Pelangi yang menyapu mendung

Laskar Pelangi

Pengarang : Andrea Hirata

Penerbit : Klub Sastra Bentang

Tahun : 2005

Saya mungkin termasuk orang yang terlambat membaca novel ini, apalagi mengingat waktu terbitnya yang sudah nyaris masuk ke tahun ketiga. Suatu hari di bulan Ramadhan tahun 2007, sekitar awal Oktober, saya sempat melihat wawancara Andy F.Noya dengan Andrea Hirata di Kick Andy. Dari situ saya baru tahu kalau buku tersebut ternyata cukup fenomenal. Ada banyak orang yang tergugah oleh penuturan Andrea Hirata, seorang lelaki kelahiran Belitong yang tak pernah menulis novel sebelumnya.

 

Saya baru berkesempatan membacanya mulai akhir Desember 2007 setelah istriku berbaik hati menghadiahkan 3 buku dari rangkaian tetralogi Laskar Pelangi. Hanya butuh 2 hari sebelum saya akhirnya mampu melahap setiap lembar di buku yang lumayan tebal tersebut. Belum pernah terjadi sebelumnya. Di malam pergantian tahun saya malah betah duduk membacanya hingga pukul 5 subuh.

 

Laskar pelangi boleh dibilang luar biasa. Saya secara resmi menggabungkan diri bersama ribuan orang lainnya yang sangat terpesona oleh buku ini. 2 hari membacanya, saya ikut larut dalam setiap kisahnya. Kadang tersenyum sendiri, kadang pula termenung sendiri. Bahkan di salah satu bab-nya saya hampir menangis . Sungguh..mata saya panas dan hampir saja tetesan air bening dari anak-anak sungai di dalamnya mengalir ke pipi.

 

Saya bisa merasakan bagaimana hancur hati Ikal saat terpaksa terpisah dari wanita cinta pertamanya. Gambaran saat dia menaiki puncak bukit tertinggi hanya untuk bisa melihat pesawat Fokker yang membawa kekasihnya melintas di udara sungguh menyentuh saya. Rindu terpisahkan oleh jarak dengan kekasih hati nun jauh di sana dan tak tahu kapan bisa bertemu adalah makanan saya sehari-hari lima tahun yang lalu. Dan cerita Ikal mampu mengungkitnya kembali, untuk kemudian membuat saya ikut merasakannya.

 

Tapi puncak dari ketersentuhan saya adalah adegan-adegan saat Lintang terpaksa mengaku kalah pada nasib. Merelakan kecintaannya pada ilmu dan cita-cita masa depannya yang cemerlang ditukar oleh keharusan menghidupi 14 nyawa sepeninggal ayahnya, sang lelaki cemara angin. Tangisan teman-temannya saat melepas Lintang di sekolah gudang kopra mereka adalah tangisan kita semua. Terlalu banyak anak-anak negeri ini yang akrab dengan kemiskinan dan ketidakberuntungan walaupun mereka seharusnya juga berhak mereguk nikmatnya pendidikan. Bersama Ikal saya ikut mengutuk anak-anak orang berduit yang justru menghamburkan duit dan kesempatan dari orangtuanya untuk bersekolah.

 

Andrea Hirata adalah orang yang istimewa. Tanpa latar belakang sastra, tanpa karya-karya sastra sebelumnya, dia mampu menghadirkan sebuah buku yang penuh petualangan emosional yang mampu menggerakkan sebagian orang.

 

Andrea hadir dengan metafora, perumpamaan dan penggambaran yang luar biasa-terkadang memang terlalu berlebihan-semuanya dijalin oleh pemilihan kata-kata yang tepat. Sungguh, saya sampai harus merelakan waktu tidur yang terpotong hanya demi menolakkan kehilangan waktu untuk menghabiskan halaman demi halamannya.

 

Buku ini mungkin tidak sempurna. Saya-yang selalu mencoba berpikiran logis-menemukan beberapa kecacatan atau tepatnya kejanggalan dalam rangkaian cerita yang ditulis Andrea. Tapi terlalu sombong rasanya bila saya membesar-besarkan kecacatan itu dan menafikan kenyataan kalau buku ini sangat berhasil membuat saya kecanduan.

 

Entah bagaimana kelanjutan kisah Andrea Hirata di jagad sastra nantinya setelah 3 buah buku yang semuanya menjadi best seller tersebut. Yang jelas persembahannya yang pertama ini telah mampu membuat kita sadar-sekali lagi-bahwa memang terlalu banyak yang tidak adil di negeri ini. Terlalu banyak ironi yang tumbuh subur di bumi Indonesia. Dan terlalu banyak orang yang memandang semuanya hanya dari penampilan fisik tanpa pernah mencoba menyelami apa yang sebenarnya ada dalam hati setiap orang.

 

Andrea mampu menggambarkan itu semua dalam sebuah buku yang emosional. Ketimpangan antara si kaya dan si miskin bisa digambarkannya dengan gamblang. Andrea mampu membawa sayamembayangkan Pulau Belitong yang kaya akan timah namun sebagian besar penduduk aslinya tetap akrab dengan kemiskinan dan kesusahan. Tipikal daerah-daerah kaya hasil bumi di Indonesia ini.

 

Terlepas dari beberapa cacat dan blunder dari buku ini, saya harus berbesar hati untuk memuji Andrea Hirata dan pencapaiannya sejauh ini.

 

Singkat kata, salut untuk Andrea Hirata.