Sampan Dan Para Pelaut Tangguh
Foto Sampan karya Arfah Aksa di Dji Sam Soe Mahakarya Indonesia merekam dua hal, pantai yang indah dan sampan kecil karya tangan orang Indonesia.
Matahari perlahan merekah dari sebelah timur. Semburat warna kemerahan seperti bara api yang dilempar ke angkasa, menyeruak di belakang awan. Ombak tenang, angin seperti malas bertiup. Pagi itu dari tepi pantai Kaluku, Bulukumba kami menikmati detik demi detik bangunnya sang surya hingga sinarnya benar-benar membuat kami bisa menikmati indahnya pantai Kaluku di pagi yang cerah itu.
Tak jauh dari pantai, sebuah kapal kayu teronggok malas di atas pasir. Besarnya sungguh luar biasa, lebarnya 50 meter dengan panjang 120 meter. Dari pantai, kapal itu mungkin setinggi lebih dari 30 meter. Benar-benar besar, kokoh dan gagah. Sekujur tubuhnya masih terdiri dari kayu yang belum dicat, warnanya masih asli.
Seorang lelaki bernama pak Rajab mengijinkan kami naik ke atas kapal kayu yang ternyata bernama Lamima, pesanan seorang warga Australia. Setiba di atas, kesan kalau kapal ini sungguh besar makin terasa. Besarnya bukan hanya pada bentuk, tapi juga pada biaya untuk membuatnya.
“Enam setengah milyar.”Kata pak Rajab ketika kami menanyakan harga kapal ini. Glek! Saya menelan ludah mendengar angka luar biasa itu.
Bulukumba adalah tanah para perajin perahu, butta panrita lopi. Sejak jaman dahulu, orang-orang dari kabupaten di ujung selatan pulau Sulawesi ini terkenal sebagai para punggawa, pembuat perahu terbaik. Mungkin terbaik di negeri ini. Mereka yang membuat kapal phinisi, kapal tradisional suku Bugis Makassar yang melengkapi kisah mereka sebagai penjelajah samudera sejak jaman dahulu.
Adalah Sawerigading dalam legenda I Lagaligo yang dianggap sebagai penemu perahu phinisi. Pada abad ke 14, putra mahkota kerajaan Luwu ini membuat perahu besar yang dipakainya menyeberang lautan hingga ke tanah Tiongkok menjemput pujaan hati, We Cudai. Ketika kembali ke tanah kelahirannya di Luwu, kapalnya terkena gelombang dan pecah menjadi tiga bagian. Ketiga pecahan kapal itu jatuh di tiga desa: Tanah Ara, Lemo dan Bira. Konon itulah sebabnya ketiga daerah tersebut dikenal sebagai tanah asal para pembuat perahu.
Sejak abad ke 15, kapal-kapal phinisi buatan tangan orang Bulukumba sudah menjelajah jauh ke negeri yang tak pernah ditemukan sebelumnya. Di selatan para pelaut tangguh itu menemukan Australia, di sebelah barat mereka menyentuh tanah Afrika. Dalam berlayar, orang-orang Bugis-Makassar memang tak kenal menyerah. “Kualleangi tallanga na toalia.” Kata orang Makassar, dalam bahasa Indonesia itu berarti: lebih baik tenggelam daripada kembali ke pantai. Mereka tak akan kembali sebelum tujuan mereka tercapai.
Di abad ke 17 pula, kerajaan Gowa-Makassar jadi kerajaan maritim terpenting di Indonesia. Oleh raja Gowa kesepuluh Tunipallangga Ri Ulaweng, Benteng Somba Opu pusat kerajaan Gowa dijadikan sebagai pusat perdagangan yang sangat ramai. Bangsa Portugis, Denmark, Spanyol, Inggris dan China bahkan membuka perwakilan dagang mereka di Somba Opu. Dapat dibayangkan betapa ramai dan sibuk pelabuhan utama kerajaan Gowa itu. Kapal-kapal besar dan sampan-sampan kecil sibuk berlalu lalang dengan muatan hasil bumi dan hasil kerajinan di dalam perutnya. Kejayaan yang kemudian surut oleh dominasi VOC beberapa puluh tahun kemudian.
Laut, Urat Nadi Orang Bugis Makassar.
Laut sudah jadi urat nadi orang Bugis Makassar selain deretan sawah, kebun dan gunung di punggungnya. Laut adalah halaman depan rumah mereka, tempat kehidupan ikut berputar dan mengalir dalam darah mereka. Dari tanah Bugis Makassar terlahir para perajin kapal dengan kemampuan mereka yang luar biasa. Di tanah Bugis Makassar juga lahir para pelaut dan pengembara yang berani menyeberang lautan luas mencari tanah baru penuh harapan.
Orang Bulukumba dengan jari-jari yang seperti jari-jari pesulap menyulap kayu-kayu terbaik dari banyak penjuru negeri menjadi sebuah kapal besar yang luar biasa. Para Punggawa (kepala tukang pembuat kapal) tak hanya menerima pesanan kapal dari juragan berdompet tebal di negeri ini, tapi sampai kepada para pecinta dunia laut dari negeri seberang. Meski jaman terus berputar dan modernisasi mulai menyentuh peradaban hingga yang paling jauh sekalipun, para punggawa itu tak pernah meninggalkan tradisi lokal yang sudah diturunkan sejak nenek moyang mereka jadi pembuat kapal berabad-abad yang lalu.
Laut sudah jadi urat nadi orang Bugis Makassar, bukan hanya mereka pelaut tangguh dan pembuat kapal besar itu tapi juga para nelayan yang hidup di pesisir pantai hingga ke pulau-pulau yang berserakan dari selatan di kabupaten Selayar hingga ke utara di atas Pare-Pare. Laut pula yang menghidupi sebagian besar warga di pesisir itu, menempa mereka sebagai menjadi nelayan yang hidup dari hasil melaut. Meja makan tanpa ikan adalah meja makan yang tak lengkap.
Sampan kecil di foto karya Arfah Aksa adalah satu gambaran kecil betapa negeri dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia ini adalah negeri yang punya banyak pantai indah. Pantai penghasil para pelaut tangguh dan para perajin kapal terbaik. Di negeri ini tercipta sampan kecil kendaraan para nelayan kecil hingga kapal besar seperti phinisi yang membawa para pelaut tangguh menyeberang lautan.
Negeri ini penuh dengan mahakarya yang lahir dari tangan-tangan anak negeri. Mahakarnya yang terpatri dalam Dji Sam Soe Mahakarya Indonesia, terpatri sebagai bagian panjang sejarah negeri indah ini. [dG]