Re Union

Momen lebaran biasanya dikaitkan dengan ritual mudik. Ritual di mana banyak orang berjuang untuk bisa kembali ke tanah yang pernah mereka akrabi. Bertemu dan berengkerama kembali dengan keluarga maupun teman-teman yang mungkin telah lama terpisah oleh jarak dan waktu. Nah, ritual mudik ini juga yang kemudian berhasil mempertemukan saya dengan 3 orang teman baik saya semasa masih berseragam abu-abu dulu.

Lebih dari 4 tahun sudah kami tak bersua. Bahkan ada yang sudah 12 tahun tak pernah kutemui lagi. Rentang waktu yang sedemikian lama itu tak lantas membuat kami saling melupakan. Deretan kenangan lama masih sanggup membuat kami tenggelam dalam obrolan berjam-jam.

Dulu, di sebuah sekolah menengah kejuruan bernama STM Pembangunan (kini SMK 5), tepatnya di jurusan bangunan gedung tempat di mana segerombolan anak-anak muda diperkenalkan dengan deretan pengetahuan tentang dunia konstruksi lahir sebuah geng sekolah. Hal yang wajar, dan pasti selalu terjadi di sekolah di mana saja di Indonesia.

Geng kami terdiri dari 12 anak muda dengan prestasi yang biasa-biasa saja namun dengan predikat nakal yang cukup melekat. Nama geng kami Ghoblock. Biasalah, sebuah geng lebih sering menggunakan nama-nama yang berkonotasi negatif yang diyakini lebih keren. Ghoblock adalah akronim dari Ghost On The Block, ini usulan dari saya yang saat itu masih dihinggapi euforia boy band New Kids On The Block meski belakangan geng kami lebih akrab dengan musik rock dan Grunge.

Untuk urusan prestasi, anggota geng kami hanya selalu berada di deretan papan tengah, bahkan 2 di antaranya adalah mantan kakak kelas kami yang terpaksa belajar bersama kami karena angkanya tak mencukupi untuk lanjut ke kelas berikutnya. Salah satu di antaranya malah terpaksa di-drop out karena terlalu betah bertahan di kelas yang sama untuk masa 3 tahun.

Untuk urusan kenakalan, mungkin geng kami juga masih berada di papan tengah agak ke atas. Meski rada badung, senang melanggar aturan dan hobi membuat guru kesal (bahkan menangis) namun kami boleh bangga karena kami bukan anak yang doyan menenggak minuman keras atau akrab dengan obat-obatan. Satu lagi, kami bukan geng yang gemar beradu fisik. Untuk ketiga urusan itu kami selalu berusaha menghindar.

Saya masih ingat, suatu hari sekolah kami sempat terlibat dalam bentrokan besar dengan sebuah SMA. Hampir semua kelas di sekolah kami mengirimkan “wakil”nya untuk menyerbu SMA itu dan geng kami didaulat untuk mewakili kelas III Bangunan Gedung. Di pangkalan mikrolet kami masih berakting seolah-olah kami bersemangat untuk ikut barisan laskar penyerang itu, namun begitu semua pasukan sudah berlalu dan berada di barisan depan kami memutar haluan. Mampir di rumah seorang anggota geng hingga sore. Bagi kami tawuran dan semacamnya hanyalah sebuah kegiatan yang buang-buang energi dan sama sekali tidak berguna.

Belasan tahun setelah meninggalkan bangku STM kami tak pernah berkumpul secara lengkap lagi. Sebagian dari kami sudah tersebar ke kota lain, sebagian lain yang masih berada di Makassar sudah terlalu sibuk dengan urusan masing-masing.

Saya beruntung karena tahun ini saya sempat bertemu dan berkumpul dengan tiga orang anggota se-geng. Lewat obrolan berjam-jam kami berbagi cerita dan kenangan masa lalu. Mencoba meresapi kembali masa-masa penuh kenangan tersebut. Selepas acara reuni saya masih saja dihinggapi keinginan mengorek kembali barisan-barisan kenangan bersama teman-teman se-geng itu.

Berikut kondisi terakhir geng kami :
1.    Saya sendiri. Sudah jadi bapak beranak dua dan masih tetap berperan sebagai sekrup dalam sebuah sistem besar bernama karir (meminjam istilah Hilman).
2.    Abdul Muis, akrab disapa Jhae. Dari dulu memang paling tajir di antara kami. Sekarang jadi pimpinan sebuah CV yang bergerak di dunia konstruksi dan jadi ayah dari dua orang anak.
3.    Muh.Rezki Sutrisno, akrab disapa Kiko. Ayah seorang anak, jadi pegawai dinas Pekerjaan Umum di Polmas-Sulbar. Sekarang sedang merampungkan studi S2-nya di UNDIP. Anak pemalas yang manja karena sangat disayang kedua orang tuanya yang juga cukup tajir.
4.    Mulyono Muhlis Mustari. Belum menikah, jomblo abadi (at least hingga saat ini), kerja di pusat penjualan motor Honda di Mamuju-Sulbar. Anak dari keluarga sederhana dengan orang tua yang sudah bercerai. Meski begitu Mul terkenal sebagai anak yang paling solider dan setia kawan.
5.    Syarifuddin, lebih akrab disapa Emal. Sama dengan Mul, dia juga jomblo abadi. Dari dulu memang tak pernah kedengaran punya kaitan dengan mahluk berjenis wanita. Setelah lama bekerja di desainer interior dan pembuat furniture sekarang “pulang kampung” mengikuti jejak bapaknya jadi pengusaha daging potong.
6.    Hendra Syam. Anak paling urakan, cuek dan selalu menikmati hidup apa adanya. Sekarang punya studio musik yang dikelolanya sendiri. Hidup sebagai seorang bohemian, tak mau terikat apalagi dengan yang namanya perkawinan.
7.    Irwan Tajuddin. Freelance arsitek, meski berwajah pas-pasan (setidaknya bila dibandingkan dengan Bertrand Antolin) namun dari dulu terkenal sebagai playboy kelas wahid. Belum berpikir untuk menikah karena masih menikmati peran sebagai playboy, bahkan sekarang katanya sedang hobi berburu ABG.
8.    Khairil. Lebih sering disapa Heri. Belum menikah juga dan sekarang sudah jadi seorang kontraktor di sebuah daerah di pulau Papua. Selepas dari STM dia sempat menempuh hidup di jalan gelap dengan menjadi pengedar narkoba-buah pergaulan dengan teman kuliahnya.
9.    Amri Hamid. Cowok ini punya tampang yang mirip dengan tampang saya, bahkan beberapa guru kesulitan membedakan kami. Sudah menikah namun belum punya momongan. Punya usaha percetakan melanjutkan jejak bapaknya dan masih aktif sebagai atlet bulutangkis.
10.    Ardi Tandi. Keturunan toraja yang sering jadi tokoh antagonis dalam geng kami. Kabar terakhirnya entah bagaimana, namun katanya sudah berada di Batam ikut bapaknya.
11.    Dahlan Subari atau sering dipanggil Udi. Punya anak 3 (kabar terakhir), pernah jadi anggota KAMRA (Keamanan Rakyat) dan sekarang jadi pemborong bangunan.
12.    Emanuel Nong Yanto, atau akrabnya dipanggil Lhoey. Cowok Flores yang di-DO gara-gara kelamaan di kelas 3. Entah bagaimana kabar terakhirnya.

Itulah kami waktu itu, 12 orang anak muda berseragam abu-abu yang masih gamang mencari jati diri. Waktu telah begitu jauh menghempaskan kami, mempertemukan kami dengan berbagai jalan kehidupan yang berbeda-beda. Dan masa lalu hanya sebentuk lukisan indah yang akan selalu kami pandangi karena di dalamnya terekam banyak sekali jejak dengan aneka macam warna.

Entah kapan kami akan berkumpul kembali dan memutar ulang semua kenangan indah itu..