Mihrab yang dibangun asal-asalan
HABIBURRAHMAN EL-SHIRAZY, para penggemar novel di Indonesia tentu sudah sangat mengenal nama ini. Namanya menjadi cukup fenomena selepas kesuksesan novelnya “Ayat-ayat cinta” yang sudah terjual puluhan ribu kopi dan sudah dikembangkan menjadi sebuah film layar lebar dengan judul yang sama.
Saya sebenarnya cukup penasaran dengan novel ini, sampai sekarang saya belum sempat sekalipun membacanya, demikian juga dengan novel berikutnya yang juga tak kalah suksesnya, Di atas sajadah cinta.
Nah, hari Jum’at kemarin istri saya kebetulan dapat pinjaman sebuah novel karya Habiburrahman yang lain, judulnya “Dalam mihrab cinta”. Tadinya saya mengharapkan ekspresi takjub dari istri saya setelah membaca bab demi bab dari novel ini, namun ternyata ekpresi yang saya dapatkan berbeda. Istri saya tergeli-geli sendiri setelah menghabiskan beberapa lembar dari novel ini. Penasaran, saya pun ikut membacanya. Dan hasilnya, saya juga ikut-ikutan tergeli-geli. Sebuah kekompakan yang tidak disengaja.
“Dalam Mihrab Cinta” adalah sebuah novel berisi 3 novelet dengan cerita dan setting yang berbeda. Secara tampilan buku ini sangat menarik. Sampulnya hard cover dengan gambar masjid Putra Jaya, Malaysia di depannya. Namun sekali lagi pepatah “Doon’t judge a book by it’s cover” terbukti. Cover yang bagus dan mentereng ternyata tidak membuat isinya juga ikut mentereng.
Cerita pertama dari novel ini berjudul, “ Takbir Cinta Zahrana”, berkisah tentang kisah kehidupan seorang dosen (belakangan turun pangkat jadi guru) bernama Zahrana. Lulusan S1 teknik sipil UGM kemudian melanjutkan kuliah S2 di ITB dan berlabuh di sebuah perguruan tinggi swasta yang terkenal di kota Semarang. Secara fisik Zahrana digambarkan cukup mapan dengan karir yang mengkilap. Namun, hal yang selalu mengganjal beban pikirannya adalah karena di usianya yang sudah cukup dia belum juga bertemu jodoh seperti yang diharapkannya.
Ide ceritanya sebenarnya cukup unik, walaupun terus terang sangat “sinetron style”. Ceritanya bukan barang baru bagi anda yang sering menonton sinetron atau telenovela di televisi. Sampai di sini saya mengerti kenapa karya Habiburrahman bisa disadur menjadi sebuah sinetron di Trans TV beberapa waktu yang lalu.
Dengan cepat “Di Dalam Mihrab Cinta” jatuh dalam kemalasan untuk menggambarkan sebuah detail. Alur cerita yang sebenarnya unik tidak disertai dengan eksekusi dan detail yang mencukupi sehingga cerita pertama ini seakan-akan menjadi sangat-sangat lancar untuk ukuran sebuah cerita fiksi. Ibaratnya anda sedang mengendarai sebuah mobil Ferrari di atas sebuah jalan antar negara bagian di Amerika Serikat. Jalanannya sepi dan di kanan-kiri hanya ada padang Savana yang tandus. Dengan segera anda bisa memacu Ferrari anda dengan sampai limit tertingginya, namun beberapa menit kemudian anda akan mulai merasa bosan dengan pemandangan dan keadaan jalannya. Yah, lancar namun membosankan.
Membaca beberapa halaman pertama dari cerita ini kita sudah bisa langsung tahu endingnya. Sehingga kemudian halaman-halaman yang lain serasa sia-sia dan mubazir. Gaya bertuturnya juga sangat-sangat sederhana, mengingatkan saya pada karangan-karangan saya jaman masih SMP. Tidak ada letupan, dan datar sama sekali.
Sebenarnya ada beberapa bagian cerita yang bila diekskusi dengan baik akan mampu membuat kita larut, sayangnya itu tidak dilakukan. Sebaliknya ada beberapa bagian yang kemudian dijelaskan dengan cukup panjang lebar, padahal sebenarnya tidak perlu karena kemudian meninggalkan kesan sia-sia. Kesannya cerita ini terlalu meributkan hal remeh-temeh dan meninggalkan hal-hal yang sebenarnya lebih penting. Sayang sekali..
Cerita kedua, “Dalam Mihrab Cinta” dan cerita ketiga “Mahkota Cinta” pun sama parahnya. Kita akan langsung tahu jalan ceritanya seperti apa dan endingnya seperti apa. Saya rasa sang penulis memang mencintai pembacanya sehingga kemudian berusaha membuat para pembaca tak perlu bersusah payah untuk menebak-nebak akhir cerita.
Alur cerita masih sangat sinetron style, deskripsi dan metafora masih sangat kering. Unsur kejutan ?, hmmm….saya hanya terkejut karena ternyata saya bisa menahan tawa agar tidak meledak sampai selesai membaca novel ini. Sebenarnya tidak bisa dibilang selesai membaca karena saya sengaja melompat-lompat dari halaman yang satu ke halaman yang lain. Toh, endingnya sudah saya tebak (dan tebakan saya benar) dari awal, buat apa bersusah-susah membaca halaman demi halamannya, hanya membuang-buang waktu saja..
Sialnya, novel ini malah membuat saya makin penasaran untuk membaca “Ayat-ayat cinta” dan “Di atas sajadah cinta”. Saya berpikir kalau kedua novel yang laku keras dengan jumlah penjualan berpuluh-puluh ribu kopi itu ternyata dieksekusi dengan cara yang sama menyedihkannya dengan “Dalam mihrab cinta” maka pasti ada yang salah. Ciklit dan teenlit yang kadang dipandang sebelah matapun saya kira masih lebih sudi untuk bekerja lebih keras menggarap detail sebuah cerita.
Di saat yang bersamaan saya sedang membaca sebuah karya Pramoedya, “Bukan Pasar Malam” dan “Jalan raya pos, jalan Daendels” dan saya mengira-ngira kalau penilaian saya atas karya Habiburrahman ini terbit karena secara tidak sengaja saya membandingkannya dengan karya Pram. Salah saya memang, karena membandingkan karya kedua orang ini ibarat membandingkan sinetron karya Multivision Plus dengan film karya Garin Nugroho..sangat njomplang..
Ah, sayang sekali..untung buku “Dalam Mihrab Cinta” ini punya orang dan saya tidak perlu mengeluarkan sepeser rupiahpun untuk membacanya, sebab kalau tidak saya pasti akan menangisi rupiah saya yang terbuang sia-sia.
Satu lagi, kalau suatu hari nanti saya berhasil membuat novel maka saya berjanji akan mencantumkan nama Habiburrahman Al-Shirazy di bagian ucapan terima kasih. Novelis ini telah mengilhami saya kalau ternyata….. membuat novel itu gampang..!!!.
saya masih bernasib baik, tidak seperti Adink…:)
belum sempat baca Mihrab itu, dan malah berharap Adink sekali lagi menghadiahkan buku ‘jelek’ itu untukku…hahhaa
[minimal buat koleksi bacaan kala senggang]
betul skali.. buku yg ini jauh dari AAC.
Sy terpaksa menangisi rupiahku yg melayang di gramedia balikpapan (pula!)
hahaha… tambah menangis meka itue :p
Hahaha..Daeng Gassing, sungguh beruntunglah anda karena saya membeli novel itu gara2 tersihir setelah membaca “Ayat-Ayat Cinta” yang fenomenal.
Tapi menurut saya sih, “Ayat-Auyat Cinta” masih lebih mending dari “Dalam Mihrab Cinta” serta karya Kang Abik lainnya “Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2”.
hihihihihi… (hanya tertawa kecil)
yg dicerita daeng gassing slh satu hal yg memang menyebabkan sy tak suka membeli novel2 islami. seperti halnya sinetron2 raam punjabi,dkk. capek2 beli ‘n baca novelnya mending nonton sinetron ajah! 😀
tapi Ayat2 Cinta cukup bagus kok daeng, penggambaran detail tempat, budaya dan karakter2 tokohnya. gak tau nih, masa pilmnya diproduserin kluarga pencipta sinetron.huhuhu…pdhl sy cukup mempertimbangkan Hanum Bramantyo sbg sutradarnya.
mending baca dibawah lindungan ka’bah ajah! gmn? gmn?
*yg lg sk bc karya2 jadul 🙂
bukunya Habiburahman yang bagus cuma AAC aja kata aku sih.
Ipul aka daeng Gassing. Wah pindah rumah mi pale’na.
Novel “Ayat-Ayat Cinta”-nya saja belum saya pegang, apalagi saya baca? Ketinggalannku mo kodong. Senang sekali kalau ada yg mau kirimika’.
AAC emang novel buatan kang abik yang paling bagus saat ini,, tapi tunggu ajah lagi novel yang bakal keluar…
oh ya.. novel buatannya yang judulnya Ketika Cinta Bertasbih juga bagus,, tapi episode 2 nya jauh lebih bagus, coz episode yang pertama lebih banyak menceritakan “teman-teman” si tokoh utama…. nyampe gw ngomong dalem hati “mana nih azzam-nya (tokoh utama)”
untung saya belum baca, karena pernah baca sekilas, kok isinya mengada-ada, adik saya yang baru lulus sma juga menilai kalau karya yang satu ini kacau banget, belum lagi Ketika cinta bertasbih ke-2, juga mengada-ada banget isinya… sinetron abis
jangan pernah mengkritik orang jika anda sendiri belum bisa melakukan seperti orang tersebut..
saya pikir ANDA TERLALU SOMBONG akan diri anda..
SESUNGGUNHNYA ORANG YANG SOMBONG DI AKHIR AKAN HANCUR…
KENAPA SIH BISANYA HANYA MENJELEK-JELKAN KARYA ORANG? SEKARANG PERTANYAANNYA SEDERHANA MANA KARYA ANDA BISA BUAT ATAU TIDAK JIKA TIDAK JANGAN NGOMONG ASAL NJEPLAK SAJA. MANA MUNGKIN BISA MAJU NEGARA INI JIKA ORANGNYA TERUS PANDAI MENGKRITIK DAN MENJELEK-JELEKKAN KARYA SAUDARANYA TAPI DRINYA SENDIRI TIDAK BECUS APA-APA. NAUDZU BILLAH MIN DZALIK.
@zaenal abidin: hehehe..terima kasih untuk komentarnya bang..
kalau menurut saya sih salah satu contoh orang bermental kerupuk dan susah untuk bisa berkembang adalah orang-orang yang ketika dikritik langsung merasa kebakaran jenggot dan kemudian membalas kritikan dengan kata-kata yang tajam…
mudah-mudahan anda tidak termasuk orang seperti itu.
saya tunggu segera karya Anda…
yang semoga lebih fenomenal, dengan benar2 melakukan riset..
bukan hanya dilingkungan, tapi juga sesuai dengan kaidah islam (alQur’an dan Hadits)
sehingga bisa diterima akal, dan tidak asala-asalan…
SEMANGAAATTTT…!!!