Sedikit berbagi kepada sesama

sa400391.JPG

“ kalian-kalian inilah orang-orang yang lebih memperhatikan kami, bukan pemerintah…”

Kata-kata itu keluar dari mulut seorang warga ORW VII, kec. Mariso yang kami jumpai pada acara pemberian bantuan berupa paket sembako yang diadakan oleh komunitas Blogger Makassar pada hari Minggu (30/3) kemarin.

Sebagai sebuah komunitas yang tergolong aktif di dunia maya, Blogger Makassar yang tergabung dalam AngingMammiri.org tak mau hanya terhenti pada kegiatan-kegiatan online saja. Berbekal sedikit kepedulian pada sesama, anggota komunitas yang rata-rata berusia muda kemudian mencoba mengambil inisiatif untuk berbagi kepada sesama.

Jenis kegiatan yang dipilih kali ini adalah bersih-bersih kampung yang kemudian dilanjutkan dengan pembagian paket sembako. Kegiatan ini bernaung di bawah gaung kampanye anti kelaparan dan gizi buruk.

Dan sasaran yang dituju adalah sebuah kampung nelayan di daerah kecamatan Mariso, yang berada tak jauh dari pantai Losari; pantai yang jadi landmark kota Makassar.

Kehidupan warga nelayan tersebut memang bisa membuat miris. Gantungan hidup sebagian besar warga di sana adalah mencari ikan di laut, selebihnya berdagang dan menjadi tukang becak. Teknik melaut yang a la kadarnya ditambah situasi ekonomi yang tidak menentu membuat mata pencaharian sebagai nelayan tak kunjung memberikan banyak harapan.

Menurut penuturan seorang warga, pekerjaan sebagai nelayan sangat tergantung pada cuaca. Bila cuaca buruk maka para nelayan tak akan punya keberanian untuk mencicipi laut dan mendulang rejeki disana. Keadaan makin bertambah buruk semenjak pemerintah kota mulai menjamah daerah mereka. Pembangunan jalan Metro Tanjung Bunga dan berbagai fasilitas mewah tak jauh dari kampung mereka membuat kampung-kampung yang sebelumnya sudah cukup kumuh jadi makin tersudut. Jalur untuk melautpun jadi makin susut akibat terpotong timbunan tanah yang membentuk jalan raya Metro Tanjung Bunga selebar kurang lebih 30 meter.

Di musim paceklik, saat para lelaki tak cukup berani turun ke laut, maka gantungan hidup mereka beralih pada sang istri. Banyak di antara para istri-istri itu yang kemudian mencoba peruntungan sebagai tukang cuci, atau berdagang. Berdagang yang dimaksud di sini tentu saja bukan berdagang dalam skala besar. Yang penting hasilnya cukup buat makan hari itu, demikian kata mereka.

Keadaan menjadi semakin berat ketika harga-harga bahan pokok merangkak naik. Semakin hari kehidupan mereka tentu semakin terjepit. Harga bahan pokok yang terasa seperti berlomba dan berkejaran dengan harga bahan bakar berubah menjadi tangan besar yang mencekik leher-leher mereka.

Para warga tersebut tentu menaruh harapan yang sangat besar pada pemerintah dan wakil rakyat sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kelanjutan hidup mereka. Tapi menurut seorang warga, selama ini hampir tidak ada sumbangan yang nyata dari pemerintah maupun wakil rakyat. Yang ada hanya janji-janji berupa bantuan modal atau bantuan perahu dan bahan bakarnya. Mereka tentu tak bisa hidup hanya dengan janji.

Mungkin kekecawaan jugalah yang kemudian membuat ibu Minne sampai mengeluarkan kata-kata seperti yang tertulis di paragrap pertama di atas. Beliau menganggap beberapa warga termasuk beberapa LSM lebih perhatian pada nasib mereka dibandingkan para pejabat dan wakil rakyat yang ironisnya dulu mengemis-ngemis meminta bantuan suara pada mereka.

Keadaan kampung yang kami datangi memang boleh dibilang cukup memprihatinkan. Rata-rata terdiri dari deretan rumah sederhana semi permanen dengan dinding dari seng atau tripleks. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya sangat rapat. Sanitasi jauh dari kesan nyaman. Air got yang mampet dengan warna yang kehitaman tentu menjadi sarang yang sangat nyaman buat berbagai hewan penyebar penyakit. Dan dalam keadaan seperti itulah, ribuan kepala keluarga hidup sehari-harinya.

Bila membuka mata, maka kita akan segera mendapatkan sebuah ironi yang luar bisa besarnya pada kehidupan sederhana kampung nelayan ini. Tak jauh dari tempat mereka hidup dan terhimpit kemiskinan, tumbuh sebuah bangunan besar nan megah bernama Celebes Convention Centre, kemudian sekarang ini sedang dibangun dengan dana miliaran rupiah sebuah pusat rekreasi keluarga setara Disneyland, sebuah mall besar dalam lingkungan sebuah perumahan mewah juga berada tak begitu jauh dari kampung sederhana tersebut. Sungguh sebuah ironi.

Ironi makin terasa bila mengingat bahwa beberapa ratus meter dari situ terdapat rumah jabatan Walikota dan rumah pribadi wakil presiden Jusuf Kalla.

Dengan bahasanya yang sederhana, beberapa warga mengungkapkan kekecewaan mereka pada pemimpin yang sekarang termasuk walikota yang sekarang sedang gencar-gencarnya pasang kuda-kuda untuk kembali duduk nyaman di kursi yang sudah dikuasainya selama 5 tahun. Warga menganggap, Walikota hanya berpihak pada orang-orang “besar” dengan hanya lebih menggalakkan pembangunan Mall-mall dan fasilitas publik skala besar lainnya sementara kehidupan para warga seperti mereka tetap terpinggirkan.

Apa yang dilakukan oleh teman-teman dari blogger Makassar:AngingMammiri.org mungkin hanya sebuah tindakan kecil, mungkin hanya bagaikan setetes air di padang pasir kesengsaraan mereka. Paket sembako yang dibagikan mungkin hanya cukup untuk menyambung hidup selama 3 hari, namun setidak-tidaknya anak-anak AngingMammiri telah mencoba untuk berbuat sesuatu, menunjukkan kepedulian kepada mereka yang kurang beruntung.

“ kalau ada rejeki lebih, jangan lupa untuk kembali berbagi kepada kami, ya..?”, demikian harapan mereka saat anak-anak berpamitan. Sebuah harapan sederhana yang mungkin berhulu pada kekecewaan mereka pada orang-orang yang berkuasa yang mereka anggap tak pernah lagi memperhatikan mereka.

Yah, semoga langkah ini bukan langkah terakhir yang dilakukan oleh komunitas blogger Makassar;AngingMammiri.org. Semoga setelah ini akan adalagi program-program lainnya yang mungkin bisa lebih meringankan beban mereka.

Saya teringat pada sebuah kata-kata bijak : manusia menjadi kaya dari apa yang mereka miliki, tapi manusia menjadi bahagia dari apa yang mereka berikan..