Kota Ini Milik Kita, Kawan !

Suasana diskusi dengan pak Marco

Hari jumat, 29 April 2011 Anging Mammiri kedatangan tamu spesial. Pak Marco Kusumawijaya, seorang jurnalis, urban planner dan aktivis perkotaan. Banyak hal menarik yang kami seduh pada diskusi singkat dengan beliau.

Pertama kali saya bertemu pak Maro adalah pada bulan Oktober 2010 dalam sebuah workshop Unesco yang diadakan oleh HIVOS. Waktu itu beliau jadi moderator dan saya jadi peserta. Kami memang tidak sempat ngobrol banyak jadi tidak heran kalau beliau tidak kenal saya.

Malam itu beliau tetap tampil dengan gayanya yang santai dan humble, seperti yang pertama saya tangkap di bulan Oktober itu. Sama sekali tidak ada kesan sombong dan jaga jarak. Akibatnya diskusi berjalan santai dan menarik.

? Selepas perang kemerdekaan, hampir tidak ada satupun kota di Indonesia yang jadi lebih baik karena perencanaan. Kalaupun ada, itu biasanya karena kebetulan?, itu komentar awal pak Marco yang cukup mengejutkan. Sepertinya memang betul, sebagian besar kota di Indonesia memang malah menjadi makin ruwet karena sesuatu yang dinamakan perencanaan kota. Bahkan kota yang dulunya mungkin lebih nyaman saat masih di bawah kendali pemerintahan Hindia Belanda, sekarang malah rusak oleh orang kita sendiri.

Perencanaan tanpa pengetahuan yang solid lebih rentan untuk dilanggar. Ini memang menjadi sebuah kenyataan pahit yang terjadi pada hampir semua kota di Indonesia. Sebuah perencanaan awal biasanya akan mengalami perubahan yang sangat signifikan pada perkembangannya, tergantung kesepakatan pemodal dan pemerintah.

Contoh kecil adalah kota Makassar. Dulu kawasan Tamalanrea ditetapkan sebagai kawasan pendidikan yang ditandai dengan munculnya banyak kampus dan infrastrukturnya sekarang berubah menjadi kawasan bisnis dengan tumbuhnya mall dan beragam ruko. Suasana makin semrawut dan jejak sebagai kawasan pendidikan sepertinya makin terhapus.

Mtos, Mall di kawasan pendidikan

Itu baru satu contoh kecil. Belum termasuk beberapa contoh lain dan jika memang berniat membuat daftar maka pengubahan rencana di tengah jalan pasti bisa dimuat dalam daftar yang teramat panjang.

Rata-rata perencanaan kota di Indonesia memang dibuat tanpa pengetahuan yang solid. Semua perencanaan hanya memuat apa yang ada dalam kepala para perencana plus pemodal dan penguasa. Jarang sekali mereka menangkap aspirasi masyarakat luas sebagai pemilik asli sebuah kota. Makanya jangan heran kalau perencanaan kota banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Karena toh masyarakat tidak pernah dilibatkan secara aktif dalam perencanaan.

Hal lain yang selalu menjadi kesalahan mendasar dan berulang adalah kenyataan kalau semua pengembangan kota itu seakan selalu berpusat pada Jakarta. Jakarta selalu menjadi role model untuk semua kota di Indonesia yang akan dikembangkan. Jakarta kemudian mendominasi semua perencanaan kota di Indonesia. Padahal Jakarta sendiri sudah terlalu jauh tenggelam dalam samudera masalah yang tepiannya sudah tidak terbentuk lagi.

Selama ini pembangunan kota di Indonesia menurut pak Marco memang lebih banyak bicara pada hal-hal yang besar. Jalan tol, jalan layang, mall dan semua ikon modernisasi yang biasanya memang dianggap sebagai lambang sebuah kota yang maju. Padahal tidak seperti itu, justru banyak hal kecil yang lebih menjamin kenyamanan warga yang sering terlupa dalam perencanaan sebuah kota.

Ruang terbuka hijau, drainase yang rapih dan lancar, trototar yang lebar dan nyaman, transportasi publik yang memadai. Itu hanya sebagian kecil saja hal-hal yang sebenarnya lebih terasa manfaatnya dalam keseharian warga kota dibanding ragam bangunan megah perlambang kemajuan itu.

Dalam diskusi ini juga terungkap tentang banyaknya kearifan lokal yang kemudian disisihkan karena kalah oleh kepercayaan terhadap kemajuan teknologi. Beberapa tempat di Makassar oleh leluhur kita memang sudah ditengarai tidak akan bisa menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali, tapi karena percaya pada kemajuan teknologi toh kearifan lokal tersebut diterabas juga. Meski kemudian pada kenyataannya tak selamanya teknologi bisa meredam efek buruk seperti yang dikhawatirkan leluhur kita dulu.

Ada hal kecil yang coba dibangun oleh pak Marco saat ini. Beliau menamakannya desentralisasi pengetahuan, suatu kondisi di mana pengetahuan tidak saja bersifat diturunkan dari atas tapi dikumpulkan dari mana saja. Tak ada pihak yang menjadi sentral pengetahuan tersebut. Semua berhak untuk jadi pembagi dan pengumpul ragam pengetahuan. Tentu saja semua dalam konteks perkotaan, di mana semua warga berhak menyampaikan informasi tentang kotanya, serta berhak pula mengumpulkan ragam informasi tentang kotanya.

Semua ini bisa menjadi modal besar dalam merencanakan sebuah kota yang lebih nyaman.

Masalah dalam setiap pelanggaran ketentuan perencanaan kota adalah kurangnya informasi tentang kota kepada warga kota sehingga kemudian memunculkan sikap apatis dari warga itu sendiri sehingga mereka jadi tidak peduli pada ragam pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha yang berkolusi dengan penguasa. Akibatnya kota makin semrawut karena diatur sesuai nafsu penguasa dan pengusaha, sementara wargalah yang paling merasakan akibatnya.

Masih kurang di antara kita yang sadar kalau kota ini milik kita. Iya, kota ini milik kita kawan, bukan milik penguasa dan pengusaha.