Transisi
“ bila bekerja sesuai dengan hobi, maka rasanya bukan seperti bekerja “
Saya sudah lupa bagaimana tepatnya quote itu dan darimana pertama kali quote itu saya dengar. Yang jelas belakangan ini, quote itu terus terbayang di kepala. Rasanya makin iri pada para pemain sepakbola atau olahragawan lainnya yang bisa hidup makmur dari hasil menggeluti hobi mereka. Bekerja sesuai dengan hobi jelas membuat kita tidak pernah berasa sedang bekerja. Rasanya pasti sangat menyenangkan.
Sebulan belakangan ini saya sedang resah dan terganggu oleh situasi kerja di kantor. Sejak bulan lalu turun sebuah instruksi lisan yang menggeser deskripsi pekerjaan saya dari sebelumnya seorang CAD drafter menjadi pengawas lapangan. Saya harus meninggalkan ruangan sejuk dan nyaman dengan teman-teman yang rapih dan bertubuh wangi parfum itu dan mulai bergaul dengan debu, panas matahari, tanah becek dan para pekerja kasar yang tentu saja jauh dari bau wangi parfum.
Terus terang saya tidak begitu rela melakoninya.
Alasan utamanya bukan karena “ketidaknyamanan” itu. Meski selama ini saya selalu berada dalam cangkang yang nyaman dan sejuk plus wangi itu tapi saya juga tak pernah mengasingkan diri dari pergaulan dengan para pekerja kasar dan lingkungan mereka yang kasar. Saya menganggap mereka sebagai teman dan saya selalu menolak penghormatan berlebihan dari mereka setiap kali saya menyempatkan diri berjalan-jalan ke proyek. Dunia mereka sebenarnya tak jauh beda dengan dunia asli saya, hanya saja saya mungkin memang sedikit beruntung karena sehari-hari beraktifitas dalam lingkup ruang kerja yang jelas lebih nyaman dari lingkungan mereka.
Alasan keberatan saya sebenarnya lebih kepada alasan bahwa saya sudah sangat kehilangan passion pada dunia konstruksi. Dunia yang sudah saya geluti selama belasan tahun itu ternyata sudah tidak mampu menyentuh banyak saraf-saraf dalam jaringan otak saya, dunia itu juga sudah tidak mampu menggelitik rasa ingin tahu saya untuk kemudian belajar lebih banyak tentang dunia konstruksi. That’s it..saya sudah mentok sampai di sini.
Kira-kira sejak setahun yang lalu saya jatuh cinta pada dunia desain grafis dan kemudian jatuh cinta pada dunia menulis. Internet adalah mak comblang yang menghubungkan saya kedua dunia itu. Hari kehari saya makin jatuh cinta pada dua dunia itu.
Dalam setahun terakhir ini kinerja saya betul-betul menurun. Semua tugas-tugas gambar yang dibebankan ke saya pasti molor dari jadwal. Saya betul-betul tidak seperti dulu lagi, seorang drafter yang lincah dan sangat cekatan dalam menjalankan tugas, bahkan tugas dengan waktu yang paling mepet sekalipun.
Tapi, hal yang berlawanan terjadi bilamana saya mendapat tugas dari bagian promosi untuk mempersiapkan material-material promosi. Entah yang berupa brosur, leaflet, spanduk, ataupun banner. Semua bisa selesai sesuai jadwal. Tugas-tugas itu selalu saya terima dengan wajah sumringah dan senyum yang merekah. Sebuah tantangan baru yang betul-betul menggoda buat saya.
Atasan saya rupanya mengerti. Beberapa hari sebelum perintah lisan yang mengubah deskripsi pekerjaan saya turun, saya sempat diajak bicara empat mata. Di situ saya dengan gamblang mengutarakan keadaan saya saat ini. Passion yang hilang pada dunia konstruksi dan “gebetan” baru yang bikin saya jatuh cinta. Waktu itu atasan saya-seorang wanita yang sangat saya hormati-berjanji akan menampung uneg-uneg saya.
Dalam pembicaraan itu juga saya sebenarnya mengajukan wacana soal masa depan saya di kantor. Saya mengajukan usulan agar bisa dimutasikan ke bagian promosi yang notabene saat ini agak kurang terurus. Saya membayangkan di bagian tersebut saya bisa memuaskan hobi desain grafis sekaligus menulis saya. Atasan saya tidak memberi kata ya atau tidak. Tapi saya sudah terlanjur berharap.
Sayangnya saat saya sedang menaruh harapan tinggi pada wacana yang saya gulirkan itu, saya harus menghadapi kenyataan bahwa saya harus ikut perintah lisan untuk jadi pengawas. Sebelumnya saya sudah menolak dua perintah lisan untuk bertugas di tempat yang berbeda.
Terus terang saya sangat kecewa. Kenyataan yang terjadi ternyata terbalik dengan harapan yang terlanjur membuncah. Saya harus kembali mengakrabi dunia konstruksi yang sebenarnya sudah sangat tidak menarik buat saya. Dan ini sangat mengganggu. Semangat saya turun nyaris sampai ke titik nol. Saya betul-betul jadi tindak nyaman melewati hari demi hari. Bangun pagi tanpa sebuah rencana kerja yang rapih adalah sebuah siksaan bagi saya. Semua jadi aktifitas yang jadi rutinitas membosankan.
Hal berat lainnya yang saya rasakan adalah kenyataan bahwa saya harus berpisah dengan internet. Tugas lapangan tentu saja tidak memungkinkan saya untuk bisa berlama-lama di depan komputer di ruangan yang sejuk itu untuk mengarungi dunia maya. Saya hanya punya waktu paling banyak dua jam yang dibagi ke dalam tiga kesempatan. Pagi hari sebelum ke lapangan, siang hari saat istirahat dan sore hari sebelum pulang. Selebihnya saya akan berada di tengah proyek yang kadang berdebu kadang basah dan becek.
Saya makin ogah-ogahan. Di proyek saya banyakan nongkrong. Sesuatu yang menurut saya sangat membuang-buang waktu, membuat saya jadi tidak produktif. Saya tidak pernah ikut terlibat dalam setiap diskusi tentang pekerjaan konstruksi yang sedang berlangsung. Diskusi yang sama sekali tidak menarik minat saya. Saya juga tidak pernah berniat untuk bertanya dan belajar lebih jauh dari para pengawas senior. Pokoknya semua saya jalani dengan ogah-ogahan.
Saya membayangkan, mungkin bila saya masih bujangan dan tidak punya tanggungan, maka saya pasti sudah membuat sebuah surat resign dan segera berlalu dari tempat ini. Sayangnya, saya sudah punya tanggungan. Saya juga punya banyak utang di bank. Selain itu ada satu alasan lagi kenapa saya tidak segera beranjak dari kantor ini. Sampai di sini saya merasa saya seorang pengecut. Tidak suka pada kerjaannya tapi tetap terima gajinya, bukannya keluar dan mencari kerjaan yang lain.
Saya sangat menderita secara batin. Idealisme saya berbenturan dengan kebutuhan hidup. Saya juga merasa tidak nyaman menggunakan fasilitas kantor dan memakan gaji dari kantor untuk sebuah pengabdian yang mungkin tak sampai setengah dari kemampuan saya. Saya tiba-tiba tidak punya gambaran yang jelas tentang masa depan saya di kantor ini.
Kira-kira seminggu yang lalu ada sebuah titik terang. Manager HRD yang juga merangkap manager pemasaran di kantor saya memberitahukan tentang sebuah rencana managemen untuk membenahi sektor promosi. Rencana ini tentu saja melibatkan saya sebagai salah satu orang yang selama ini rajin berkutat dengan kerjaan yang bersifat promosi. Bahkan beliau menggambarkan sebuah rencana yang bakal mengakomodasi kecintaan saya pada dunia desain grafis dan menulis. Sebuah rencana yang mampu membuat saya jadi berbunga-bunga dan bersemangat lagi.
Sayangnya sejak minggu lalu beliau cuti umrah, dan rencana yang sedang disusun itu harus dipending untuk sementara waktu. Nampaknya saya harus menunggu lebih sabar untuk sebuah rencana yang jadi kenyataan. Di samping itu saya mencoba untuk tidak terlalu berharap, takut jatuh lebih keras nantinya.
Meski tetap tidak suka dengan pekerjaan yang sekarang, namun saya masih mencoba untuk menjalaninya dengan tanggung jawab, meski tak bisa sepenuh hati. Saya berusaha menganggap masa ini sebagai masa transisi. Masa sebelum saya betul-betul menemukan pekerjaan sesuai hobi saya. Dan kalau memang tidak bisa seperti itu, maka saya nampaknya harus bersiap dengan PLAN B. Sebuah rencana yang lebih jelas untuk masa depan saya.
Ah, entahlah…mohon doanya saja teman-teman. Apapun nanti keputusannya, semoga jadi yang terbaik untuk saya dan keluarga…Aminn..
sabarki daeng
rencana Allah jauh lebih bagus…
be patient, jadikan sabar dan shalat sbg penolong mu..
ada petuah bijak seperti ini;
tidak semua apa yang saya cintai selalu bisa saya bisa dapatkan,
karenanya saya selalu mencintai apa yang bisa saya peroleh
Ah, ternyata demikianlah rupanya mengapa dirimu agak jarang cuap-cuap di tempat mangkal maya kita
…
Tetap semangat my friend
Semoga semuanya segera indah kembali
Amin
wah…panjang juga ya..????
totally agree… enjoy your work….
I wonder why…
Pul, sy sangat tersentuh dengan tulisanta ini. Sedihku gang. Di Banda Aceh yang jauh ini, sy juga mengalami hal yg sama denganta, sungguh. Memang tdk sespesifik dirimu tapi beban psikologinya, hampir sama. Bertahanlah seperti sedang memasang “pa’laca balla kayu”
Banyak pertimbangan memang yg mesti diperhatikan, banyak, banyak sekali.
Be strong and may Allah SWT bless you, gang!
tetap SEMANGAT pak 🙂
sebuah pelajaran juga buat saya nantinya.
daeng, terima kasih sudah membagikan pengalaman dan keluh kesahnya.
😀
salam.
jalan-jalan ki’itue di blog baruku kodong.