Menantikan akhir kisah Eyang

 

 

foto courtesy of : soehartocenter.com

Seminggu terakhir ini berita apa yang paling banyak mendapatkan porsi dalam setiap acara bertajuk “news” di televisi tanah air kita ?, belum termasuk halaman-halaman utama koran-koran dan majalah seluruh Indonesia. Jawabannya tentu saja mengenai perkembangan kesehatan pak Harto, mantan penguasa Orde Baru yang pernah disebut sebagai ‘The Untouchable”.

 

Berita sakitnya pak Harto yang sudah sampai pada tahap sangat kritis mengundang berbagai polemik utamanya mengenai nasib kepastian hukum yang melibatkan beliau berkaitan dengan berbagai dugaan korupsi selama 32 tahun Soeharto mengangkangi ibu Pertiwi. Polemik lain yang terus bermunculan adalah mengenai perbedaan perlakuan terhadap mantan presiden.

 

Harus diakui kalau saat ini Soeharto mendapatkan perhatian dan perawatan yang super prima dari pemerintah berkaitan dengan kondisi kesehatannya. Padahal sudah bukan rahasia umum lagi kalau dulu Soeharto memperlakukan mantan presiden pertama RI yang juga ikut membidani lahirnya republik ini, Ir. Soekarno dengan sangat tidak manusiawi menjelang akhir hayatnya. Soekarno tidak pernah mendapatkan perawatan kesehatan sebagaimana semestinya. Perlakuan kasar, diskriminatif dan sangat tidak manusiawi harus beliau tanggung hingga saat terakhir beliau menghembuskan nafas.

 

Sangat miris bila membaca pernyataan beberapa orang dekat Ir. Soekarno perihal keadaan beliau saat sakit hingga memejamkan mata di Wisma Yaso. Jangankan dokter spesialis, dokter umumpun tidak stand by di tempat. Yang ada hanya dokter hewan sementara perawatnyapun bukan perawat betulan, hanya seorang Kowad. Sementara obat-obatan yang diberikan hanya berupa Royal Jelly dan beberapa macam vitamin untuk meredakan keluhan sang Putra Fajar akibat gangguan fungsi ginjal. Menyedihkan melihat bagaimana bangsa kita memperlakukan seorang pahlawan besar, sang “Founding Father” Indonesia sedemikian sadisnya.

 

Hal yang sangat berbeda terjadi pada kasus sakitnya Soeharto. Pelayanan media kelas satu dipersiapkan untuk beliau. Para pejabat negara dan mantan pejabat negara silih berganti menjenguk beliau di RSPP, karangan bunga tanda simpati sudah bertumpuk. Presiden dan Wakil Presidenpun sampai rela membatalkan kunjungan kerja atau mempercepat kunjungan kenegaraan demi mendengar kondisi kesehatan Soeharto yang semakin kritis. Sebuah perhatian yang luar biasa.

 

Dengan alasan kemanusiaan, semua itu tentunya menjadi wajar. Apalagi mengingat jasa-jasa Soeharto yang bila harus jujur musti diakui cukup banyak bagi kemajuan negeri kita. Soeharto selama 32 tahun memegang tampuk pemerintahan telah mampu membawa Indonesia dari jurang keterpurukan hingga-sempat-menjadi negeri yang disegani tidak hanya di kawasan Asia, tapi juga dunia.

 

Hanya saja patut dipertanyakan, apakah perlakuan terhadap mantan presiden seperti yang diberikan kepada Soeharto sekarang ini nantinya juga akan berlaku terhadap mantan-mantan presiden lainnya. Apakah perhatian dan fasilitas yang ada sekarang akan menjadi semacam standarisasi untuk memperlakukan para mantan presiden Indonesia yang lain. Patut dipertanyakan apabila mendengar kisah Gus Dur yang cukup pahit saat menjalani perawatan medis beberapa saat yang lalu, di mana Gus Dur dan keluarganya terpaksa harus membiayai sendiri perawatan dan cuci darahnya akibat bertele-telenya prosedur yang harus dilalui demi meminta pelayanan sebagai mantan presiden.

 

Soal perlakuan rejim Soeharto terhadap Soekarno mungkin akan jadi cerita lama yang sudah tidak perlu diungkit lagi. Dendam kesumat tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Justru kebesaran hati para keluarga Soekarno untuk memaafkan perilaku Soeharto yang akan membuat mereka lebih mulia. Bagaimanapun, perlakuan Soeharto tersebut makin menyuburkan faham Soekarnoisme di kalangan rakyat Indonesia.

 

Satu hal lagi yang saya masuk dalam catatan saya. Kondisi kritis Soeharto yang kemudian jadi konsumsi luar biasa dari media tanah air memunculkan kembali polemik tentang “enaknya di jaman Soeharto”. Dari sekian banyak perbincangan tentang kondisi Soeharto, utamanya di kalangan rakyat menengah ke bawah, selalu muncul perbincangan tentang keadaan yang lebih nyaman saat Soeharto berkuasa.

 

Harga-harga bahan pokok masih stabil, dollar masih murah, minyak tanah tidak pernah langka, demonstrasi tidak pernah ada, dan kriminalitas relatif masih rendah. Itulah sebagian besar “kenikmatan” jaman Soeharto yang masih lekat di kepala orang Indonesia. Sebagian besar yang beranggapan seperti itu adalah dari kalangan rakyat kecil yang tidak pernah punya masalah langsung dengan Soeharto dan rejimnya, orang-orang yang tidak pernah merasakan terpinggirkan atau tertindas karena berbeda pandangan politik dengan Soeharto dan kroni-kroninya.

 

Tentu bukan sesuatu yang bijak untuk meributkan hal tersebut karena toh itu semua sudah berlalu. Lagipula, segala kekacauan yang kita rasakan sekarang ini suka atau tidak suka adalah juga buah dari masa pemerintahan Soeharto selama 32 tahun. Toh pemerintah yang sekarang sedang berkuasa juga sebenarnya tidak jauh-jauh dari “anak didik” Soeharto.

 

Korupsi marak karena telah dilatih selama puluhan tahun di jaman Orde Baru, perekonomian berantakan karena hasil kongkalikong Soeharto dan kroni-kroninya dengan para kapitalis dari barat yang bernaung di bawah bendera IMF, demonstrasi jadi liar laksana kuda binal yang lepas dari kandang karena selama ini kita memang tidak pernah dilatih untuk berdemokrasi dengan jujur dan besar hati. Jadi..masih pantaskan kalau kita katakan jaman Soeharto lebih baik dari jaman sekarang ?.

 

Seperti yang saya bilang di atas, pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan-pertanyaan bodoh dan membuang-buang waktu. Adalah lebih baik bagi kita yang hidup di jaman sekarang untuk saling bahu membahu memperbaiki kesalahan yang sudah terlanjur terjadi dan bersatu untuk hidup yang lebih baik di masa depan.

 

Adapun untuk pak Harto, kita mungkin hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk beliau. Entah apakah akan disembuhkan atau dipercepat jalannya menghadap yang kuasa. Atau mungkin lebih baik kita mengikuti doa ustadz Abubabar Ba’asyir yang mengatakan : semoga beliau diberi kesempatan oleh Allah untuk bertaubat sebelum menutup mata. Soal apakah nanti sembuh atau tidak itu urusan belakangan, yang penting bisa bertobat untuk meminta ampunan atas dosa-dosanya selama ini. Mungkin itu lebih baik..