Akhirnya, novel pamungkas dari tetralogi Laskar Pelangi itupun terbit juga. Novel pamungkas ini sudah ditunggu para penggemar Laskar Pelangi, tentu saja karena keberhasilan tiga novel terdahulu serta film Laskar Pelangi yang bisa dibilang fenomenal.
Ekspektasi orang terhadap novel keempat ini tentu bermacam-macam, meski sebagian besarnya tentu berharap Maryamah Karpov bisa seperti novel-novel pendahulunya yang inspiratif dan menggugah semangat bagi sebagian orang.
Saya baru saja menamatkannya beberapa hari yang lalu dan rasanya saya tergoda untuk membuat resensinya sesuai penilaian pribadi saya selepas membaca Maryamah Karpov (MK).
Sebelum MK terbit sebenarnya saya sudah dihinggapi berbagai pertanyaan seputar momen penerbitan buku ini. Jarak antara peluncuran buku seri ketiga ( Edensor ) dengan Maryamah Karpov terasa sangat jauh. Ada kejanggalan yang saya rasakan di sini, apalagi cover depan MK sudah dipromosikan di buku ketiga. Logika sederhana saya, orang tak mungkin berani membuat cover buku apabila tak mengerti betul isi buku tersebut, karena bagaimanapun cover dan isi buku harus sejalan atau minimal ada benang merahnya.
Pikiran saya waktu itu adalah, MK sebenarnya sudah selesai hanya saja peluncurannya menunggu monentum yang tepat. Andrea Hirata dan Laskar Pelangi-nya mulai meroket sejak pertengahan tahun 2007 dan mencapai puncaknya sejak dipromosikan besar-besaran di acara Kick Andy!-nya Metro TV. Sejak itu LP dan 2 novel pengikutnya tiba-tiba jadi sebuah meteor terang dalam jagad perbukuan di tanah air. Belakangan malah muncul wacana mengangkat LP ke layar lebar.
Nah, saya kira ini adalah alasan kuat kenapa MK kemudian ditunda peluncurannya. Nama Andrea Hirata dan LP yang sedang naik tentu saja perlu antisipasi yang tepat untuk dijaga kelanggengannya. Salah satunya adalah menahan laju penerbitan buku terakhir agar nantinya ada kontinuitas dalam menjaga popularitas Andrea dan LP. Terbukti bahwa setelah film Laskar Pelangi diluncurkan, Maryamah Karpov-pun ikut meluncur. Ini tentu momentum yang sangat tepat.
Tapi, itu hanya teori saya saja yang tentu bisa benar dan sangat bisa salah..
Keganjilan lain yang saya rasakan adalah, isi buku ternyata sama sekali tak sejalan dengan judul apalagi cover-nya. Awalnya saya mengira MK ini akan banyak bercerita tentang Mak Cik Maryamah dan Nurmi anaknya yang pemain biola itu (merujuk ke sampul yang bergambar wanita memainkan biola). Mak Cik Maryamah dan Nurmi sudah dihadirkan di salah satu bab di Sang Pemimpi. Tapi ternyata dugaan saya salah. Buku terakhir ini, yang kemudian ditambahi dengan kata-kata āMimpi-Mimpi Lintangā lebih banyak bercerita tentang perjalanan Ikal mencari cinta sejatinya dan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Maryamah. Nama Maryamah sendiri hanya dua kali disebut-sebut, lengkap dengan julukannya Maryamah Karpov.
Di akhir buku Sang Pemimpipun dituliskan kalau Maryamah Karpov nantinya akan bercerita tentang perempuan yang dilihat dari sebuah sudut yang tak pernah dihadirkan penulis Indonesia sebelumnya. Tapi pada kenyataannya MK kemudian lebih banyak bercerita tentang Ikal dan mimpi-mimpinya. Bagi saya ini jelas sebuah keganjilan yang besar hingga kemudian menerbitkan satu pertanyaan lagi di kepala saya. Mungkinkah naskah awal MK mengalami perubahan ? Apalagi setelah Laskar Pelangi sukses dan Andrea menyadari ekspektasi pembacanya yang sangat besar untuk mengetahui nasib percintaan Ikal dan A Ling serta nasib Arai, Lintang dan anggota Laskar Pelangi lainnya, sehingga kemudian naskah MK dirombak habis-habisan demi memuaskan rasa ingin tahu para pembaca setia Laskar Pelangi. Mungkin saja bukan ?.
Satu keganjilan lagi. Di akhir buku Laskar Pelangi diceritakan kalau Mahar akhirnya jadi abdi pemerintah di departemen kebudayaan, sekaligus jadi penulis cerita anak-anak sesuai dengan minatnya yang besar pada dunia seni. Societet de Limpai-organisasi rahasia para pecinta mistis-pun sudah dibubarkan setelah mereka menerima āpukulan telakā dari Tuk Bayan Tula. Di MK, Mahar diceritakan malah serius dengan dunia mistis dan tetap memelihara organisasinya lengkap dengan para pendukungnya. Jelas ada alur cerita yang dibelokkan. Apalagi cerita pertama lebih sejalan dengan realitas karena setahu saya dari tayangan di televisi, Mahar yang asli memang seorang pegawai negeri.
Kalau bicara tentang logika, buku ini sebenarnya memang mengandung banyak cacat logika, setidak-tidaknya bagi saya. Usaha keras Ikal yang kemudian berhasil membuat perahu nyaris seorang diri bagi saya agak di luar logika. Tidak masuk akal, meski kemungkinannya tetap ada. Ini kapal sepanjang 11 meter Boi, bukan pekerjaan ringan apalagi bila dikerjakan sendiri. Kantor saya memesan kapal dengan ukuran seperti itu dan sudah hampir setahun belum selesai padahal saya yakin yang mengerjakannya bukan hanya seorang saja. Nah, bayangkan bila anda mengerjakannya seorang diri dan ditambah lagi anda harus bekerja serabutan untuk mengumpulkan modal.
Nah, proses mengumpulkan modal ini juga menimbulkan pertanyaan baru di kepala saya. Logika saya begini, waktu yang digunakan Ikal untuk bekerja kasar sebagai kuli dan editor majalah sangat sedikit, hanya beberapa bulan kalau tak salah. Nah, hasil kerja tersebut digunakannya untuk membuat perahu dan sisanya dipakai untuk menyogok anak buah Tambok si bajak laut. Kira-kira jumlah hasil kerjanya berapa ya ? Yang jelas pasti tak sedikit karena toh Ikal mampu membeli beberapa bahan-bahan pembuat perahu plus mesin kapal dan tentu saja logistik untuk perjalanan jauh tapi kemudian masih ada sisanya untuk dijadikan upeti. Jumlahnya pasti besar sekali bukan ? Karena setahu saya harga sebuah mesin kapal itu sangat tidak murah, bisa berkisar 10 sampai ratusan juta tergantung PK-nya. Nah, apa iya kerja sebagai kasar sebagai buruh dan sebagai editor majalah sekaligus selama beberapa bulan mampu untuk membiayai semua itu ? Kalau iya berarti pekerjaan itu sangat menjanjikan dong, apalagi untuk dikerjakan selama setahun penuh misalnya. Ā
Sekarang lihat halaman 258. Di sana Andrea bercerita tentang kenangan Ikal bersama teman-teman Laskar Pelanginya saat masih bersekolah di SD Muhammadiyah, khususnya tentang goresan di tiang yang menandai tinggi badan mereka. Di salah satu paragraf diceritakan kalau tinggi Ikal saat kelas 2 SMP adalah 147 cm dan di paragraf bawah ditulis kalau tinggi Ikal di kelas 3 SMP adalah 144 cm, aneh bukan ? Berarti saat naik kelas dan bertambah umur tingginya malah turun 3 cm. Dan kesalahan ini juga berlaku untuk anggota Laskar Pelangi yang lain. Tapi okelah, ini mungkin hanya kesalahan penulisan saja, tapi buat saya tetap saja mengganggu.
Secara keseluruhan, bagi saya MK ini tak lebih dari sebuah roman picisan dengan alur yang terlalu bombastis selayaknya film-film Hollywood. Terlalu banyak kejadian yang ditulis dengan sangat hiperbola sehingga kemudian menjadi susah untuk masuk di akal.
Maryamah Karpov ini juga bagi saya sekaligus mencederai label āmemoarā yang disematkan Andrea pada 3 karyanya terdahulu. Cerita yang ada dalam MK saya yakin tak semuanya benar-benar terjadi. Dan itu jelas membuat MK tak sejalan dengan 3 novel terdahulu. Sampai di sini kita bisa melihat inkonsistensi yang terjadi dalam alur penciptaan tetralogi Laskar Pelangi.
Namun, meskipun ada bagian-bagian yang cacat secara logika, Maryamah Karpov tetap bisa menghibur, utamanya pada bagian-bagian di mana Andrea banyak bercerita tentang sosiologi dan budaya orang Melayu. Untuk hal ini saya rasa Andrea punya kelebihan. Sebagai orang Melayu asli dia mampu memberikan gambaran tipikal orang Melayu sesuai pengamatannya selama hidupnya. Dan hasil itu kemudian diterjemahkannya dengan bahasa yang indah namun ringan dan mampu mengundang senyum. Saya bahkan merasa Marayamah Karpov setelah bagian-bagian roman picisannya dilepas bisa menjadi sebuah buku pelajaran sosiologi, budaya, sejarah dan sains. Potensinya untuk bisa diterima para pelajar sekolah sangat besar, tentu saja karena gaya bahasanya yang saya sebut tadi.
Gaya bahasa Andrea masih tetap sama dengan karya-karyanya terdahulu. Dia hadir dengan banyak perbandingan-perbandingan yang ujung-ujungnya adalah memuji satu kelompok tertentu. Di samping itu Andrea juga masih tetap setia dengan keberaniannya untuk āmenelanjangiā kaumnya sendiri lewat komedi satir yang tajam. Kebanggaan berlebihan Andrea pada dunia barat dan ilmu pengetahuan agak terseimbangkan di buku ini, berkali-kali Ikal digambarkan mengakui kehebatan ilmu alami yang hadir karena pengalaman hidup.
Secara umum saya bilang kalau buku ini tak terlalu menarik, kecuali pada bagian-bagian yang mengundang tawa tersebut. Alur ceritanya agak picisan dan sangat berbeda dengan muatan yang dibawa pada 3 buku terdahulu. Sayang sekali sebenarnya, saat banyak orang menumpukan ekspektasi yang besar pada karya pamungkas ini, kehadirannya malah mengecewakan. Bagaimanapun kita patut menunggu karya Andrea setelah ini, meski dia sendiri mengatakan akan vakum dulu dari dunia menulis. Andrea jelas punya bakat, dan sudah punya nama pula, jadi langkah selanjutnya di dunia menulis pasti akan mengundang rasa penasaran. Rasa penasaran yang entah kapan akan tertebus.
Ah, sa baru kunjung lg setelah pemilik blog kembali lg ke ranah maya š
Yup, sy setuju dgn isi postingan antum (gaya anak rohis)
Bahkan sy udah lebih dulu meresensi MK ini di blog saya yang koddala dgn judul yg tidak kurang sarakastiknya:
Maryamah Karpov; Sekali Ini Roman Picisan…
Betul lah penilaian Dandy, bahwa AH adalah salah satu pengusung mimpi sahaja, mimpi yg mendewakan modernitas
Sebagai pembaca yang terlambat, saya bersyukur menemukan resensi ini. Cukup 3 buku saja yang saya baca kalau begitu, tak perlu susah payah berburu yang ini daripada…daripada…heheh