It is Hard To Be a Single Parent

Salah satu film favorit saya sepanjang masa adalah “Pursuit of Happyness”, film ini sungguh menyentuh saya. Terus terang saya sampai meneteskan air mata saat menyaksikan film ini. Kisah tentang perjuangan Christopher Gardner yang berjuang seorang diri membesarkan sang anak adalah sebuah kisah perjuangan yang luar biasa. Hebatnya lagi karena film ini diangkat dari kisah nyata.

Perjuangan Chris Gardner ini kembali menginspirasi saya akhir-akhir ini. Minggu lalu sebuah kabar sempat mampir ke telinga saya, bagian HRD dan bapak direktur kabarnya geram melihat catatan prosentase ketepatan waktu saya yang sangat rendah. Dalam sebulan nilai keterlambatan saya mencapai angka 80%, jauh di atas sebagian besar teman-teman kantor. Sampai sekarang memang surat teguran belum terbit, dan kabar kegeraman tersebut saya dengar dari OB yang di kantor saya kadang berfungsi sebagai mata-mata yang bisa menyerap berbagai informasi tanpa terlihat atau terdeteksi.

Harus saya akui, saya memang bukan tipikal orang yang disiplin apalagi soal waktu. Rasanya sungguh sulit bagi saya untuk selalu patuh pada timeline yang sebenarnya sering saya buat sendiri. Semuanya kemudian jadi lebih rumit karena sekitar 8 bulan ini saya jadi orang tua tunggal sehingga aktifitas di pagi hari jadi lebih rumit.

Saya agak susah untuk bangun pagi. Alarm disetel jam 5 pagi meski kenyataannya saya lebih banyak terbangun untuk kemudian mematikan alarm. Walhasil saya baru bisa bangun yang betul-betul bangun sekitar setengah jam kemudian atau bahkan 45 menit kemudian. Acara kemudian akan diisi dengan acara cuci piring, menyiapkan sarapan dan bekal untuk Nadaa, kemudian membangunkan dia, membuatkan susu, mandi untuk diri sendiri sebelum kemudian memandikan Nadaa. Kadang-kadang diselingi dengan acara menyetrika pakaian untuk hari itu dan beberapa hari ke depan. Setelah semua selesai acara akan dilanjutkan dengan mengantar Nadaa ke sekolah yang arahnya berkebalikan dengan arah kantor. Sebenarnya kalau bisa lebih cepat keluar rumah saya masih sempat mengantar Nadaa ke rumah sepupunya yang kebetulan satu sekolah, sayangnya kadang sang sepupu sudah berangkat lebih dulu sebelum saya tiba.

Ok, anda mungkin bisa bilang kalau beberapa hal yang saya kerjakan di pagi hari sebenarnya bisa saja dipersiapkan malam sebelumnya biar acara pagi hari tidak terlalu padat. Teorinya sih seperti itu, tapi kembali ke masalah kedisiplinan. Saya bukan orang yang disiplin, lagipula malam hari setiba di rumah badan rasanya sudah tidak bisa diajak kompromi. Itu belum termasuk kalau ada kerjaan ekstra yang juga menyita waktu. Walhasil, teori-teori tersebut harus kembali mentah.

Pada titik inilah saya kembali mengagumi sosok Chris Gardner yang digambarkan di film Pursuit of Happyness.

Di sana, Chris digambarkan sebagai seorang ayah yang punya tekad kuat dan pekerja keras. Tanpa kenal lelah dia terus berusaha membesarkan sang anak dengan perhatian penuh sambil tetap mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Itu belum termasuk usahanya mencari tempat berteduh bagi mereka yang pernah bahkan berakhir di toilet stasiun. Benar-benar sebuah perjuangan ekstra keras yang membutuhkan tenaga dan tekad yang luar biasa besar.

Saya masih lebih beruntung dari Chris (sebelum dia jadi orang sukses). Saya masih punya tempat berteduh tetap, masih punya orang tua yang bisa jadi tempat penitipan anak gratis, dan punya pekerjaan tetap sehingga tak mesti berlarian ke sana ke mari mencari pendapatan, lagipula saya juga masih punya istri yang meski jauh tapi sangat supportif dalam kehidupan sehari-hari. Saya harusnya bisa lebih berhasil dari Chris. Tantangan yang saya hadapi bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan tantangan dan rintangan yang Chris hadapi.

Pada point ini saya kadang merasa malu pada diri saya sendiri yang kadang terlalu manja dan menganggap saya tidak akan bisa melewati ini semua hingga kemudian mengeluh. Sebuah hasil yang luar biasa tentu tidak akan datang dengan perjuangan yang biasa-biasa saja. Saya jadi ingat kata-kata bijak, seorang pelaut ulung tidak akan lahir dari laut yang tenang.

Bukan sekali dua kali kekaguman saya pada sosok orang tua tunggal yang berhasil seperti Chris hadir. Saya membungkukkan tubuh sedalam-dalamnya pada orang-orang seperti Chris dan ribuan bahkan mungkin jutaan orang lainnya yang berhasil melalui rintangan berat untuk tetap bisa berperan sendirian sebagai orang tua yang berhasil membesarkan dan membahagiakan anak-anaknya. Mereka adalah orang-orang luar biasa yang mampu mengeluarkan semua potensi yang mereka punya. Saya bukan apa-apa dibandingkan dengan mereka, saya hanya sementara menjadi orang tua tunggal tapi sudah berkali-kali nyaris menyerah bahkan dengan kehidupan yang sebenarnya tidak kurang ini.

Jadi, kalau ada yang menganggap kalau menjadi orang tua tunggal itu gampang, pikirkan lagi teman. Saya akan jadi orang pertama yang menentang anggapan anda.