Spirit of 90’s

Guns N’ Roses, salah satu simbol spirit of 90’s

Malam ini adalah malam terakhir di rangkaian libur panjang kami. Setelah 6 hari lepas dari rutinitas kantor, besok kami harus kembali menerjang hujan dan menjemput tumpukan tugas di kantor. Tanpa direncanakan sebelumnya, malam ini saya dan Ofie memutar kembali memori ke tahun 90-an. Kami menghadirkan potongan-potongan musik-musik tahun 90-an yang pernah begitu lekat dalam keseharian masa remaja kami.

Kesempatan pertama kami menonton kembali rekaman Nirvana, Unplugged in New York. Penampilan Kurt Cobain, Krist Novoselic dan Dave Grohl dalam sebuah pertunjukan akustik untuk MTV Unplugged. Sebuah penampilan yang sudah berumur kira-kira 14 tahun. Tayangan ini menggiring kami ke masa-masa semasih berseragam putih abu-abu. Saya masih ingat dengan baik betapa waktu itu saya begitu terkesima dengan penampilan Kurt yang sangat “gembel”. Saya dan teman-teman sesama fans Nirvana begitu bangganya bila mampu tampil selayaknya gembel dan tak terurus. Spirit kebebasan dan anti kemapanan, itu yang kami dengungkan waktu itu. Senyum simpul tersungging di bibir kami saat mengenang masa-masa itu.

Kurt adalah simbol sempurna untuk sebuah perlawanan. Dia tampil sebagai hero bagi kami-kami yang merasa sebagai pemberontak, menggantikan sosok-sosok pendahulunya seperti Axl Rose dari band Gun’s N Roses.

Bicara soal Gun’s N Roses, berikutnya setelah puas dengan Nirvana, kami kemudian memutar rekaman konser GNR di Jepang. Aliran memori ke tahun 90-an terasa makin deras. Ofie dan saya kebetulan pernah sangat menggemari band asal Los Angeles ini. Gaya Axl yang lincah dengan goyangan khas dan teriakan mautnya sangat membius kami waktu itu. Tak terasa, mulut kami masih mampu melafalkan bait-bait dari setiap lagu yang dibawakan GN’R. Masa belasan tahun ternyata masih sangat membekas di kepala.

Masa 90-an adalah masa keemasan bagi kami. Masa-masa remaja saat kami masih mencari identitas diri. Menjadi fans band-band seperti GN’R, Nirvana, Metallica, dll. adalah sebuah kebanggan tersendiri. Kalau memakai istilah saat ini mungkin bisa dibilang “anak gaul”. Bukan hanya lagu dan video saja yang kami kejar, penampilanpun akan selalu kami usahakan untuk sebisa mungkin menyamai idola-idola kami. Ah..saat ini kami mungkin hanya bisa tergeli-geli membayangkannya.

Bring back the spirit of 90’s. Kata-kata ini sering sekali saya dengar di milis Pearl Jam Indonesia. mayoritas penghuni milis tersebut memang berasal dari generasi yang remaja di tahun 90-an. Dan layaknya manusia normal, masa-masa remaja selalu menjadi masa-masa yang indah untuk dikenang. Salah satu yang kemudian memaksa kami penghuni milis untuk selalu mengenang kejayaan tahun 90-an adalah kenyataan bahwa saat ini sangat sedikit band-band lokal maupun Internasional yang berbobot dan bisa kami nikmati.

Pendapat ini jelas sangat subyektif. Apa yang kami rasa tak berbobot hari ini jelas akan langsung dibantah oleh barisan remaja atau orang-orang yang menggemari musik-musik yang terbit hari ini. Musik memang sangat tergantung dari selera pendengarnya, dan selera manusia-untungnya-tidak selalu sama satu dan lainnya.

Saya sangat sering mengeryitkan dahi menyaksikan begitu banyaknya band-band atau musisi-musisi baru yang hadir pasca milenium baru ini. Globalisasi dan berbagai kemajuan teknologi rupanya membuka pintu yang sangat lebar untuk anak manusia yang ingin mencoba peruntungannya di dunia musik. Simaklah berapa banyak band yang melemparkan singel-singel baru ke pasar musik kita, dan sekarang simaklah berapa lama mereka mampu bertahan setelah melempar satu-dua album.

Hari ini produser memang sepertinya makin pandai untuk melihat celah di pasar musik negeri kita. Lewat analisa yang tajam mereka bisa menentukan jenis musik apa atau syair musik apa yang bisa meledak di pasar dan bisa dengan cepat mengembalikan modal serta membawa keuntungan finansial bagi mereka. Tak peduli cara ini dilakukan dengan sangat instant sekalipun.

Mungkin hal ini juga berkaitan dengan pergerakan ekonomi sosial negeri kita secara menyeluruh. Setelah deretan musibah yang menimpa negeri kita (dan masih berlanjut hingga hari ini), rakyat butuh sesuatu yang bisa mereka jadikan pelarian dari segala macam kesusahan. Musik yang ringan dengan syair yang gampang dicerna kemudian menjadi salah satu pilihan. Maka tumbuh suburlah musisi-musisi dan penyanyi-penyanyi yang kalau secara kasar bisa dibilang “musisi tiga jurus”, baru menguasai 3 kunci sudah berani bikin album. Musik yang perlu pemikiran lebih lanjut untuk kemudian bisa dinikmati tentunya tidak menjadi pilihan yang populer, alih-alih meringankan beban pikiran, musik jenis ini malah menambah beban pikiran.

Tak ada yang salah dalam kasus ini. Produsen adalah hakim yang paling menetukan dalam menilai laku tidaknya sebuah hasil karya musik. Tak peduli musik tersebut berkualitas atau tidak bagi sebagian orang, yang penting enak didengar dan langsung singgah di kuping, toh akhirnya akan laku juga. Soal berapa lama sang musisi akan bertahan, itu masalah lain.

Saya teringat pada band-band produk tahun 90-an. Sebagian besar adalah band-band yang sudah punya akar yang panjang dan dalam dengan deretan personil yang punya kapasitas lebih. Dewa 19, Slank, Gigi, dan terakhir Padi adalah sebagian dari deretan band-band yang besar dengan cara merangkak. Mereka juga melemparkan kemasan musik yang dibalut idealisme dan buktinya mereka masih bisa eksis hingga hari ini. Walaupun sayangnya idealisme sebagian dari mereka sudah mulai luntur dan mulai akrab dengan komersialisme (anda yang hapal musik mereka di tahun 90-an mungkin paham band-band apa yang saya maksudkan).

Menikmati Dewa19 era Wong Aksan sebagai drummer menurut saya adalah sebuah kenikmatan tertinggi dalam mencerna lagu-lagu band asal Surabaya ini. Di album Pandawa Lima, ada gabungan yang sangat sempurna antara romantisme, sentuhan musikalitas yang berbobot dan kecanggihan teknologi. Album ini sempat menjadi “album suci” untuk saya di masa-masa itu.

Sayangnya, Dewa19 (atau lebih tepat disebut Ahmad Dhani’s Band) saat ini sudah mulai melunturkan idealisme bermusik mereka. Dhani terlalu dominan dalam band ini, dan dominasi Dhani kemudian membuat Dewa19 seakan-akan mengkopi habis musik-musik produksi Queen. Parahnya lagi, Dewa19 mulai larut dalam bahasa-bahasa ciklit. Sayang sekali..

Untuk Slank, saya sangat terpesona pada album kedua mereka “Kampungan”. Nada pemberontakan yang slenge’an sangat kental pada album tersebut. Sangat mewakili jiwa pemberontak kami waktu itu. Khusus untuk Padi, saya butuh waktu lama untuk bisa menikmati suguhan-suguhan musiknya. Musik Padi memang tidak semuanya easy listening, dan saya mensyukurinya. Karena suguhan musik seperti inilah yang sebenarnya bisa membuat mereka abadi. Syukurlah bahwa Padi masih memegang teguh idealisme mereka.

Untuk band-band yang hadir di masa ini, saya belum bisa mengangkat jempol kepada salah satu dari mereka. Saya menyukai beberapa nomor dari Letto yang menurut saya punya syair yang lumayan dalam. Sayangnya band ini tidak punya kharisma yang cukup di atas panggung. Hal yang sama juga saya rasakan pada karya-karya milik Nidji dan Ungu. Satu dua kali mendengar karya mereka mungkin memang cukup mengasyikkan, tapi setelah itu rasa bosan langsung menyergap saya dan otomatis membuat saya harus menata ulang playlist di Winamp.

Seorang junior di kantor cukup intens mengikuti perkembangan musik tanah air. Dari dia pula saya bisa tahu beberapa band-band baru semacam Kangen Band, ST-12, Repvblik dan Vagetoz. Well, jujur..saya tidak bisa menikmati musik mereka. entahlah, saya tidak terlalu mengerti masalah teknis musik, tapi saya langsung bisa bilang kalau musik mereka sangat ringan-mungkin terlalu renyah-dan segera membuat saya eneg. Jadi maaf saja kalau kemudian saya tidak pernah memasukkan musik-musik mereka ke dalam playlist saya.

Saya pikir ini adalah hak saya dalam menentukan pilihan suka atau tidak suka pada sesuatu, tapi saya juga tentunya tidak bisa memaksa orang lain untuk mengikuti jalan pikiran saya. Saya mungkin hanyalah generasi early 30 yang terjebak di tahun 90-an dan kemudian begitu mengagungkan musik-musik tahun 90-an dan sebelumnya. Saya mungkin terlalu pongah untuk sekedar mengakui hasil karya remaja sesudah masa saya. Yah, jarum jam saya memang sudah berhenti di tahun 90-an, hanya bergerak sedikit setelah masa itu. Tapi saya juga tetap menghormati mereka-mereka yang larut dalam musik-musik tahun 2000-an ini. Karena semua orang bebas menentukan pilihan mereka.

Ah, I really want to bring back the spirit of 90’s.