Pendidikan dan Persepsi Kita

Suatu hari pikiran saya kembali ke masa-masa puluhan tahun yang lalu. Masa ketika saya masih seorang bocah ingusan, kurus dan dekil. Saya ingat bahwa sejak masa itu saya sudah mulai suka mencorat-coret di atas kertas, menggambar apa saja yang ada di kepala. Pada masa itu juga saya mulai suka menghayal, membangun cerita sendiri dalam kepala,menciptakan tokoh-tokoh khayalan sendiri dengan berbagai macam profesi dan kelebihannya. Sejak masa itu saya sudah menjadi seorang penghayal, kadang khayalan itu saya gariskan pada selembar kertas. Sudah tidak terhitung berapa banyak tokoh khayalan yang lahir dari kepala saya. Ada tokoh dari masa lalu, seorang pendekar semacam Brama Kumbara, ada pesepakbola, pun seorang superhero semacam Superman.

Khayalan saya dan coretan saya selalu bertambah. Tapi semua lenyap begitu saja tanpa pernah sempat dikembangkan atau didokumentasikan. Saya ingat kalau waktu itu orang tua saya tidak pernah membukakan jalan lapang untuk semua khayalan dan coretan saya hingga kemudian semua itu hanya tersimpan di kepala dan hanya berbentuk coretan yang tak pernah ada perkembangan.

Orang tua saya masih sangat kolot. Di kepala mereka hanya ada satu persepsi : anak pintar dan cerdas adalah anak yang punya nilai ilmu pasti yang tinggi. Karena itu mereka hanya bangga jika saya bisa menunjukkan hasil ulangan matematika yang nilainya lebih dari 8.? Saya tak pernah menunjukkan setiap coretan saya ke mereka, juga setiap kerangka cerita tentang khayalan saya meski mereka tahu kalau saya suka mencoret.

Selama bertahun-tahun mereka hanya ingin disenangkan dengan nilai di atas 8 untuk semua mata pelajaran ilmu pasti. Mereka juga tidak pernah tahu kalau saya sebenarnya sangat membenci pelajaran ilmu pasti. Saya bukan orang yang bisa menghapal dengan baik rumus-rumus matematika atau rumus fisika. Tak heran kalau setiap jam pelajaran ilmu pasti saya hanya lebih sibuk mencorat-coret di halaman belakang buku tulis saya.

Sekarang saya berpikir, apa jadinya bila dulu orang tua saya mengerti tentang passion saya ? Mungkin saja saya akan berakhir di sebuah sekolah yang mempelajari tentang desain komunikasi visual, atau sebuah sekolah yang mempelajari seni rupa. Mungkin sekarang saya akan jadi seorang desainer grafis, atau mungkin saja saya sudah jadi seorang komikus yang bisa menggabungkan khayalan dengan coretan di atas kertas.

Tapi sudahlah, saya tidak menyesali semuanya. Saya hanya akan membuatnya menjadi sebuah pelajaran penting di masa depan.

Harus kita akui, di jaman yang telah lewat persepsi orang tua tentang anak yang pintar, cerdas dan pandai hampir sama dengan persepsi orang tua saya. Anak-anak yang hanya pandai menggambar, mengarang dan bermusik bukanlah termasuk anak-anak yang bisa dibanggakan. Tak ada harapan muluk untuk anak-anak yang nilai ilmu pastinya pas-pasan. Bahkan sayapun yakin banyak anak-anak yang harus berhadapan dengan sebuah penolakan ketika mereka memilih untuk melanjutkan sekolah pada sekolah-sekolah yang mengajarkan tentang ilmu seni. Anak-anak seperti itu selalu berada selevel di bawah anak-anak yang berhasil belajar di sekolah-sekolah yang mengajarkan ilmu pasti. Sayangnya, waktu itu bukan hanya orang tua yang punya persepsi seperti itu. Banyak pula guru di sekolahan yang patuh pada persepsi yang sama.

Sekarang jaman sudah berubah. Satu persatu orang tua mulai menyadari kalau persepsi seperti itu tidak sepenuhnya benar. Banyak sudah orang tua yang mulai membuka mata bahwa nilai ilmu pasti bukanlah satu-satunya standar untuk anak-anak agar dapat dikatakan sebagai anak yang membanggakan. Banyak sudah orang tua membukakan jalan yang lapang kepada anak-anaknya untuk memilih jalannya sendiri meski jalan itu tidak berarti harus berurusan dengan ilmu pasti.

Tapi pendidikan kita belum sepenuhnya bersih dari persepsi seperti itu. Para siswa yang bergelut dengan ilmu pasti, apalagi berpredikat juara masih dianggap penghuni kasta yang lebih tinggi dari mereka yang hanya jago di bidang lain lain. Para siswa yang berdarah seni, pandai mencorat-coret, pandai mengarang masih saja dianggap sebagai penghuni kasta yang lebih rendah. Masih ada persepsi yang tak benar di dunia pendidikan kita.

Semua kemudian kembali kepada orang tua sebagai pendidik paling utama bagi anak-anak. Sekaranglah waktunya memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak-anak untuk menjadi apa yang mereka inginkan tanpa harus kita cekokin dengan persepsi di kepala kita sendiri. Jadi, mari kita luruskan persepsi kita untuk pendidikan yang lebih baik bagi generasi mendatang.