Mengelilingi setengah Bumi dalam 3 hari

Luar biasa…saya baru saja membuat sebuah rekor pribadi yang sangat luar biasa. Sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Menghabiskan 3 buah buku dengan total 1116 halaman dalam waktu 3 hari. Sejak tanggal 31 Desember dan selesai tanggal 4 Januari. Bahkan jika saja pekerjaan kantor tidak menghalangiku, mungkin saja ketiga buku ini akan selesai dalam waktu paling lama 2 hari.

 

Tetralogi “Laskar Pelangi” yang sementara ini baru terbit 3 buku telah benar-benar menyihir saya, memaksa saya untuk tetap duduk tenang di kursi dan melahap huruf demi huruf dan lembar demi lembar yang terserak di ketiga novel tersebut. Menjelang pukul 12 malam ini, novel ketiga-Edensor-tuntas saya baca. Saya mengagumi diri sendiri, selama ini belum pernah saya mampu menghabiskan 1116 halaman sebuah buku dalam waktu sesingkat ini. Saya bukan seorang pembaca yang cepat dan saya butuh waktu yang lama untuk bisa menuntaskan sebuah bacaan.

 

Entahlah, pesona tetralogi Laskar Pelangi begitu memesonaku. Setelah menuntaskan Laskar Pelangi dalam waktu 2 hari, saya tak langsung beristirahat melainkan langsung menyerbu buku kedua, Sang Pemimpi. Dan novel kedua ini tuntas sehari kemudian. Puncaknya adalah novel ketiga, saya memulai membacanya sekitar jam 8 malam dan menutup lembaran terakhir menjelang pukul 12 malam.

 

Sang Pemimpi awalnya sempat memerangkapku dalam kebosanan. Ceritanya agak sedikit klise, tentang kenakalan remaja seperti yang sudah sering saya baca di berbagai novel atau cerpen lainnya. Agak ke tengah, gairah kembali memuncak. Filosofi-filosofi yang dalam tentang perjuangan, cita-cita dan keteguhan dalam meraih impian kembali memaksa saya untuk tidak berlama-lama membiarkan novel tersebut menganggur.

 

Tak bisa saya bayangkan betapa besar tekad 3 orang anak muda untuk sekedar menuntaskan sekolah di bangku SMA hingga harus bangun pukul 2 dinihari setiap harinya dan kemudian bekerja kasar di dermaga. Sebuah pengorbanan yang pastinya hanya bisa dilakukan oleh orang-orang bertekad baja.

 

Puncaknya adalah pada bagian terakhir saat dua sahabat, Ikal dan Arai mendapatkan surat yang memastikan mereka berdua berhasil mendapatkan beasiswa Uni Eropa dan berhak menempuh pendidikan di Universite de Paris, Sorbonne. Sebuah mimpi yang selama ini telah membuat mereka berdua tak pernah menyerah betapapun sulitnya hidup yang harus dijalani.

 

Andrea berhasil menggambarkan kepiluan hati Arai saat menerima surat tanda kelulusannya. Andrea berhasil menguraikan kepedihan sang simpai keramat saat kerinduan pada sosok orang tuanya membuncah tapi tak tahu bagaimana mengurainya. Sangat menyentuh..

 

Saya hanya sedikit bertanya-tanya, ke mana sosok Arai- yang katanya telah diangkat anak oleh bapak Ikal sejak kecil- di buku pertama, Laskar Pelangi ?. Di mana Arai bersekolah saat masih SD dan SMP..?, kenapa dia baru dimunculkan saat Ikal sudah masuk bangku SMA ?. Apakah semasa SD dan SMP, Arai bersekolah di tempat yang berbeda dengan Ikal ?. Suatu pertanyaan yang sedikit mengganggu kenikmatan tentunya. Tapi dengan sedikit merendah, saya berusaha menafikan hal itu dan berusaha larut menikmati kisah demi kisah yang ditulis Andrea.

 

Buku ketiga, Edensor adalah puncak ekstase saya pada ketiga buku ini. Sejak berkenalan dengan seorang bapak di kantor yang pernah tinggal 5 tahun di Perancis saya tiba-tiba jadi sangat tergila-gila pada Perancis pada khususnya dan Eropa pada umumnya. Saya pernah bermimpi memandangi Eifel dengan mata kepala sendiri, mengunjungi museum Louvre, dan berjalan di sepanjang Champ D’Elysse. Bahkan saya pernah mencoba belajar bahasa Perancis dan dengan sombongnya mengeja sedikit kata-kata yang sudah bisa saya hapalkan.

 

Petualangan Ikal dan Arai di Paris betul-betul membuatku iri. Rasanya mimpi-mimpi yang dulu pernah saya simpan dan sudah saya lupakan itu mendadak seperti sebuah film yang diputar kembali. Tanpa sadar saya makin tertarik membaca lembar demi lembar dari Edensor dan tak mau berhenti sampai lembar terakhir kututup.

 

Ikal dan Arai dengan sebuah kegigihan, kepasrahan dan tekad baja berhasil menjelajahi setengah dari bumi ini dengan bekal biaya yang minim. Ini dambaan lain yang pernah singgah di kepalaku. Menjadi backpacker dan menjelajahi tempat-tempat baru dan bahasa-bahasa baru dengan budaya-budaya baru hanya dengan modal seadanya. Betul-betul sebuah perjalanan yang pasti mampu memuaskan nafsu pengembaraan, dan di ujung kisah tak akan ada kata yang sanggup menggambarkan rasa puas atas segala pencapaian tersebut.

 

Andrea membuat saya iri, sosok Ikal dan Arai dalam kepala saya adalah sosok orang-orang yang mampu membuat sebuah mimpi yang tadinya sama sekali tidak masuk akal berubah menjadi kenyataan yang sangat membahagiakan. Ikal dan Arai adalah sosok-sosok manusia yang percaya pada mimpi dan tak pernah kenal kata menyerah. Tak ada satu halpun di dunia ini yang mampu menahan setiap langkah mereka merebut mimpi yang sudah belasan tahun mereka pelihara.

 

Saya tidak bisa menebak apa yang akan terjadi pada saya seandainya buku ini saya baca sepuluh tahun lalu saat saya masih sendiri dan masih gamang serta bosan pada kehidupanku. Mungkin bila buku ini hadir saat itu, saya akan langsung mengepak barang dan menerjunkan diri mencari kepingan mozaik hidup yang mungkin saja ada di luar sana, dibelahan dunia yang lain.

 

Untungnya buku ini saya baca saat saya sudah mapan dengan keluarga kecil dan rencana-rencana kecil saya. Buku ini mungkin terlambat hadir untuk merubah keseluruhan hidup saya, tapi setidak-tidaknya buku ini membuka kembali mata saya dan memberikan pelajaran berharga, bahwa mimpi tak akan pernah sia-sia sepanjang kita memang bertekad untuk membuatnya nyata.

 

Kata Arai, “ bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu”..

 

 

 

 

Catatan : tulisan ini saya buat setengah jam setelah menghabiskan buku terakhir-Edensor. Sekitar jam setengah satu malam.