Nobody is perfect

 

Dua minggu yang lalu saya sudah sempat menuliskan kesan-kesan yang tersimpan dalam kepala sehabis melahap 3 buku dari total 4 buku tetralogi “Laskar Pelangi”. Tak bisa saya pungkiri kalau buku ini termasuk buku inspiratif. Isinya sebenarnya sederhana, pesan-pesan yang disampaikan juga bukan hal-hal baru. Sudah banyak buku-buku yang sebenarnya membahas hal yang sama. Namun, bagaimanapun juga Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan Edensor punya kelebihan sendiri dalam hal bertutur.

Membaca tetralogi Laskar Pelangi saya tiba pada satu kesimpulan kalau karya Andrea Hirata ini bukanlah hasil karya yang sempurna. Tetap ada kekurangan yang beberapa di antaranya cukup mengganggu untuk saya, bahkan sampai sekarang menimbulkan pertanyaan.

Berikut beberapa “cacat” yang bisa saya ingat :

1.       Dari buku “Laskar Pelangi” diceritakan kalau guru yang mengajar di SD/SMP Muhammadiyah Belitong hanya 2 orang, Ibu Muslimah dan pak Harfan. Namun, di halaman 75, Andrea sempat menyinggung nama guru lain, pak Fahimi yang katanya adalah guru kelas empat yang tak bermutu dan selalu menggertak murid. Agak aneh karena guru ini tak pernah disebut-sebut lagi di bab yang lain. Sepanjang 9 tahun berada di sekolah Muhammadiyah anggota Laskar Pelangi hanya diajar oleh ibu Muslimah dan sesekali oleh pak Harfan. Lalu, pak Fahimi itu sebenarnya siapa dan ke mana beliau selama 9 tahun itu ?.

2.   Masih dari buku Laskar Pelangi. Proses ditemukannya bakat seni luar biasa dari seorang Mahar agak di luar logika. Ceritanya ibu Muslimah dan anggota Laskar Pelangi baru menemukan kelebihan si Mahar setelah bertahun-tahun bersama. Logikanya, dalam sebuah kelas yang muridnya hanya 10 orang dengan ruang kelas sesempit itu, agak aneh rasanya bila mereka tak pernah sekalipun melihat Mahar memainkan ukulele atau sekedar mempertontonkan kemampuan seninya yang lain. Mengapa musti menunggu bertahun-tahun ?, bukankah Mahar juga tidak mungkin menguasai ukulele dalam waktu semalam..?.

3.      Di halaman 147,  Andrea menceritakan pengalaman anggota Laskar Pelangi bermain band membawa nama sekolah mereka. Pertanyaan saya, dari mana mereka mendapatkan alat-alat musik seperti keyboard, bas betot dan drum ?. Bukankah barang-barang tersebut termasuk barang mewah ?, apalagi untuk ukuran anak-anak miskin dari pedalaman Belitong tersebut.

4.      Sekarang berpindah ke buku “ Sang Pemimpi”. Di buku ini, tokoh Arai muncul. Kemunculannya berada di luar logika saya. Arai berkumpul bersama keluarga Ikal saat masih berumur 9 tahun, artinya dia masih SD waktu itu. Pertanyaan yang muncul di kepala saya adalah, waktu itu Arai bersekolah di mana ?. Sosok Arai sama sekali tidak disinggung di buku pertama, itu artinya dia tidak bersekolah di sana. Nah, mungkinkah Arai bersekolah di sekolah yang lain ?. Rasanya kok agak tidak mungkin ya..orang tua Ikal pastilah sangat “aneh” bila menyekolahkan anak kandungnya di sekolah Muhammadiyah yang miskin, ringkih walaupun gratis itu sementara ponakannya yang sudah diangkat anak disekolahkannya di sekolah negeri yang mungkin saja kondisinya lebih layak. Tidak masuk akal bukan ?. Saya tidak tahu apakah tokoh Arai memang ada atau hanya tokoh fiktif. Meskipun fiktif, mungkin akan lebih masuk akal bila ada sedikit penjelasan tentang masa-masa sekolah Arai dari SD hingga SMP.

5.      Di buku ketiga, Edensor saya mungkin tidak menemukan banyak kesalahan berarti. Setidak-tidaknya di Edensor hanya ada satu kesalahan yang saya sadari. Di halaman 97 Andrea menuliskan “ pujian bagi wanita tertentu, tak ubahnya bulu ketiak Benyamin Tarzan Kota, di situlah titik lemahnya”. Sepanjang pengetahuan saya, tokoh yang diperankan alm. Benyamin Sueb yang titik kelemahannya di ketiak bukan Tarzan Kota melainkan Samson Betawi. Mungkin Andrea salah ingat.

Yah pembaca sekalian..maksud saya menulis tentang cacat di buku Andrea Hirata ini sebenarnya bukanlah untuk mengorek-ngorek kesalahan orang lain, atau mencari-cari kelemahan orang lain kemudian mempertontonkannya di depan umum.

Sebagai seorang manusia yang sangat mengutamakan logika saya terus terang cukup terganggu dengan  beberapa hal di atas dan saya pikir saya perlu sebuah media untuk curhat.

Saya tidak tahu, apakah itu kelemahan saya atau bukan. Saya terlalu sering mempergunakan logika dalam menikmati sesuatu, kecuali tentang segala hal yang sudah digariskan dalam agama tentunya. Ini juga salah satu alasan saya hingga kurang senang menonton film horror, karena terkadang saya tak bisa menikmatinya. Logika saya selalu jalan hingga cerita yang seharusnya menyeramkan seringkali malah membuat saya berpikir keras tentang logika di belakang peristiwa tersebut.

Apapun itu, saya tetap mengacungkan jempol pada karya Andrea Hirata ini. Sebuah karya yang mungkin bisa dibilang fenomenal. Menggugah dan menginspirasi banyak orang. Memang tak ada yang sempurna di dunia ini, namun bagaimanapun juga kita harus tetap bisa mengambil esensi positif dari semua hal. Dan khusus untuk tetralogi ini, banyak hal positif yang bisa kita ambil.

Salam.