Gadget Di Depan Panggung

Tingkah penonton di depan panggung

Perkembangan gadget mengubah cara orang menikmati pertunjukan, entah musik maupun olahraga.

Sekitar sepuluh tahun lalu, grup band Dewa19 yang sekarang sudah bubar pernah curhat di media massa selepas konsernya di beberapa kota di Jepang. Menurut mereka, konser di depan warga Indonesia di Jepang tersebut terasa kering. Bukan karena penonton yang sepi, tapi karena kebanyakan penonton yang ada di depan panggung malah asyik memegang handphone mereka sambil merekam gambar.

Di masa itu handphone berkamera yang mampu merekam gambar diam ataupun gambar bergerak memang belum lazim di Indonesia tapi sudah umum di Jepang. Dan di negeri Sakura itulah untuk pertamakalinya Dewa19 merasakan pengalaman pertama berinteraksi dengan penonton yang lebih asyik berkonsentrasi merekam gambar daripada menikmati penampilan.

Itu kejadian sekitar 10 tahun lalu. Pelan-pelan, handphone yang dilengkapi kamera kemudian masuk ke Indonesia dan kemudian dengan cepat menjamur. Sekarang sudah susah mencari mereka yang menggenggam telepon tanpa kemudahan merekam gambar. Pelan-pelan perilaku para penikmat hiburanpun mulai berubah.

Sebelum handphone berkamera marak di Indonesia, para penonton konser masih konsentrasi menikmati sajian musik, kalau perlu mereka akan ikut berjingkrak, bernyanyi, berjoget dan bahkan rusuh dengan sesama penonton lainnya.

Sekarang, kondisi itu mulai berubah. Ketika konser digelar, ketika penyanyi mulai menyajikan kemampuannya, para penonton juga mulai pamer perangkat. Mulai dari handphone biasa, smartphone dan sekarang malah dengan menggunakan PC tablet semua dikeluarkan, diangkat ke udara dan diarahkan ke panggung. Lupakan mereka yang berjingkrak atau bernyanyi dengan keras, itu sudah ketinggalan jaman. Hanya beberapa yang memang masih melakukannya, mereka yang benar-benar datang untuk menikmati musik.

Menanyilah, akan aku rekam..

Mereka yang menyiapkan gadget itu punya alasan sendiri. Mereka ingin menikmati musik dan membingkainya dalam beberapa gambar atau video agar bisa dinikmati di lain waktu. Mungkin juga mereka ingin membaginya ke teman-teman yang lain, sekadar untuk membanggakan diri bahwa dia sudah pernah menonton konser si anu atau si itu. Mereka jelas bukan penonton model old school yang datang dan hanya punya satu keinginan, menikmati konser musik.

Seorang teman yang masih tergolong old school pernah mengungkapkan rasa tidak sukanya pada generasi baru penikmat konser tersebut. Menurut sang teman, tingkah mereka kadang sudah masuk dalam tahap mengganggu, sudah sangat mengurangi kadar nikmatnya menikmati konser. Bagi sang teman ( dan mungkin juga bagi mereka para penikmat konser old school ) menikmati konser musti dengan penuh totalitas, tonton dan resapi semangatnya. Lupakan dokumentasi, itu urusan lain. ?Mereka akan jauh lebih puas ketika bisa ikut berjingkrak, menari atau berjoget mengikuti irama daripada hanya berdiri kaku memegang gadget dan berusaha agar tidak banyak bergerak supaya gambarnya tidak buram.

Gadget juga kemudian tidak hanya mengubah cara orang menikmati pertunjukan di panggung, tapi juga mengubah cara orang menikmati pertunjukan di atas lapangan.

Lihatlah lini masa di twitter. Setiap kali ada perhelatan sepakbola yang besar, entah itu skala nasional atau skala Internasional maka biasanya lini masa akan dipenuhi komentar dan laporan dari mereka yang sedang menonton langsung pertandingan tersebut. Logikanya, para pekicau itu tentu membagi konsentrasi mereka antara lapangan hijau ( atau layar televisi ) dengan layar gadget mereka.

Saya termasuk salah seorang pelakunya dan terus terang, kenikmatan menonton memang sedikit berubah. Ada enaknya karena terkadang kicauan-kicauan di lini masa dengan tema yang sama bisa membuat kita senyum-senyum sendiri atau bahkan menambah wawasan. Tapi, di sisi lain rasa deg-degan kala menyaksikan perjuangan tim pujaan bertanding memang sangat menurun. Beda dengan masa ketika twitter dan gadget canggih itu belum hadir.

Begitulah, ketika jaman semakin canggih maka pola hidup manusia akan terpengaruh. Sedikit atau banyak, cepat atau lambat. Sekarang para pelakon di panggung musik harus bisa menerima kenyataan itu meski saya yakin emosi mereka sedikit terpengaruh. Apa enaknya nyanyi kencang-kencang dan penuh semangat ketika di depan kita puluhan atau mungkin malah ratusan orang lebih asyik menatap layar gadget mereka ?

Tapi, apa kondisi ini cuma terjadi di Indonesia ? Bagaimana dengan penonton ( utamanya penonton musik ) di negara lain ? Apakah mereka juga lebih asyik merekam aksi musisi daripada ikut menikmati ? Ada yang tahu ?