalu berusaha tidak menggunakan fasilitas jabatan untuk kepentingan pribadi dan selalu menjaga amanah sebagai penegak hukum.

Sebagai jaksa (dan kelak jaksa agung) Almarhum tak pernah sekalipun memanfaatkan jabatannya, dia kukuh berjuang di jalan yang benar. Keteguhannya membuat para penjahat, utamanya mereka yang merampok uang rakyat gemetar dalam ketakutan mereka. Penjara seakan menjadi satu kepastian ketika Almarhum Baharuddin Lopa sudah mengendus kasus mereka.

*****

Saya lupa namanya, tapi semoga Tuhan selalu memberkati jiwanya. Saya hanya ingat lelaki itu salah satu penyapu jalan di kompleks perumahan tempat saya dulu bekerja. Tubuhnya kurus dan tinggi dengan kulit legam. Setiap pagi lelaki penyapu jalan itu sudah mulai bekerja sesaat setelah matahari mulai bangun. Suatu hari yang biasa seperti hari sebelumnya dia menemukan kantong kresek hitam di jalanan yang hendak disapunya. Tidak ada yang aneh sebenarnya karena toh sampah dalam kresek hitam memang biasa berceceran di jalan, kadang anjing liarlah yang menyeretnya dari tempat sampah.

Tapi hari itu berbeda. Kresek hitam yang ditemukannya bukan berisi sampah, tapi berlembar-lembar uang pecahan lima puluh ribu rupiah yang nilainya belasan juta, sama dengan gajinya selama belasan bulan. Bersama lembaran-lembaran rupiah itu ada selembar struk penarikan uang dari salah satu bank swasta. Dia kenal nama yang tertera di struk itu, sebagai penyapu jalan yang sudah menjalani tugasnya selama bertahun-tahun dia kenal banyak nama warga di perumahan itu, pun dia tahu alamat bapak yang namanya tertera di struk penarikan.

Si bapak penyapu jalan itu gamang, uang belasan juta rupiah bukan jumlah yang tiap hari bisa hadir di rumahnya. Dia butuh belasan bulan mengumpulkan gajinya sebelum bisa memegang uang sebanyak itu. Saya membayangkan tangannya gemetar hebat ketika melihat lembaran-lembaran rupiah di kantong kresek hitam itu.

“Ambillah, itu rejekimu!” beberapa temannya memberi dorongan, meyakinkan bapak si tukang sapu kalau uang itu rejekinya dan dia tidak berdosa kalau menikmati uang itu meski dia tahu siapa pemiliknya yang sebenarnya. Hari-hari berlalu, bapak penyapu jalan itu masih bimbang. Uang itu belum disentuhnya, masih utuh dalam tas kresek hitam yang terus mengundang kegelisahan selama berhari-hari. Dalam batinnya terjadi perang yang saya bayangkan sama dahsyatnya dengan perang bharatayudha.

Hingga akhirnya tiba hari ketika dia membulatkan tekad. Uang itu bukan miliknya! Dengan penuh keyakinan si bapak tukang sapu jalan mendatangi rumah pemilik uang itu, nama yang ada di struk penarikan dalam kresek hitam bersama lembaran rupiah belasan juta itu. Si bapak pemilik uang berterimakasih, rupanya uang itu jatuh tak sengaja dari motornya. Diapun sebenarnya sudah pasrah saja, nyaris tak mungkin ada orang yang akan mengembalikan uang belasan juta yang ditemukannya di jalan. Melihat seorang lelaki penyapu jalan hadir di rumahnya membawa kresek hitam berisi uangnya yang tercecer, si bapak pasti bahagia luar biasa.

Si bapak penyapu jalanpun bahagia, meski ucapan terima kasih yang diterimanya tak seberapa dan mengundang cibiran dari teman-temannya, tapi jauh dalam lubuk hatinya dia pasti bahagia. Dia bahagia bisa tetap teguh di jalan yang lurus, mengembalikan uang yang bukan haknya seberapapun besarnya.

*****

Almarhum Baharuddin Lopa dan lelaki penyapu jalan itu punya kesamaan. Mereka adalah orang yang teguh di jalan yang benar. Mereka tak tergoda harta yang bukan miliknya, mereka bertahan dalam kesederhanaan. Jauh dari harta yang bergemilang tapi hidup mereka penuh dengan jiwa yang kaya.

Bayangkan bagaimana hebatnya Indonesia kalau kita punya lebih banyak sosok penegak hukum dan pejabat bersih seperti Almarhum Baharuddin Lopa. Bayangkan bagaimana hebatnya Indonesia jika kita punya lebih banyak warga biasa yang lurus dan sederhana seperti bapak penyapu jalan yang saya kenal itu. Kita akan jarang mendengarkan berita tentang pejabat yang menyelewengkan amanah untuk kepentingan pribadi dan golongannya, semua pejabat sibuk dengan tugas mereka untuk berbuat bagi rakyatnya. Rakyatpun sibuk dengan hidup mereka yang lurus, tidak curang dan tidak pula culas. Kalaupun ada yang jahat dan berani menyelewengkan amanah, mereka tidak akan bertahan lama karena hukum yang bersih dan adil siap menyekap mereka.

Indonesia negeri yang besar dan hebat. Kita punya banyak kekayaan alam dan punya banyak orang-orang hebat. Sayangnya kita kadang lupa itu semua, kita sering tertipu oleh mereka yang tak amanah dan tak peduli cara terbaik untuk bekerja bagi bangsa dan rakyat. Kita butuh lebih banyak lagi penegak hukum yang adil dan pejabat sederhana nan lurus seperti Almarhum Baharuddin Lopa. Kitapun butuh lebih banyak rakyat berhati mulia yang teguh memegang prinsip seperti penyapu jalan yang saya kenal itu.

Selalu ada sinar terang di ujung jalan gelap yang panjang dari perjalanan negeri ini. Selalu ada orang-orang baik yang bisa kita percaya, selalu ada calon pemimpin yang bisa kita titipkan amanah bagi kebaikan negeri ini. Masih ada tukang sapu jalan dan jaksa agung hebat untuk Indonesia hebat. [dG]