Laskar Pelangi, the movie : Orgasme yang tanggung

 

foto diambil dari : http://www.memorabilialaskarpelangi.com/

 

Menonton sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel sejatinya harus mempersiapkan diri untuk menerima sebuah hasil yang berbeda. Film dan novel adalah dua buah media yang berbeda. Novel berbicara dengan bahasa tulisan dan memaksa pembacanya untuk membuat visualisasi sendiri dalam pikiran mereka. Novel tak terbatas durasi sehingga bebas untuk memanjangkan atau memendekkan cerita. Sementara itu film berbicara dalam bahasa visual yang juga bersanding dengan bahasa verbal. Film dibatasi oleh durasi sehingga film maker harus pandai-pandai dalam mengemas sebuah tontonan yang tak lantas membuat orang buru-buru capek atau malas menantikan akhirnya.

 

Modal itu juga yang saya bawa ketika memutuskan untuk menonton Laskar Pelangi di bioskop. Saya berusaha menyingkirkan semua daftar memori yang tersimpan di otak saya selepas membaca novel Laskar Pelangi beberapa bulan yang lalu. Saya menonton film Laskar Pelangi dengan asumsi tak pernah membaca bukunya sebelumnya. Susah, dan harus saya akui saya tidak bisa 100% bersih dari memori tersebut.

 

Riri Riza dan Mira Lesmana adalah duet film maker kelas wahid yang dimiliki Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang idealis dan beberapa kali bergerak melawan arus. Saat pertama kali mengetahui kalau LP akan digarap oleh mereka, saya senang sekali. Paling tidak, LP akan sedikit terbebas dari tuntutan komersial seperti yang terjadi pada Ayat-ayat cinta.

 

Saya agak kaget mendapati kenyataan kalau Riri Riza berani untuk keluar agak jauh dari novelnya yang sudah terlanjur fenomenal tersebut. Riri memunculkan karakter-karakter baru, memunculkan konflik baru dan tentu saja memunculkan dramatisasi yang baru. Beberapa hal di antaranya berhasil membuat LP jadi lebih membumi dan masuk akal.

 

Yang saya maksudkan lebih masuk akal contohnya adalah asal muasal ide Mahar dalam menggarap koreografi untuk karnaval. Di film diceritakan kalau Mahar menggunakan tarian suku Asmat sebagai ide koreografi, ide yang ditemukannya dari National Geographic yang diberikan Flo. Meski di sini ada sedikit kejanggalan karena kurangnya informasi tentang Flo yang “aneh” karena mau saja bergaul dengan anak-anak kampung nan miskin itu.

 

Hal lain yang juga masuk akal adalah tentang kecerdasan Lintang. Bagi para pembaca novel LP, Lintang yang ada dalam gambaran mereka tentulah seorang Lintang yang super duper jenius. Seorang anak SD dari sekolah bobrok yang miskin namun mampu membahas beberapa soal yang bahkan mampu memusingkan anak SMA.

 

Di tangan Riri Riza, Lintang tetap dibuat cerdas namun masuk akal. Adegan cerdas cermat melawan sekolah negeri dan sekolah PN Timah dibuat membumi. Soal-soal yang diajukan adalah soal-soal yang memang diperuntukkan bagi anak SD. Perjuangan anak-anak SD Muhammadiyahpun tidak semulus yang diceritakan di novel. Meski cerdas luar biasa, Lintang dan teman-temannya tetap mendapatkan perlawanan ketat utamanya dari SD PN Timah. Masuk akal bukan ?. Bahkan Riri berhasil meramu sebuah drama dalam scene tersebut, meski untuk beberapa saat saya merasa sedang menonton sebuah sinetron.

 

Singkatnya, Riri berhasil membuat film Laskar Pelangi lebih bagus dari bukunya.

 

Meski bagus, namun Riri masih terjebak dalam sebuah “keharusan”. Entah karena terpaksa atau karena apa, Riri masih bersikeras memasukkan beberapa adegan yang tak perlu. Adegan Flo yang hilang di hutan dan adegan saat anak-anak LP mendatangi Tuk Bayan Tula saya pikir adalah adegan yang potensial untuk dihilangkan. Entah caranya bagaimana, tapi seharusnya Riri bisa memikirkan cara yang lain untuk menggambarkan bergabungnya Flo dengan Laskar Pelangi. Mungkin ini adalah bentuk kompromi Riri dengan para pecinta novel LP, sayangnya ini cukup mengganggu film secara keseluruhan.

 

Soal teknis, saya kira Riri cukup berhasil. Riri banyak berbicara dalam bahasa gambar yang indah. Akting para pemainnyapun cukup berhasil kecuali Tora Sudiro yang saya kira akan langsung mengingatkan kita pada aktingnya di Nagabonar jadi 2 atau sebagai Baha di sinetron Para Pencari Tuhan 2. Khusus untuk kesebelas anak-anak asli Belitong yang digunakan oleh Riri, saya kira mereka cukup berhasil, tentu saja bila mengingat ini adalah pengalaman pertama mereka walaupun sesungguhnya anak-anak itu masih sering kedodoran dari segi mimik dan intonasi. Dari kesebelasnya, saya malah jatuh cinta pada akting Mahar dan Kucai dengan kata-kata khasnya, “ kelakuan anak-anak kuli itu kayak setan semua…!!”, dialog yang sering saya tiru sekarang…hehehe..sementara Mahar mampu tampil sebagai anak yang cuek dan nyeni dengan tampang nakalnya itu.

 

Saya agak berandai-andai, kalau saja Riri mau lebih ekstrem keluar dari buku LP, bisa saja dia menggunakan tokoh Lintang sebagai tokoh utama. Bisa saja tokoh Lintang dikupas lebih dalam untuk menunjukkan kesulitan hidupnya plus perjuangan beratnya untuk bisa tetap bersekolah meski akhirnya harus kandas juga oleh nasib. Kalau menurut saya, tokoh Lintang lebih potensial untuk dijadikan bintang utama ketimbang Ikal yang konflik hidupnya kurang banyak. Lintang adalah gambaran sesungguhnya tentang realitas yang terjadi di sekitar kita. Tentang realitas bahwa sesungguhnya masih sangat banyak anak-anak rajin bin pandai namun sekaligus miskin di negeri kita yang tak punya kesempatan untuk bersekolah sesuai keinginan mereka.

 

Adegan saat Lintang harus pamitan kepada teman-teman dan ibu gurunya seharusnya bisa dikemas lebih apik dengan tambahan bahasa gambar yang lebih menggugah. Honestly di adegan ini saya hampir menangis, tapi hanya hampir karena adegannya terlalu singkat dan terlalu “vulgar”. Inilah yang saya ibaratkan sebagai orgasme yang nanggung.

 

Sebagai sebuah tontonan saya kira Laskar Pelangi the Movie berhasil keluar sebagai sebuah tontonan yang berkualitas di tengah maraknya film Indonesia yang asal jadi bahkan cenderung makin sering mengeksploitasi seks. Laskar Pelangi the movie memang tak sempurna tapi setidaknya bagi saya film ini lebih masuk akal dan mengena dibandingkan novelnya.