Kalau Bukan PLN, Siapa Lagi?

Tower PLN

Suatu hari bertahun-tahun yang lalu, ketika itu saya masih bekerja di sebuah pengembang perumahan yang cukup besar di Makassar. Hari menjelang maghrib, kantor sudah hampir sepi. Sebagian besar karyawan sudah pulang.

Tiba-tiba dari sebuah ruangan terdengar suara-suara yang agak keras. Saya beranjak ke sana, ternyata sudah ada belasan bapak-bapak yang tidak saya kenal. Mereka mengerubuti beberapa teman yang sore itu memang belum pulang. Wajah bapak-bapak itu tegang, suara keras keluar dari mulut mereka.

Bapak-bapak itu adalah penghuni salah satu kawasan perumahan yang kami bangun, dan teman saya itu kebetulan karyawan divisi pengelola. Apa pasal sampai bapak-bapak itu datang dengan amarah di sore yang hampir beranjak malam? Ternyata semua gara-gara listrik.

Sudah lebih dari 5 tahun sejak menempati rumah mereka, listrik belum juga hadir. Sebagai pengembang kami hanya bisa memberi jalan dengan mencantolkan listrik ke rumah para warga. Hanya itu yang bisa kami lakukan. Teman-teman dari divisi lain sudah berusaha setengah mati mengurus penyambungan listrik ke PLN tapi belum ada hasil. Sebelum 2009 listrik di Makassar (dan Sulawesi Selatan pada umumnya) adalah barang langka. Anda bisa membangun rumah kapan saja, tapi anda belum tentu bisa mendapatkan listrik dengan cepat.

Saya bisa paham apa yang dirasakan bapak-bapak yang datang mengamuk di suatu sore itu. Rumah yang saya tempati dari tahun 2008pun butuh waktu 3 tahun sebelum akhirnya bisa menikmati listrik sendiri. Sebelum listrik resmi kami nikmati, sebuah kabel panjang kami sambungkan ke tetangga di belakang rumah. Sebulan kami membayar 50% dari tagihan. Kata PLN itu melanggar aturan, tapi mau bagaimana lagi? Mereka juga hanya bisa mengangkat bahu ketika kami meminta sambungan listrik.

Tahun 2010 semua titik terang muncul. Seperti saklar yang ditekan dan otomatis menyalakan lampu di malam hari. PLN makin membaik, entah sistimnya yang dibuat bagus atau memang bahan dasar listrik sudah tersedia. Satu persatu rumah di dalam kompleks perumahan yang kami bangun waktu itu mulai dialiri listrik. Satu per satu kabel yang dulunya dipakai untuk mencantol mulai dilepas dan digulung. Senyum manis warga menggantikan wajah berkerut dan tegang seperti yang saya lihat di sore itu.

Rumah kamipun sama. Kabel yang kami pakai untuk mencantol akhirnya dilepas. Senyum manis merekah di wajah saya ketika beberapa orang petugas PLN datang ke rumah, memasang meteran listrik dan kemudian memanjat tiang sebelum menyambungkan kabel ke rumah kami. Ketika mendorong saklar di meteran, rasa “nyess” mengalir di dalam dada. Selesai sudah penantian kami selama bertahun-tahun. Selamat tinggal kabel cantolan!

Sejarah PLN

Sebagai penyedia listrik di negara ini, PLN memang belum sempurna. Tapi setidaknya kian tahun kian membaik. Musim kemarau 2011 sudah berlalu dan seingat saya tidak ada pemadaman bergilir yang rutin seperti tahun-tahun sebelumnya. Listrik sesekali padam, tapi tidak rutin dan tidak lama.

Merujuk ke tahun sebelumnya, tahun 2011 (dan tahun 2012) jelas lebih baik. Saya ingat betapa dulu kami harus akrab dengan kalimat “pemadaman bergilir” yang bahkan kemudian diplesetkan sebagai “penyalaan bergilir” karena banyak yang merasa kalau listrik lebih sering padam daripada menyala. Lebih sadis lagi ada yang mengganti singkatan PLN dari Perusahaan Listrik Negara menjadi Perusahaan Lilin Negara.

Pemadaman bergilir memang jadi momok yang mengganggu di tahun-tahun sebelum 2011. Masih terbayang bagaimana sengsaranya ketika listrik terpaksa tak tersambung di malam hari. Suasana gelap, kadang remang dengan bantuan lilin dan tentu saja gangguan dari nyamuk. Beruntunglah mereka yang punya dompet tebal dan bisa menyediakan genset sebagai pengganti ketika PLN terpaksa memadamkan listriknya.

Tapi perlahan cerita itu menjadi usang. Pemadaman bergilir tinggal cerita, setidaknya hingga musim kemarau tahun ini.

Tapi listrik tetap menjadi masalah bagi banyak orang di negeri ini. Balikpapan yang dikepung puluhan perusahaan energi dan mineral masih rajin kehilangan daya listrik. Ironis memang, tapi di masa pemadaman bergilir masih trend mereka bisa kehilangan listrik selama 6 jam setiap hari. Itu kota Balikpapan, bisa dibayangkan betapa banyak daerah lain yang belum merasakan nikmat seperti yang saya rasakan. Punya listrik sendiri.

Selama bertahun-tahun PLN juga terus berusaha menumbuhkan kesadaran kepada para pelanggan untuk menghargai listrik mereka. Menghargai tentu dengan cara menghemat, karena listrik di negeri ini memang belum terdistribusi secara merata. Ini juga yang kadang membuat saya miris melihat orang dengan gampang dan tanpa rasa bersalah menggunakan listrik dengan berlebihan. Terbayang saudara-saudara kita yang belum mengenal sambungan listrik.

Melihat dalam skala yang lebih luas, PLN memang makin memperbaiki diri. Mereka sudah berusaha memutus banyak rantai birokrasi dalam langkah menyambungkan listrik ke rumah. Mereka juga lebih peka pada pergerakan teknologi dan mulai bekerjasama dengan banyak bank agar pembayaran listrik lebih lancar. Terakhir, mereka menghadirkan solusi listrik pintar yang membuat pelanggan bisa memantau kebutuhan mereka dengan voucher listrik pra bayar. Semua berjalan perlahan menuju arah yang lebih baik.

Pertengahan tahun 1990an saya pernah bekerja pada sebuah perusahaan yang berhubungan dengan tender PLN. Tujuannya adalah ikut bekerjasama mengadakan berbagai keperluan listrik dalam lingkup kerja PLN. Sejak 1992 PLN memang membuka pintu seluas-luasnya kepada swasta untuk ikut dalam berbagai proyek kelistrikan. Tentu saja melalui tender terbuka.

Tapi ketika itu, tender terbuka hanya sebuah sampul. Saya hapal betul, sebagai seorang staff saya biasa mengikuti alur gelap mengatur sebuah tender dalam lingkup PLN. Sebelum hasil tender diumumkan pemenang sudah ada. Tender hanya formalitas. Kue-kue sudah dibagi, semua dilakukan di belakang tembok. Jauh dari sorotan lampu.

Tahun berganti, saya sudah tidak pernah terlibat langsung dalam tender-tender proyek PLN. Tapi, saya masih tetap berhubungan dengan teman-teman yang masih rajin ikut tender proyek PLN. Ternyata ada banyak perubahan sekarang. Tender yang dulu hanya kemasan, sekarang betul-betul diatur hingga ke sumsum. Tender bukan lagi formalitas.

Aturan dan sistem baru diperkenalkan, dijalankan dan dipatuhi. Tender proyek menjadi sebuah kegiatan yang disaksikan banyak orang, dilakukan di bawah sorot lampu. Sedikit saja hal mencurigakan muncul, para saksi akan bersuara keras. Seperti seorang guru dengan penggaris kayu di tangan, siap mengayunkannya kepada murid yang tak patuh.

PLN seperti gadis yang beranjak remaja. Rajin berdandan untuk tampil lebih baik. Dari segi pelayanan mereka terus memperbaiki diri. Saya masih ingat ketika seorang petugas PLN berlalu begitu saja ketika selesai memperbaiki sambungan listrik di rumah saya. Saya belum sempat menyelipkan lembaran rupiah ke tangannya. Padahal saya tidak bermaksud menyogok, saya hanya ingin berterima kasih pada tanggapan mereka yang cepat,ringkas dan tanpa birokrasi.

Dari segi keterbukaan PLN juga terus memperbaiki diri. Cerita tentang tender di atas adalah kisah nyata yang saya alami sendiri.

PLN sedang berusaha memperbaiki diri, mereka juga berencana menjual listrik ke negara tetangga. Sebuah rencana yang bagus, tentu untuk meningkatkan pendapatan. Tapi, rasanya sayang kalau PLN buru-buru mewujudkan rencana itu tanpa memperbaiki distribusi listrik ke berbagai daerah di Indonesia. Masih banyak saudara sendiri yang belum menikmati listrik.

Kalau bukan PLN yang melakukannya, kepada siapa lagi mereka musti berharap?

[dG]