Pilpres dan Stempel Penghianat di Jidat
Jum ( 3/7) kemarin saya sempat berdebat dengan seorang teman di kantor. Sang teman sempat mengeluarkan statemen yang mengatakan kalau dia mengutuk orang Sulawesi Selatan yang mendukung pasangan SBY-Boediono.
“Dasarnya apa sampai kamu mengutuk mereka?” Tanya saya.
Teman saya menjelaskan kalau dia tidak bisa mengerti kenapa masih ada orang SulSel yang mau mendukung pasangan lain selain JK, apalagi sampai mendukung SBY-lawan berat JK di pilpres 2009 ini.
“Tapi, ini kan demokrasi..tidak ada paksaan dong untuk harus memilih salah satu calon hanya karena kesamaan asal daerah “, saya terus mendebat pernyataan teman saya itu, namun dia tetap bertahan dengan statemennya. Ujung-ujungnya diskusi kami siang itu tidak berakhir dengan sebuah konklusi.
Well, dalam pilpres 2009 ini saya begitu terbiasa dengan segala hal yang berbau sentimen kedaerahan seperti itu, maklumlah saya setiap hari beraktifitas di dalam ?sarang” pendukung JK. Walhasil segala hal yang berkaitan dengan pencalonan JK menjadi santapan sehari-hari saya, satu paket dengan segala sentimen kedaerahan yang melekat padanya.
Beberapa orang kemudian melekatkan cap penghianat di jidat orang-orang SulSel yang mempunyai pilihan berbeda, khususnya mereka yang memilih pasangan SBY-Boediono. Jadi, jangan tanyakan bagaimana reaksi mereka saat membaca berbagai pernyataan provokatif dari Mallarangeng bersaudara.
Bagi saya hal ini menggelikan. Dalam iklim demokrasi seperti ini masih saja ada orang terkesan memaksakan pilihan pada orang lain dan sontak melekatkan label penghianat begitu si orang lain memilih jalan yang berbeda. Dasarnya adalah sentimen kedaerahan. Banyak dari mereka yang berprinsip, kalau masih ada pilihan dari kampung sendiri, kenapa mesti memilih orang lain?
Prinsip ini yang belum bisa saya terima. Benarkah memilih seorang pemimpin hanya berdasarkan pada sentimen kedaerahan dan kemudian tidak menerima kalau ada orang sekampung yang memilih orang lain Cuma karena dia mungkin melihat sesuatu yang lebih dari calon yang lain? Rasanya koq naif sekali.
Bagi saya, memilih seorang pemimpin harus dilakukan dengan menggunakan rasio. Mempertimbangkan kapabilitas sang calon, programnya, kejujurannya serta kemampuannya. Faktor asal daerah adalah hal berikutnya, hal yang tak terlalu penting kalau menurut saya.
Tapi, itulah rakyat Indonesia. Sebagian besar pemilih kita memang masih merupakan pemiih emosional yang menjatuhkan pilihan berdasarkan pada pertimbangan yang bersifat emosional. Asal kedaerahan dan tampilan serta image yang tercipta adalah alasan dasar dalam menjatuhkan pilihan. Itulah kenapa ada salah satu calon yang mati-matian berjuang membangun imagenya dalam rangkaian kampanye pemilihan presiden 2009 ini. 5 tahun yang lalu, strategi ini berhasil dan sekarang hendak diulangnya lagi.
Bagi saya, di jaman demokrasi seperti ini setiap warga negara berhak menentukan pilihannya sendiri, entah karena faktor rasional ataupun faktor emosi. Perbedaan jangan sampai membuat kita merasa punya hak menempelkan cap penghianat atau mengutuk orang-orang yang berbeda dengan kita, apalagi hanya karena faktor sentimen kedaerahan. So..selamat memilih..ingat, pilihlah calon sesuai hati nurani anda. Tak ada seorangpun yang berhak dicap penghianat hanya karena berbeda pendapat.
setuju!
saya pemilih yang tidak mengindahkan kedaerahan sebagai salah satu faktor penentu jagoan saya.
tapi berdasarkan pada kapasitas yang dimiliki.
kira-kira taon berapa ya, warga Indonesia bisa memilih dengan demokratis 😀