Kicauan Itu Mengalahkan Bacaan

Twitter yang menepikan bacaan

Sejak rajin berkicau di ranah twitter saya jadi makin malas membaca. Akibatnya banyak buku yang terlantar. Ah, sungguh sayang

Sekitar Juni tahun lalu Tika, salah seorang member Anging Mammiri mencoba mendorong saya untuk bikin akun twitter. Alasannya, masak ketuanya AM ndak punya twitter ? Waktu itu saya masih mengiyakan saja dengan setengah hati. Twitter belum begitu menarik untuk saya, bahkan Facebook sendiri waktu itu sedang dalam proses deactivated karena jenuh. Alasan lainnya, Facebook waktu itu lumayan mengganggu waktu aktifitas keseharian saya hingga akhirnya saya memilih untuk mengambil langkah ekstrem dengan menonaktifkannya sementara waktu.

Beberapa bulan kemudian berselang saya berubah pikiran. Kepercayaan teman-teman yang menunjuk saya jadi ketua Anging Mammiri membuat saya berpikir lain, bagaimanapun saya harus menjalin hubungan dengan teman-teman blogger lainnya, apalagi lintas komunitas.

Akhirnya, FB saya aktifkan kembali. Akun twitter saya buat beberapa saat kemudian. Meski begitu saya tidak serta merta langsung berkicau, apalagi saya tidak punya handled yang memungkinkan saya aktif berkicau dan memantau lini masa setiap saat.

Saya baru mulai rajin berkicau ketika HP Sony Ericsson Naite sebagai hadiah lomba posting di Kompasiana tiba di tangan. Sejak si Naite di tangan saya mulai rajin berkicau dan memantau kicauan di lini massa, perlahan-lahan saya mulai terserang virus twitter dan mulai kecanduan.

Akhir November saya kembali dapat berkah. Kali ini Blackberry Gemini dalam genggaman setelah masuk dalam salah satu pemenang lomba posting Sumpah Pemuda. Blackberry jelas lebih mumpuni dalam menyambungkan kita dengan dunia maya, termasuk dengan ranah twitter tentu saja. Sejak saat itu, kebiasaan nge-twit makin lancar. Kicauan makin sering terdengar, atau kalaupun tidak berkicau saya jadi lebih sering memandangi lini masa. ?Waktu senggang hampir sepenuhnya terisi dengan kebiasaan nge-twit.

Belakangan saya sadar, kebiasaan nge-twit ini ternyata berdampak besar pada hobi lama yaitu membaca.

Dulu, waktu senggang selalu terisi dengan membaca. Apapun itu. Buku, majalah, atau suratkabar pokoknya membaca. Saat tiba di rumah, di depan televisi, menunggu giliran di antrian, saat di bandara menunggu boarding, atau bahkan saat di perjalanan menuju suatu tempat, membaca adalah pilihan utama.

Sekarang, semua berubah.

Di depan televisi saya masih sibuk memandangi layar Blackberry sambil memantau lini masa. Ketika antri di bank Blackberry tergenggam di tangan. Ketika menanti waktu boarding saya sibuk berkicau tentang apa saja, di dalam perjalanan saya juga sibuk memandangi layar Blackberry.

Sebenarnya bukan cuma twitter yang jadi pengalih perhatian. Setidaknya ada milis juga yang kadang begitu hiperaktif dan interaktif di masa tertentu, apalagi saya ikut beberapa milis yang memang bisa dibilang cukup ramai. ?Saya agak jarang menggunakan fasilitas chatting atau BBM di Blackberry, saya malas mengetik panjang-panjang dan sering-sering. Keyboardnya kekecilan.

Kebiasaan baru ini betul-betul berdampak buruk. Tumpukan buku yang masih adem dalam plastiknya bertebaran di rumah. Bahkan beberapa buku yang saya beli setahun yang lalu di Jogja masih terbungkus rapih, beberapa di antaranya sudah terbuka, terbaca seperempatnya tapi kemudian kembali ke rak buku. Huhuhuhu, sungguh menyedihkan.

Beruntung karena dalam masa kurang produktif membaca itu saya masih rajin menulis, setidaknya menulis untuk blog pribadi meski kualitasnya juga saya rasa makin hari makin menyedihkan.

Mulai hari ini saya bertekad untuk kembali ke khittah, kembali ke kebiasaan lama menghabiskan banyak bahan bacaan. Harus ada keseimbangan, jangan sampai saya terlalu larut di dunia maya utamanya yang di twitland. Kembali membuka buku adalah salah satu target saya saat ini. Plastik-plastik yang membungkus buku-buku di rak buku harus dilepas satu persatu, halamannya harus dibuka satu persatu.

Ah, bagaimana dengan kalian ? Pernah mengalami hal yang sama dengan saya ?