Mudik Yuk Mudik !!
Sebelum menikah saya belum pernah merasakan yang namanya mudik. Sebelum menikah, mudik bagi saya adalah berkendara selama kurang lebih 30 menit ke sebuah rumah berjarak kurang lebih 7 KM dari rumah yang saya tempati. Sama sekali tidak ada tantangannya.
Setelah menikah di tahun 2002, barulah saya merasakan yang namanya mudik. Karena keluarga mertua yang berada di Semarang, saya dan keluarga kecil sempat beberapa kali merasakan padatnya arus mudik dan arus balik, lengkap dengan perjuangannya mencari tiket.
Tahun 2006 adalah kali pertama saya merasakan arus mudik dan arus balik. Sebenarnya tidak direncanakan, tapi beberapa hari sebelum lebaran tiba-tiba ada promosi menarik dari Sriwijaya Air. Tiket ke Jakarta hanya seharga Rp. 250.000,- jadi dengan segera promo itu kami sambar, persoalan nanti di Jakarta mau naik apa ke Semarang, itu urusan belakangan.
Beruntung karena kami berhasil mendapatkan satu tiket duduk untuk kereta api Senja Utama dari Jakarta ke Semarang, asal Ofie dan Nadaa bisa duduk tak ada masalah walaupun saya harus melantai di lorong. Kesulitan baru datang ketika sepanjang perjalanan, Nadaa yang belum genap 2 tahun merasa tidak nyaman dan beberapa kali meronta. Sebagai informasi, Nadaa bayi adalah Nadaa yang keras kepala. Bukan urusan mudah untuk mengalihkan perhatiannya. Kami sempat kelimpungan juga ketika dia meronta dan menangis. Beruntung kami tiba di Semarang dengan selamat.
Setahun kemudian kami kembali mudik ke Semarang. Kali ini kami memilih moda transportasi yang lain, menggunakan kapal laut hingga Surabaya dan kemudian meneruskan perjalanan darat dengan bus menuju Semarang. Perjuangan di atas kapal laut yang padat dan dilanjutkan dengan bis malam yang kehabisan tempat duduk pernah saya posting pada tulisan saya 4 tahun lalu. Satu hal yang sangat saya syukuri waktu itu, Nadaa yang waktu itu belum genap 4 tahun sudah menunjukkan tanda-tanda sebagai seorang petualang. Di bis, dia bahkan dengan santainya tidur di lantai bis karena kami sudah tidak dapat kursi kosong. Sama sekali tidak merepotkan, walaupun tahu sendiri bagaimana padatnya kondisi mudik di Jawa.
Sebelum merasakannya sendiri, saya sudah sering melihat di tayangan televisi bagaimana padatnya arus mudik dan arus balik di pulau Jawa. Saya sudah sering melihat bagaimana para penumpang, utamanya di stasiun kereta atau di terminal bis saling berdesakan, bahkan kadang sampai kontak fisik hanya demi mendapat tempat yang nyaman di atas kendaraan.
Urusan mudik sedikit banyaknya hampir menjadi urusan hidup-mati. Bagi sebagian besar orang Indonesia, lebaran tidak syah bila tidak dirayakan bersama keluarga dekat di kota asal. Tidak heran kalau setiap tahun arus mudik selalu tinggi, dan pulau Jawa yang merupakan tempat hidupnya 60% orang Indonesia tentu saja menjadi pusat dari semua kegiatan mudik itu.
Bulan Ramadhan tinggal hitungan hari dan lebaran akan datang sebulan kemudian, tapi aroma mudik sudah mulai terasa. Di salah satu milis yang saya ikuti sudah ada thread khusus tentang mudik, tempat para anggotanya menumpahkan cerita, pengalaman atau berbagi informasi tentang mudik.
Salah satu moda transportasi yang paling diminati warga di Jawa adalah kereta api, dan meski lebaran masih sebulan lagi tapi ternyata tiketnya sudah mulai susah dicari. Harganyapun gila-gilaan, naik berkali-kali lipat dibanding harga normal. Bagi para pemudik, harga mungkin sudah tidak penting lagi, yang penting adalah ketersediaan tiket, dan itu yang kadang jadi masalah utama. Harga yang tinggi tapi tiket tersedia tentu bukan masalah, tapi kalau harga sudah tinggi tapi tiket tetap tidak tersedia ? Bikin pusing bukan ?
Dari berita tadi pagi di Trans7, diberitakan bagaimana beberapa pengantri tiket di stasiun Solo Balapan terlibat kericuhan dengan petugas keamanan stasiun karena penanganan tiket yang amburadul. Seorang bapak sudah mengantri dari malam hari dan mengaku dapat nomor antrian pertama, tapi karena penanganan yang buruk dia terlempar dari antrian dan akhirnya menemui kenyataan kalau tiket sudah habis. Tak kuat menahan emosi, si bapak mengamuk dan memaki-maki petugas.
Itu hanya gambaran kecil bagaimana beratnya perjuangan para pemudik di negeri kita. Sebelum memulai perjalananpun rintangan sudah menghadang, ketika waktunya tiba rintangan semakin menguji kekuatan fisik dan mental, belum termasuk intaian orang-orang jahat yang mencoba mengail di air keruh, memanfaatkan situasi padat untuk meraih keuntungan meski dengan cara yang sangat merugikan.
Mudik memang salah satu tradisi yang penuh warna di negeri kita. Semua perjuangan itu dilakoni demi satu tujuan, bertemu dan berkumpul dengan keluarga besar.
Tahun ini saya akan mudik lagi, tapi ke rumah ibu yang jaraknya sekitar 200 meter dari rumah saya. Bagaimana dengan anda ? Mudik ke mana tahun ini ?
saya seumur-umur belum pernah ngerasain mudik krn semua keluarga tinggal di Jakarta 🙂
Baca ini jadi kangen mudik. Terakhir mudik 2005. Lebaran 2006 tidak pulang, lebaran di ponorogo, kampung orang *eh itu mudik juga ya namanya?*. Dan 2007 kembalilah saya ke kampung sendiri *halah*