[Masih] Tentang Laskar Pelangi

 

Sebuah kebetulan baru saja terjadi dalam hidup saya di akhir pekan kemarin. Dimulai pada hari Jum’at malam. Dari sebuah milis yang saya ikuti, muncul sebuah info tentang acara Kick Andy di Metro TV yang rencananya akan membahas tuntas tentang film Laskar Pelangi, film yang sudah diantisipasi banyak orang sejak jauh-jauh hari.

 

Malamnya saya memang menyempatkan diri menonton acara itu. Euforia kemudian berlanjut di keesokan harinya. Saya mencabut kembali novel Laskar Pelangi dari lemari buku, membaca ulang beberapa bab-nya, tentu saja sambil melompat-lompat. Ini salah satu antisipasi saya menyambut film Laskar Pelangi karena terus terang beberapa karakter di dalam cerita itu sudah tidak begitu melekat lagi di kepala saya.

 

Hari Minggu, giliran Edensor yang saya raih. Membaca sambil melompat-lompat beberapa bagian dari cerita itu, sambil menantikan siaran ulang tayangan Kick Andy di Metro TV. Masih di hari yang sama namun di jam yang berbeda, sebuah tugas dari kantor membuat saya mesti berhubungan dengan internet. Setelah tugas rampung, saya berkunjung sejenak ke panyingkul.com dan segera bertemu dengan sebuah tulisan tentang Andrea Hirata dan tetralogi Laskar Pelangi-nya. Tulisan ini segera menarik perhatian saya karena toh hampir 3 hari ini kehidupan saya bertemakan Laskar Pelangi.

 

Dalam tulisan tersebut, sang penulis mencoba membeberkan beberapa kekurangan dari tetralogi yang sangat fenomenal tersebut. Karena berbau ilmiah maka sang penulis tentu saja menyertakan beberapa data dan fakta untuk mendukung analisanya. Hasilnya adalah sebuah perspektif baru dalam memandang sebuah karya yang oleh banyak orang dianggap sebagai sebuah inspirasi. Bila dilihat secara sepintas akan kelihatan kalau sang penulis mencoba melawan sebuah arus dan tentu saja musti bersiap-siap mendapat hujatan dan perlawanan dari para penggemar Andrea Hirata.

 

Saya cukup mengenal sang penulis, meski tak terlalu akrab. Selama mengenal beliau, terkadang saya memang agak kesulitan untuk membaca arah pikirannya, meski sangat sering saya dibuat terkagum-kagum oleh sudut pandang yang diambilnya dalam menilai sesuatu. Bukan satu dua kali Dandi (nama panggilan sang penulis) muncul dengan pespektif pandangan yang berbeda, tak lazim namun sangat mencerahkan.

 

Salah satu perpedaan pespektif pandangannya adalah tulisan tentang Laskar Pelangi itu. Saat ribuan orang menghaturkan pujian pada karya Andrea Hirata , Dandi memilih bergeser pada sebuah titik yang tak populer untuk kemudian memberikan analisa tentang tetralogi Laskar Pelangi. Perspektif pandangannya yang dilatarbelakangi berbagai data dan fakta cukup membuat saya kaget. Mungkin karena kapasitas ilmu, referensi dan perenungan saya yang memang belum sampai ke sana membuat saya sama sekali tak pernah berpikiran untuk melihat tetralogi Laskar Pelangi dari perspektif yang sama dengan Dandi.

 

Dandi memang agak berbeda. Latar belakang pendidikan, referensi dan mungkin kehidupannya selalu memaksa dan memungkinkan dia untuk selalu mencari cara pandang yang berbeda dalam memandang sesuatu hal. Namun selalu ada garis merah dari cara pandangnya itu. Dandi terang-terangan memperlihatkan keberpihakan (secara sadar atau tidak) pada kaum marjinal, kaum terbelakang atau kaum tertindas. Terkadang ada aroma anti kapitalisme dalam setiap tulisan dan kritikannya.

 

Kembali ke masalah Laskar Pelangi dan tulisan Dandi. Pada kasus ini, di manakah saya berdiri ?. Berpihak pada Andrea Hirata sebagai seorang pecinta fanatik dan buta ?, atau berdiri di belakang Dandi sebagai pengkritik yang pedas ?.

 

Terus terang saya berada di tengah kedua kubu (kalau bisa dibilang kubu). Bagaimanapun saya tak bisa memungkiri kalau saya pernah terkagum-kagum pada tetralogi Andrea Hirata tersebut, meski tak sampai pada level fanatik. Namun dengan bekal logika yang masih wajar, saya juga sempat melihat beberapa kejanggalan dalam karya Andrea.

 

Laskar Pelangi mungkin adalah bagian terparah dari ketiga buku tersebut. Secara logika, banyak cacat yang sebenarnya bisa dilihat secara kasat mata. Mulai dari kebiasaan Andrea memakai kata-kata latin untuk menerangkan nama tumbuhan yang membuat saya kadang jadi bingung membayangkan jenis tanaman yang dimaksud, atau penggambaran karakter Mahar yang mungkin terlalu berlebihan. Saya bilang terlalu berlebihan karena rasanya agak janggal bahwa kemampuan luar biasa Mahar baru ketahuan setelah sekian lama mereka bersama setiap harinya. Untuk soal ini saya pernah membuat tulisannya di sini.

 

Membaca kritikan Dandi, saya juga bisa menerimanya. Dandi benar tentang beberapa hal, meski saya tak yakin Andrea sengaja memasukkan kesalahan-kesalahan tersebut dalam karyanya. Kritikan Dandi-bagi saya-adalah sebuah elemen yang memperkaya dalam melihat sebuah karya sastra, dan Dandi juga secara tidak langsung merangsang saya untuk selalu mencoba berpikir out of the box, sebuah perilaku yang masih asing buat saya.

 

Terlepas dari kritikan tersebut, saya tetap menganggap Laskar Pelangi dan 2 buku sambungannya  (entah dengan yang ketiga nanti) adalah sebuah paket karya sastra yang punya implikasi yang berbeda-beda. Setidaknya karya Andrea masih lebih bisa saya terima dibandingkan deretan karya Habiburrahman El-Shirazy yang sama fenomenalnya.

 

Akhirnya saya merasa kalau minggu kemarin memang minggu yang tepat untuk mengantisipasi karya Andrea Hirata yang sebentar terjemahan versi visualnya dapat kita saksikandi layar lebar. Saya jadi bertanya-tanya, kira-kira bentuk kritikan apalagi yang bisa saya baca dari hasil karya Riri Riza dan Mira Lesmana tersebut.

 

Ah, penantian yang menggairahkan. [DG]